Mohon tunggu...
Selsa
Selsa Mohon Tunggu... Administrasi - blogger

aku wanita biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ibuku Buruh Tani (Selamat Hari Ibu)

21 Desember 2012   09:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:15 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_230834" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption]

Gerimis merinai sejak sore tadi, hingga malam ini gemericiknya makin mensunyikan kelam. Rupanya langit sedang berbaik hati mengguyur tanah harapan dengan cintanya. Seakan ingin menuntaskan rindu setelah seratus hari bumi meranggas dalam kemarau. Bisa aku bayangkan esok pagi, akan aku temui binar mata petani bertopi caping yang setiap pagi melewati beranda rumahku. Senyum tentu akan mengembang di wajah yang semakin menua itu. Dan sapanya akan seteduh jiwanya yang mengharap benih yang kemarin ia tanam itu menyubur. Ah.... petani itu, kadang membuat aku merasa kangen pada masa lalu. Di mana masa kecil penuh gelak tak terbatas cuaca.

Bagiku ber-ibu buruh tani itu sangat meriangkan hidup. Saat musim tanam, aku bisa sepuasnya bermain lumpur sawah tanpa hadiah jeweran ibu di kuping seperti teman-temanku yang tak ber-ibu buruh tani. Teman-temanku kadang iri padaku, mereka tidak bisa sebebas aku bermain tanah basah persawahan karena akan mendapatkan jeweran atau hardikkan dari orang tua mereka. Serta di masa panen, aku bersama teman-teman bersorak riang membantu mengumpulkan butiran-butiran padi yang berserakan sambil sesekali menghalau sekumpulan burung kecil yang kadang merebut bagianku.

Ingatanku kini melayang pada ibu....Sosok perempuan yang gigih demi anak-anaknya, buah hatinya, meski tanpa seorang laki-laki yang bisa ia sebut suami. Yah sejak aku berusia 4 tahun, ayah telah pulang ke rumah Tuhan, meninggalkan ibu dan 3 anak yang masih kecil, aku dan kedua kakakku. Perjuangan ibu untuk tetap hidup dan bisa memberikan penghidupan kepada anak-anaknya sangatlah keras. Dari buruh cuci sampai buruh tani beliau kerjakan, demi sesuap nasi dan biaya sekolah anak-anaknya. Saat musim tanam padi dan panen, ibuku bisa seharian di sawah, dan aku menyusul setelah pulang sekolah. Dan di luar musim itu, ibuku akan mendatangi rumah demi rumah tetangga yang meminta tolong jasanya mencucikan baju atau sekedar membersihkan rumah. Kadang pula ada tetangga yang meminta tolong memasak. Ibuku memang pandai memasak meski beliau tidak pernah mengenyam pendidikan masak memasak. Kata ibu, kepandaian memasak beliau dapatkan dari kesukaannya membaca tabloid atau koran yang ada resep-resep masakan. Ibu memang suka meminjam koran atau buku bacaan pada tetangga sebelah rumah. Meski sibuk mencari uang ibu tak melewatkan kesukaannya membaca walau hanya beberapa menit.

[caption id="attachment_223004" align="aligncenter" width="540" caption="ilustrasi oleh Yustinus WK"]

13560815611090924714
13560815611090924714
[/caption]

Ah ibu, kangenku semakin menjadi, terbayang jelas saat aku meminta ijin menikah dengan mas Darso, lima tahun yang lalu. Raut muka ibu menyungging senyum namun itu hanya sekejap, lalu berubah kelu. Aku sempat menanyakan pada ibu, apakah ada salah dengan ucapanku. Namun ibu segera menjawab bahwa ibu senang aku akan menikah, namun juga sedih karena itu berarti ibu akan segera kehilanganku. Aku maklum ibu sedih, selama beberapa tahun ibu hanya hidup berdua denganku. Kedua kakakku merantau ke kota besar, dan hanya sekali dalam setahun pulang menengok ibu, itupun cuma beberapa hari. Sewaktu lulus sekolah, aku memilih mengajar di SD dekat desaku, sebagai guru honorer agar memungkinkan aku bisa pulang ke rumah setiap hari.

Aku jelaskan pada ibu, aku akan tetap berada di rumah ibu, itu juga syarat yang akan aku ajukan pada mas Darso sebelum melamarku. Aku ingin selalu berada di samping ibu, temani beliau di sisa hidupnya. Aku ingin membahagiakan ibu sebagai balasan masa lalunya yang sepenuhnya untuk anak-anaknya. Dan wajah ibu tampak cerah dengan sisa kecantikkannya meski keriput jelas tergambar disana saat mendampingi aku dan mas Darso di pelaminan.

Sayang, waktu yang di berikan Tuhan padaku untuk membahagiaakan ibu cuma sebentar, tiga tahun setelah pernikahanku, saat ibu selalu tertawa senang manakala cucunya, yaitu anakku yang berumur satu setengah tahun berlagak kocak, ibu harus berpulang ke Rahmatullah, menyusul ayah. Ibuku terkena serangan jantung dan meninggal saat itu juga. Sebelumnya aku tak pernah tahu ibu mempunyai penyakit jantung, karena tak pernah sepatah katapun keluar dari bibir ibu keluhan sakitnya. Saat itu aku sangat kehilangan, kehilangan ibu, sahabat, panutan dan pencerahanku

Ibu, bagaimana aku tidak bangga dengan rahimmu?, dengan budimu?, dengan ketegaranmu? Dalam sosok ibu, tak ku temukan sesuatu yang buruk, engkau adalah sebaik-baik ibu yang pernah aku temui. Ibu tak pernah mengeluh dengan semua takdir nasibnya,bahkan saat ajal menjelangpun ibu masih tersenyum, mengusap air mataku dan berbisik "jagalah anakmu, cucuku Ranti".

Bertahun telah berlalu sejak kepergian ibu, namun aku selalu merindukan kehadiranya, kasih sayangnya dan juga pituturnya. Rasanya tak pernah cukup aku menuliskan keindahanmu dalam jiwaku, hanya doa sepanjang hayatku untukmu, agar kau senantiasa bahagia di surga Allah, kau telah lama menderita di dunia, saatnya beristurahat dalam damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun