Â
Adamu, kisah yang tak mati oleh maut, catatan yang tak lekang oleh menuanya waktu, cinta yang tak terlupa oleh derita
Â
Desember, telah tiba. Dalam gerimis yang semakin kerap jelajahi bumi, aku kembali menata hati. Tuk mempersiapkan diri merenungkan semua perjalanan yang telah aku tempuhi di tiap tahunnya.Â
Bagiku, Desember adalah kenangan yang indah meski terkadang pilu menyertai suratan tangan. Toh memang hidup tak melulu suka ataupun duka, terkadang keduanya saling tindih tuk lengkapi sebuah takdir atas nama makhluk ciptaanNya.
Desember juga sekaligus bulan penuh perenungan di mana saat mata memandang syahdu pohon terang dalam kerlip lampu-lampu aneka rupa, dada menjadi penuh oleh keharuan yang menyesakkan. Lalu, mau tidak mau, suka tidak suka, ingatan melayang pada kenangan masa kecil, saat malam natal tiba, hati berbunga menunggu sinterklas membagi hadiah. Syahdu dan indahnya natal menjadi kenangan yang tak bisa terhapus meski jalan yang kutempuh memberi jarak darinya.
Lalu pada kisah Desember lain, di mana tangis pertama buah hati menggelegar, memecah kesenyapan jelang petang hari. Bayi mungil buah cinta hadir, sekonyong-konyong beribu-ribu panah cinta melesat pada sosoknya, menembus kedalaman tangisnya. Ah... aku jadi ibu, di tengah Desember yang kerap aku puja sebagai waktu terbaikku, waktu terindahku.
Setiap rinai yang basahi bumi di Desember pula, terkadang sanggup meluruhkan derai air mata duka. Sebab pada tetesan-tetesan hujan itu, segala duka melebur menjadi kepasrahan, bahwa hidup tak selamanya indah, pun tak selamanya derita. Selalu saja ada waktu tuk kita menguraikan tangis menjadi kebahagiaan atau kedukaan.
Kini Desember telah singgah, lalu aku menjadi sibuk untuk acara perjamuan demi perjamuan yang genapi sebuah kisah, kisah Desemberku.
Â