[caption id="attachment_171705" align="aligncenter" width="300" caption="punya mbak Inge di album Candid Photography,Kampret Grup"][/caption] Gila.. gila... gila... Teriakan bocah bocah itu amat mengganggu tidur siangku kali ini dengan malas aku usir mereka agar menjauh dariku, aku ingin tenang kembali nikmati mimpi yang tertunda. Namun rupanya anak anak itu tak mengindahkan perintahku, aku bangkit dan mereka bertambah keras mencercaku " Si gila..... si gila ...si gila " seru mereka, Ah..anak anak ini tahu apa tentang aku..? aku tidak gila berontakku dalam hati sambil pura pura akan mengejar mereka. " Lari...si gila ngamuk " teriak salah satu dari bocah nakal itu lalu mereka lari tunggang langgang meninggalkan aku. Anak anak ini tidak punya sopan santun dan etika rupanya, Orang tua mereka telah salah mendidik, yang membuat mereka tidak peka pada situasi dan kondisi seseorang yang lemah seperti aku. Aku tidak gila dan aku menentang keras anggapan itu. Aku hanya seorang pemikir sejati yang selalu tenggelam dalam renungan renungan tak berkesudahan. Sebenarnya aku memaklumi mereka yang menganggapku kurang normal dengan keadaanku yang serba kekurangan ini. Tapi apakah aku yang salah jika aku kini hidup di jalanan ? Berbekal baju sepotong yang sudah berlubang di berbagai tempat dan kulitku yang semakin hari semakin menghitam akibat terik matahari yang selalu aku tantang panasnya, aku susuri jalanan tuk mencari jawaban dari semua perenunganku. Aku kembali terduduk lesu dibawah pohon randu yang mulai berbunga, hmmm ingatanku melayang beberapa tahun yang silam. Saat aku masih menyandang status sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri yang terkenal di kotaku. Aku memilih masuk di fakultas hukum kala itu, karena keprihatinanku pada hukum di negeri ini yang kurasakan sudah caruk marut nggak karuan. Sebagai mahasiswa, tentu aku juga aktif di berbagai kegiatan sosial dan juga organisasi kemahasiswaan. Aku giat menggaungkan suara rakyat kecil dengan demo baik berskala kecil maupun yang besar. Hingga suatu hari, aku mengikuti salah satu demo untuk menolak kenaikkan harga BBM yang akan di terapkan oleh pemerintah. Tiga hari berturut turut, aku dan teman teman turun di jalanan dengan orasi orasi dan juga pentas teaterikal untuk menentang kebijakan pemerintah yang belum masuk tahap pengetukan palu. Hari telah terik, saat massa demonstran sudah tak bisa lagi menahan geram karena pemerintah sepertinya acuh terhadap tuntutan rakyat. Lalu entah di mulai siapa, antara massa demonstran dan aparat keamanan terlibat baku lempar dan juga baku pukul. Jiwa mudaku bergejolak, aku merangsek ke depan dan secara membabi buta aku serang beberapa aparat yang telah tega memukuli teman temanku. Namun tak berapa lama, aku tidak ingat lagi apa yang telah menimpaku. Saat tersadar kembali, aku telah berada di dalam ruangan sel kantor polisi bersama teman teman. Aku pandangi mereka satu persatu, wajah mereka sayu dan terlihat sedih. setelah memastikan mereka bahwa aku baik baik saja, salah satu temanku memberitahukan bahwa kami semua di tangkap dengan tuduhan pengerahan massa dan juga pengrusakan fasilitas umum. Kata teman teman mereka bersedih masuk penjara dan tidak bisa lagi menyuarakan nurani rakyat. Tiga hari kami semua di tahan di sel dengan perlakuan yang tidak wajar dari aparat. saat menanyai kami, tak segan segan para polisi itu menyundutkan rokok di kulit kami agar kami menanda tangani BAP yang mereka karang sendiri. Tentunya BAP itu menguntungkan mereka dan menyudutkan pihak kami para mahasiswa. Ah aparat ini selalu saja mementaskan sandiwara di mana saja. Keluargaku tentu tidak tinggal diam, dengan berbagai cara orang tuaku ingin aku keluar dari penjara ini, namun segala cara tak ada yang bisa mengeluarkan kami dari tuduhan keji itu. Sidang pun digelar, dalam beberapa kali pertemuan. Sudah bisa di tebak setelah melewati serangkaian drama -baca =sinetron- kami dijebloskan penjara beberapa bulan dengan tuduhan palsu. Sejak saat itu, jiwa pemikirku tumbuh liar di sel penjar karena otak perjuanganku tidak terlampiaskan dengan baik. Dan aku semakin sering merenungkan negeri ini dengan segala polah tingkah para terhormat yang sering menggadaikan wewenangnya untuk sifat rakusnya. Hingga pada titik putus asa karena tidak bisa menuruti kata hati, aku turun ke jalan sendiri. Menyuarakan suara hatiku yang kini jadi bahan tertawaan banyak orang yang aku temui. Ah...biar saja, mereka tidak pernah bisa memahami pemikiranku, perenunganku...cukup angin semilir yang menemaniku dalam perjuangan panjang hidupku... Aku kembali terlelap di terpa bayu.... *pondok sepi tawangsari*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H