Desember itu hujan membasahi bumi, sama seperti di kelopak mataku... Hujan menggenang di tiap-tiap harinya.
Semua bermuara pada kisah kita ibu, kisah yang hingga kini selalu membayangi perjalanan hidupku...
Ibu, setiap memasuki Desember, aku selalu dihadapkan pada dilema antara mengunjungimu atau tidak sama sekali, semua bukan karena aku tak mencintaimu ibu, tapi aku tak ingin mengganggu kesyahduan Desember dan pohon terangmu yang selalu memancarkan kerlip indah di ruang keluarga rumah kita.
Aku sangat menyadari kalau ibu tak menginginkan kehadiranku, semua sudah aku rasakan semenjak aku remaja ibu... Sangat berbeda dengan ayah yang kerap memelukku dalam kehangatan yang penuh.
Memang aku tidak terlalu dekat denganmu ibu, aku merasakan itu. Apakah ibu juga merasakan hal demikian? Kerap aku menyadari ibu tak nyaman bila ada aku, apa karena kita jarang bertemu semenjak aku bayi ibu? Atau karena aku tak secantik anak-anak ibu yang lain?. Mereka adik-adikku memang cantik, dan itu yang sering ibu ceritakan pada saudara dan juga teman-teman ibu, mereka membuat bangga ibu,sedangkan aku? . Aku tak cantik, dan perilakuku juga agak kampungan karena aku dibesarkan nenek di kampung, jauh dari hingar bingar kota metropolitan tempat ayah- ibu dan adik-adikku tinggal.
Ibu, sejak lama aku ingin sekali memberimu bingkisan sebagai tanda kasihku padamu di tiap Desember yang datang, untuk hari natalmu, untuk hari ibu, dan untuk kelahiranku. Meski bingkisan yang akan aku berikan tak sebanding jasamu padaku, tapi sungguh ibu... aku ingin sekali melihat binar di matamu, seperti ibu lain saat menerima sesuatu dari anak-anaknya.
Namun agaknya asaku ini terlewat tinggi ibu, aku sangat menyadari ibu tak menyukaiku, ibu tak ingin menerima apapun dariku…. Masih jelas teringat dari benakku, tatkala aku memberi sepucuk sapu tangan berwarna ungu dengan border namamu di salah satu ujungnya, kau tak memelukku sama seperti yang kau lakukan pada adik-adikku yang juga memberimu hadiah, bahkan kau meletakkan begitu saja sapu tangan itu di meja, hingga keesokan harinya aku simpan kembali sapu tangan itu di almarimu. Padahal ibu, aku hanya ingin merasakan pelukan hangatmu, meski sekali saja. Aku haus kasih sayangmu ibu, namun ah… anganku terlampau tinggi
Sejak itu, aku makin menyadari ibu tak menginginkan apapun dariku.Aku anakmu yang tak patut kau banggakan bahkan mungkin kau akui. Aku juga teringat sewaktu aku masih duduk di bangku SD, saat itu nenek dan aku mengunjungi ayah dan ibu, setiap ada tetangga atau teman ibu menanyakan siapa aku? Ibu selalu jawab kalau aku anak nenek. Ibu tak inginkan aku, ya kan ibu? Tapi kenapa? Kenapa ibu?. Kenapa ibu tak ingin mengakui aku sebagai anakmu? Kenapa ibu menyembunyikan keibuanmu padaku? Ataukah karena fisikku tak normal seperti anak lain? Kaki kiriku memang cacat ibu, tapi itu bukan kehendakku… ini semata takdir kelahiran atas diriku, tak mengetikah ibu? Terlalu kecewakah ibu mempunyai aku?. Ah memang ibu patut kecewa akan keberadaanku…
Jauh di lubuk hatiku, aku selalu berharap ibu akan memelukku, memberikan kehangatan dan juga membagi pendar pelangi dari mata indahmu ibu, meski hingga kini, saat aku telah melahirkan cucu-cucu yang manis untukmu, hal itu tak pernah kudapatkan
Sejuta tanya hingga kini menghantui pikiranku belumlah terjawab, begitu juga seribu alasan yang aku reka-reka belumlah memuaskan tanya itu, namun yang pasti satu, bahwa kini setelah aku menjadi ibu, aku takkan pernah membiarkan anakku dahaga akan kasihku sebagai ibu. Aku akan selalu memeluknya dalam suka dan duka mereka, aku selalu menempatkan diriku di sampingnya tatkala mereka membutuhkanku ibu, hal yang tidak aku peroleh darimu…
Di Desember syahdu yang kaya akan hujan ini ibu, aku ingin ucapkan terima kasih telah kau lahirkan aku, hinga aku mengenal dunia, hingga aku mempunyai sebuah rumah yang aku sebut keluarga, meski kecil namun itu membuat aku bahagia ibu… Aku yakin meski kau tak inginkan aku, di malam-malam sunyimu ada doa yang terselip untukku, dan aku harap ini bukan khayalan semata, karena naluri seorang ibu adalah mendoakan kebahagiaan anak-anaknya
Atas kenangan yang pernah tertoreh di kisah kita ini ibu, tak pernah aku pendam amarah dendam padamu, aku tetap mencintaimu, aku tetap menghormatimu ibu… Meski terkadang ada sesak yang menyeruak di dadaku, sebab aku anak yang pernah mendiami rahimmu …
Selamat menikmati Desember ibu, semoga natalmu syahdu, dan hari ibu-mu indah di sekelliling saudara-saudaraku…
***
puri kencana, 12 12 14
ilustrasi gambar Granito Ibrahim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H