Vida...
Ini bukan tentang perpisahan yang menyesakkan dada di puluhan tahun yang silam Da. Tapi ini hanyalah kenangan dari kumpulan kisah yang pernah kita sematkan di langit biru kotamu.
27 tahun yang lalu, pertemuan kita dimulai. Usia yang masih sangat muda bagi kita berdua untuk kemudian mengikrarkan janji sebagai sepasang kekasih. Aku yakin tali kasih yang kita tautkan, dicatat dengan indah oleh malaikat meski ada kendala. Ibumu tak menginginkan aku, pun keluargaku tidak begitu suka padamu.Â
Tapi aku abaikan semua itu, aku terlalu mencintaimu, memujamu, dan mengharapkan kamulah lelaki yang kelak akan menjadi ayah bagi anak-anakku. Aku sangat terpesona dengan keindahan matamu, dan segala yang ada padamu.
Vida...
Ingatkah kamu, saat kita berdua menyenandungkan lagu-lagu cinta di rerimbun kebun karet?. Ingatkah kau saat kita berdua menikmati malam dengan petikan gitarmu di rumah yang kelak akan kau persembahkan untukku?. Ah manis sekali kenangan kita ya Da?.Â
Mungkinkah kau mengingatnya untukku saat ini Da?. Atau kau masih saja sibuk menghitung dosa-dosa kesalahanku di masa lalu? Da..kalau boleh aku pesan, itu akan semakin menyakitimu.
Da... 26 tahun yang lalu, aku memang bersalah padamu. Aku meninggalkan kamu tanpa pesan dan memilih lelaki lain sebagai pendamping hidupku. Saat itu aku tak kuasa menolak takdir Da?. Takdir yang mencerai beraikan rumah tangga orang tuaku, takdir yang mencatatkan aku harus menerima pinangannya sebagai orang yang bisa menafkahiku secara materi.
Aku bersalah, sangat bersalah padamu Da...
Vida ...
Di perjalanan waktu, air mata kerap menghiasi malam-malamku manakala namamu melintas, memerihkan dada. Sekian waktu pula aku kerap mencari kabar tentangmu, berharap aku tahu bahwa kau pun bahagia dengan kehidupanmu. Aku menyesal dengan lakuku atasmu Da, sungguh penyesalan ini akan aku bawa hingga kelak maut menjemputku dalam kepasrahan atas kisah cinta yang melebamkan sebuah rindu.Â