Mohon tunggu...
Selsa
Selsa Mohon Tunggu... Administrasi - blogger

aku wanita biasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kartiniku, Bermadu

20 April 2017   23:09 Diperbarui: 21 April 2017   08:00 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar : www.njleputh.uiwap.com

Ibu, besok peringatan Hari Kartini, tapi aku masih berdiam diri, tak seheboh saat masih ada ibu. Aku akan merengek meminta ibu memilihkan kebaya dan kain yang akan aku pakai untuk mengikuti upacara dan sekaligus mengikuti lomba berkain kebaya seperti tahun-tahun yang sudah lewat. Aku ingat di saat jelang Hari Kartini, ibu akan sabar mencarikan kebaya lalu mengecilkan kebaya ibu atau meminjam pada kerabat kita. 

Lalu sehari sebelumnya ibu akan memintaku mencoba lalu mematut diri di depan cermin sambil mengingatkan cara berjalan yang baik. Ibu sama antusiasnya dengan aku dalam menyambut Hari Kartini. Ah ibu, semua masih terangkum dengan jelas di ingatanku, meski sudah 6 kali Hari Kartini kulewati tanpa kehadiranmu. 

Kini aku bukan lagi siswa sekolah, melainkan sebagai guru di sebuah Sekolah Menengah Pertama, seperti keinginanmu. "Sebab tugas seorang guru sangatlah mulia, setidaknya guru bisa mencetak siswa menjadi pintar dan berkepribadian sebagai anak bangsa, seperti cita-cita ibu Kartini, yaitu mencerdaskan anak bangsa" begitu alasanmu saat aku tanya "Mengapa aku harus jadi guru?". 


Keinginanmu tercapai ibu, dan benar seperti katamu bu, menjadi guru itu sangatlah membanggakan dan mengembirakan, tapi aku tetap tak bisa menjadi wanita tangguh seperti dirimu ibu. Sebagai wanita, rasanya aku tak kan sanggp menyamai kesabaranmu diduakan oleh ayah, aku tak kan sanggup bu. Aku masih ingat petuahmu, saat kau memasangkan kain di tubuhku, bahwa "Meski nanti kamu jadi guru, jadi pekerja, jangan lupakan tugas ke suami, karena sebagai istri kamu harus bisa menjadi sigaring nyawa suami, bisa mengurus semua kebutuhan suami dan harus bisa menerima suami apa pun keadaannya dan kemauannya. 


Seperti juga ibu Kartini, meski wanita bangsawan, tetap saja beliau tunduk sama suami"  Saat itu aku belum begitu tahu apa yang ibu katakan. Namun kini seiring bertambahnya usiaku, aku ingin mengatakan keberatanku akan petuah ibu ini. Memang benar wanita harus bisa menjadi istri dan ibu yang baik buat suami dan anak-anaknya, tapi bukan berarti menuruti semua kemauan dan kehendaknya bu?. 

Sebagai wanita kita berhak punya prinsip selama tidak menyalahi norma-norma. Istri itu berjalan di sisi pria, sebagai pendamping,bukan di balakangnya sebagai pembantu dan bukan di bawahnya untuk diinjak. Aku memang belum menikah ibu, tapi suatu saat nanti jika aku sudah menikah, aku tak kan mengikuti  jejak ibu yang hanya bisa diam dan pasrah dimadu, maafkan aku ibu. Bagiku, ibu adalah Kartiniku sepanjang masa, namun hingga detik ini tak pernah kutemukan jawaban lain mengapa ibu rela dimadu selain pengabdian sebagai istri.

Ibu, di depan makammu, aku hanya bisa mendoa agar Tuhan menempatkan dirimu di taman yang menyejukkan, yang belum pernah kamu temui di kefanaan ini. Istirahatlah Kartiniku...

*PK, 20417 dalam ingatan kepadamu, ibu*

catatan
sigaring nyawa : belahan jiwa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun