Kerusuhan mei 1998 adalah kerusuhan yang menjadi puncak aksi anti tionghoa. Kerusuhan ini sangat tragis dan banyak merugikan banyak pihak terutama yang beretnis tionghoa itu sendiri. Kerusuhan ini terjadi di beberapa daerah di indonesia. Surakarta merupakan wilayah sebagai tujuan migrasi orang-orang Tionghoa dimasa lalu, orang-orang Tionghoa datang ke Surakarta dengan tujuan untuk berdagang. Salah satu akibatnya adalah meningkatnya potensi ketegangan hubungan antar etnis di Surakarta. Konflik rasial di eks-Karesidenan Surakarta ini sudah terjadi sejak jaman penjajahan Belanda. Pada masa Orde Baru saja sudah terjadi tiga kali kerusuhan berskala besar yang terjadi pada tahun 1972-1998. Peristiwa rasial anti Tionghoa di Kota Surakarta ini memiliki faktor pemicu kerusuhan berskala kecil yang menjadi karakteristik unik yang mampu menyebabkan kekacauan sangat besar dan sangat serius. Faktor pemicu konflik di Surakarta pada tahun 1972-1998 yaitu terbentuknya mobilisasi massa, konflik individual serta aksi mahasiswa. Di bawah pemerintahan Orde Baru, ketegangan antara orang Cina dengan penduduk pribumi terus tumbuh sebagai akibat dari melebarnya jarak antara yang kaya dan yang miskin serta upah rendah yang diberikan kepada pejabat birokrasi, militer dan polisi. Masalah hubungan pribumi dan non pribumi hingga kini masih mengundang perdebatan sengit.
Dalam serangkaian tragedi konfik rasial di Surakarta tahun 1972-1998 ini sudah banyak menelan korban jiwa, banyak gedung-gedung perkantoran, pertokoan, atau rumah-rumah yang hangus terbakar serta kendaraan-kendaraan transportasi warga juga tak luput dari amukkan massa. Penyebab dari konflik rasial di Surakarta menurut penulis dapat digolongkan ke dalam tiga faktor, yaitu faktor ekonomi, faktor historis dan faktor politik. Faktor yang paling dominan adalah faktor ekonomi yaitu fenomena ekonomi modern dan tradisional, masalah perburuhan, masalah marjinalisasi kaum miskin dan krisis moneter menjadi pemicu terjadinya konflik rasial tersebut. Etnis Cina di Surakarta telah lama hidup berdampingan dengan penduduk pribumi Jawa dalam waktu yang lama. Tentu akan dijumpai beragam bentuk interaksi sosial dalam lingkungan masyarakat tersebut. Interaksi sosial masyarakat akan sulit untuk dipahami dan dimaknai apabila tidak dikelompokkan dengan menggunakan skema tertentu.
Penyebab kerusuhan etnis tionghoa tahun 1998Â
Peristiwa rasial anti Tionghoa di Kota Surakarta ini memiliki penyebab pemicu kerusuhan berskala kecil yang menjadi karakteristik unik yang mampu menyebabkan kekacauan sangat besar dan sangat serius yang menelan banyak korban serta menyebabkan kerusakan-kerusakan dan masalah-masalah lain hingga menjalar ke luar kota Surakarta. Terdapat tiga faktor yang paling dominan yang melatarbelakangi peristiwa rasial antara etnis Tionghoa dengan pribumi Jawa di Surakarta tahun 1972-1998, antara lain sebagai berikut.
1. Provokasi-provokasi hingga terbentuknya mobilisasi massa. Kerusuhan rasial pada tahun 1972, mobilisasi massa terbentuk ketika mendengar berita terbunuhnya tukang becak oleh warga keturunan Arab menyebabkan pada pagi harinya tukang- tukang becak se-Surakarta dengan cepat menggerombol mendatangi lokasi kejadian karena adanya provokasi untuk memprotes pelaku pembunuhan. Dari menit ke menit aksi tersebut terus berkembang. Mobilisasi massa juga menjadi penyebab membesarnya peristiwa huru-hara tahun 1980 di Surakarta. Dalam peristiwa ini mobilisasi massa mulai terbentuk karena adanya provokasi oleh Pipiet karena tidak terima atas penyerangan yang menimpanya kemudian Pipiet berhasil mengumpulkan teman-teman sekolahnya. Sekitar 50 orang siswa bergerak menuju jalan Urip Sumoharjo untuk mengadakan aksi demonstrasi. Mobilisasi massa dalam kerusuhan Mei 1998 , Sudah terjadi ketika terjadi aksi damai di kampus UMS. Ketika aksi mahasiswa gagal diredam aparat keamanan dan berhasil keluar kampus, jumlah massa pun semakin bertambah banyak, setelah bergabungnya sejumlah pemuda yang telah bergerombol di kawasan Kleco
 Ketika di rumah ada yang memanggil dari luar pagar Jowo opo Cino?"( Jawa apa Cina?) yen jowo ayo melu ngobongi omahe Cino!(kalau Jawa mari ikut membakar rumahnya Cina). Ajakan-ajakan seperti itu yang membuat massa cepat terkumpul memadati di hampir seluruh jalan-jalan utama di kota Surakarta. Mereka mengajak warga ikut dalam kerusuhan ketika bergerak menuju pusat kota Surakarta.
2. Konflik Individual , Konflik antar individu dalam kerusuhan tahun 1972 dan 1980 di Surakarta menjadi awal kerusuhan yang sangat besar. Seharusnya konflik antar individu ini tidak seharusnya dapat menyebabkan kerusuhan massa yang mengerikan. Namum uniknya disini adalah konflik yang hanya melibatkan beberapa orang bisa memicu konflik yang serius. Konflik tahun 1972 di Surakarta, merupakan masalah sepele yang bermula dari ketidaksepahaman antara seorang encik Arab dengan penarik becak. Masalahnya adalah ketidak sepahaman masalah pembayaran jasa. Akhirnya terjadilah perang mulut dan saling memukul yang berakhir terbunuhnya tukang becak itu. Pada peristiwa kerusuhan tahun 1980 juga berawal dari konflik antar individu. Perkelahian antara Supriyadi alias Pipit dengan seorang pemuda WNI keturunan bernama Kicak alias Maryono di depan toko Orlane pada hari Rabu jam 12.00 (Suara Merdeka, tanggal 21 November 1980). Awalnya tejadi senggolan sepeda yang dikendarai ketiga siswa yang baru pulang sekolah itu dengan seorang pemuda Tionghoa yang sedang menyeberang di jalan Urip Sumoharjo. Kicak yang tidak terima menyerang Pipit menderita luka-luka karena terkena pukulan pemuda Tionghoa yang bernama Kicak.
3. Aksi Mahasiswa , Peristiwa 14 Mei 1998 dimulai dengan aksi demonstrasi mahasiswa yang terjadi di dua tempat, yakni di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) di Pabelandan Universitas Sebelas Maret (UNS) di Kentingan, Surakarta. Dari kedua aksi itu memunculkan kekerasan massa yang dimulai dari kampus UMS. Kejadian itu kemudian melebar, dan mahasiswa mulai bergerak keluar kampus. Aksi damai sekaligus aksi menuntut adanya reformasi yang digelar mahasiswa berubah seketika menjadi bentrok yang besar, di tambah lagi dengan keterlibatan masyarakat sekitar yang mudah terprovokasi menjadikan aksi ini sebagai awal terjadinya kerusuhan Mei 1998.
Kronologi kerusuhan Surakarta 1998
massa yang berada di dua sisi berteriak atas tindakan aparat terhadap mahasiswa, massa bergerak maju mendekati tempat insiden tersebut, tetapi kedua massa baik yang di depan pompa bensin maupun depan RSIS berhalau dihalau oleh petugas. Massa di sisi barat setelah sempat melempari petugas dengan batu bergerak ke arah Kartasura, sedangkan massa di depan RSIS sempat dorong mendorong dengan aparat, namun massa terdesak mundur bahkan akhirnya harus lari masuk ke kompleks RSIS dan sempat dikejar aparat. Setelah aparat mundur kembali, massa pun balik ke jalan, tapi kali ini mereka tak sekedar lagi melihat. Massa bergerak ke arah timur menuju kota Solo sambil berteriak-teriak lantang tentang berbagai hal yang mereka anggap menjengkelkan. Ketika berjalan itulah sejumlah massa mulai melempari dan merusak sejumlah fasilitas umum. Selain itu massa juga melakukan perusakan lampu lalu lintas di depan gerbang kampus UMS. Sesampai di Kleco, jumlah massa bertambah dengan bergabungnya puluhan pemuda yang bergerombol di pinggir-pinggir jalan. Pemuda yang bergerombol di pinggir terprovokasi oleh massa sehingga mereka bergabung dengan massa untuk melakukan perusakan. Dari Kleco massa bergerak ke timur. Ketika sampai di depan showroom dan dealer resmi mobil Timor terdengar seeorang berteriak untuk menghancurkan tempat tersebut, karena emosi massa sudah terprovokasi sejak dari Pabelan maka mereka dengan mudah mengikuti ajakan untuk menghancurkan tempat itu. Massa melempari semua kaca dealer itu walaupun tidak ada satu pun mobil di dalamnya.