“ Selamat, kartini-kartini muda. Majulah, pantang menyerah, teruskanlah perjuangan emansipasi,ubahlah duniadengan kelembutan femininmu, Selamat Rayakan hari Kartini”
Kalimat dalam SMS ini masuk tatkala waktu belum juga genap pukul 6 pagi di 21 April yang baru saja berlalu. Dari seorang lelaki yang aku sebut sebagai pelaku seni sejati, yaitu bapak Roso Titi Sarkoro.
Yang ada dalam pikiranku saat itu bahwa pak Tiro (demikian beliau sering dipanggil) seorang “kartini” yang lebih “Kartini” dari pada saya sebagai generasi penerus Kartini. Meski beliau adalah laki-laki, namun perjuangan untuk negeri patut dibanggakan. Walau langkah perjuangan beliau “berbeda” dengan Kartini, namun setidaknya pak Tiro ini adalah sosok yang teguh berpendirian demi kemajuan bangsa terutama bidang seni sastra.
Selama ini pak Tiro mengabdikan diri sebagai guru di SMP 6 Temanggung (beliau memasuki waktu purna jabatan 1 April 2014). Dan bagiku sebagai guru itu merupakan perjuangan untuk negeri bukan?. Sebelum mengabdikan diri selama 27 sebagai guru, pak Tiro adalah wartawan lepas dari berbagai media surat kabar, antara lain Suara Merdeka, Wawasan, Bahari, Kartika, Suara Pembaharuan dll. Dan kecintaannya pada seni terutama seni sastra telah membuatnya pantas dijuluki pejuang sastraterutama untuk kalangan para pelaku seni sastra di Temanggung.
[caption id="attachment_321145" align="aligncenter" width="530" caption="inilah sosok pak Tiro, tatkala membacakan beberapa puisinya di acara launching buku "][/caption]
Sebagai pendiri Dewan Kesenian Temanggung, pak Tiro peran pak Tiro sangat baik untuk memajukan seni sastra di kabupaten Temanggung. Tidak mudah untuk menggeliatkan jiwa seni di satu daerah kecil seperti Temanggung, karena bisa dikatakan pelaku seni yang bersedia aktif bias dihitung dengan jari. Sebenarnya untuk Temanggung sendiri sudah sejak dulu sering digelar upaya memajukan seni sastra, terbukti sekitar tahun 80-an kerap diadakan lomba pembacaan puisi. Dan kebetulan penulis merupakan salah satu jebolan lomba-lomba pembacaan puisi di era itu.
Kembali pada perjuangan di bidang seni pak Tiro, penulis memang belum genap setahun mengenal beliau. Namun beberapa waktu yang singkat ini penulis telah bisa menilai bahwa kiprah pak Tiro demi memajukan seni sastra di Temanggung amatlah mengagumkan.
Belum lama ini tatkala ulang tahun Kabupaten Temanggung, beliau mengajak penulis dan pelaku seni lain di temanggung untuk menggelar pementasan pembacaan puisi oleh berbagai kalangan di masyarakat dipadu-padankan dengan sebuah sendratari. Dari pejabat tinggi daerah sampai dengan rakyat saling bergantian membacakan puisi dari para penyair Temanggung yang telah disediakan panitia.
Acara gelar seni pembacaan puisi waktu itu bukanlah satu-satunya acara seni yang idenya beliau gelontorkan di Temanggung, ada banyak acara sebelumnya yang beliau niatkan untuk menghidupkan seni sastra di Temanggung yang merupakan kota tinggal keduanya.
Pak Tiro lahir dari pasangan petani di Desa Gondangkecamatan Limbangan-Kendal (usia tidak untuk publikasi-kata beliau), selain menulis artikel, beliau juga suka menulis puisi, geguritan (puisi berbahasa jawa), cerpen dan laporan budaya.
Sebelum masa akhir jabatannya sebagai pendidik (1 April 2014) ini pak Tiro meluncurkan buku kumpulan puisi perdananya yang di beri judul “ Jagat Gugat “. Diterbitkan oleh Penerbit Interlude Yogyakarta, dengan kata pengantar seorang penyair terkenal Yogyakarta bapak Imam Budhi Santoso. Berisipuisi dengan kandungan isi bermacam-macam tema, namun tak lepas dari dari jiwa sosok pak Tiro sebagai pejuang dan pendidik. Jagat Gugat yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai dunia menggugat memang sangat pas untuk judul buku antologi ini, di larik-larik puisinya sarat dari gugatan-gugatannya sebagai manusia dan abdi (negara) dalam menyuarakan isi hati.
[caption id="attachment_321147" align="aligncenter" width="530" caption="acara launching buku "]
Kini di masa-masa istirahatnya setelah selesai menjalankan tugas sebagai pendidik, masih ada satu cita-cita yang penulis tahu yaitu ingin menggelar acara pembacaan puisi yang berkolaborasi dengan wayang kulit. Penulis rasa ide ini sangat bagus dan menakjubkan bial benar-benar terlaksana.
Pak Tiro merupakan kebanggaan warga Temanggung, khususnya para pelaku seni, mengingat kiprahnya tidak pernah berhenti dalam memajukan pendidikan dan juga seni sastra di Temanggung.
Di bawah ini penulis copas satu puisi (terdapat dalam buku antologi Jagat Gugat) atas ijin beliau. Puisi yang penuh penggugatan terhadap system pendidikan di negeri ini. Sebagai penutup rasa kagum penulis pada perjuangan kiprahnya untuk Indonesia.
Sumpah Anak-Anak Putus Sekolah
kami bagian dari jutaan anak Indonesia
dengan ini menyatakan keterpaksaannya
putus sekolah
kami bagian dari jutaan anakIndonesia
dengan keyakinan kami bersumpah
kami bukan sampah
kami bagian dari jutaan anakIndonesia
dengan ini berjanji masih memiliki
harapan dan impian
kami bagian dari anak Indonesia
dengan ini menyatakan
kami adalah generasi pemimpi
yang tak pernah bisa mengenyam kenyataan buah beibu impian
kami bagian dari jutaan anakIndonesia
dengan ini mengakui
hanyalah generasi yang menjadi beban
teronggok di got lorong-lorong kota
termangu di pulau-pulau sepi
berserak di jalanan
terjerembab di kampong-kampung pinggiran
kami bagian dari jutaan anakIndonesia
dengan mulut menganga bernapas hampa
sejujurnya kami berkata
kami adalah anak-anak perahu retak
yang terkoyak dicabik-cabik ombak tsunami komersialisasi
terlempar ke jurang tanpa dasar
2013
*Puri Kencana 23 4 14
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H