Malam meranum sudah, sayup nyanyian kodok meningkahi sunyi. Di ruang sel yang remang-remang, Sapto teruslah bergumam dalam kegelisahan "Tidak.., bukan dia. Tidak..., bukan dia, Lastri..maafkan aku". Kalimat itu sudah terucap berkali-kali, entah apa maksudnya.
Sejak kematian istrinya, Lastri sebulan yang lalu, Sapto kerap bertingkah aneh. Mungkin dia merasa sangat kehilangan istrinya yang berusia 21 tahun, dan 30 tahun lebih muda dan berparas cantik itu. Lastri sebenarnya bukan satu-satunya wanita yang mendampingi hidupnya. Ada dua istri terdahulu Sapto yang kesemuanya ternyata bisa hidup damai saling berbagi perhatian suami.
Hampir semua orang salut pada Sapto yang bisa membuat ketiga istrinya dan 3 anaknya hidup rukun. Mira istri pertamanya Sapto mempunyai 1 anak lelaki, Lilis istri keduanya memberinya 2 anak, laki-laki dan perempuan. Sedang Lastri yang sudah dinikahi selama 5 tahun Sapto tidak mempunyai keturunan. Ketiga istrinya mendapat rumah mewah yang saling berjejer, mungkin itu disangaja oleh Sapto agar dia mudah untuk mengunjungi masing-masing istrinya.
Mira dan Lilis sebenarnya tahu jika sang suami sangatlah mencintai Lastri istri ketiganya. Namun entah mengapa kedua perempuan itu memilih diam dan menerima nasib sebagai istri yang ditepikan. Meski dalam hati mereka mengakui untuk urusan materi, suaminya tak pernah pilih kasih, semua dimanjakan dengan kekayaan yang tentunya untuk ukuran kehidupan mereka di sebuah kampung di lereng Gunung Sumbing sudah lebih dari cukup. Namun hati keduanya terkadang merasa nyeri mendapatkan kenyataan bahwa Sapto, lebih sayang pada Lastri. Masing-masing istri, disediakan satu unit mobil dan rumah mewah yang berdampingan.
Sebagai juragan tembakau dan juga pemilik pabrik pengolahan kayu, hal itu mudah saja diberikan Sapto pada istrinya. Jangankan rumah mewah dan mobil, hampir setiap tahun istri dan anak-anak Sapto liburan ke berbagai tempat wisata seperti ke Bali. Dengan kata lain, semua istri dan anaknya mendapatkan kemewahan.
Sebenarnya masuk akal kalau Sapto lebih sayang pada Lastri, bagaimana tidak?. Â Selain berparas ayu layaknya gadis Indonesia, Lastri berpostur semampai, dengan kulit tubuh kuning langsat yang mulus seakan tanpa cela. Tutur katanya lembut, ramah dan murah senyum.
Lesung pipinya menambah manis senyumnya. Semula Lastri memang dikenal sebagai kembang desa, bukan hanya di desanya Pringapus, namun berita kecantikannya sampai pula di desa tempat Sapto bermukim yang jaraknya cukup jauh karena berselang 4 desa. Waktu Lastri masih sekolah kelas 3 SMK di kota kabupaten, Sapto telah  mencari kabar tentangnya. Tak sulit sebab dengan kekuasaan dan uangnya, dia mudah saja meminta tolong seseorang buat mencari informasi tentang Lastri.
Mujur bagi Sapto, karena dia mengenal orang tua Lastri. Dia menjalankan strategi dengan cara mendekati orang tua Lastri agar hasratnya menjadikan sang kembang desa sebagai istrinya itu berjalan mulus. Dengan pengaruh nama besarnya, akhirnya orang tua Lastri luluh lalu menyerahkan anak pertamanya kepada laki-laki dengan 2 istri itu sebagai istri ketiganya. Meski cantik dan pintar, Lastri tetaplah gadis desa yang patuh terhadap orang tua. Permintaan orang tuanya agar dia menerima Sapto sebagai istri ketiganya itupun dia iya kan saja.
Meski sebenarnya dia ingin melanjutkan pendidikannya yaitu kuliah di Yogyakarta, untuk mewujudkan cita-citanya sebagai guru. Lastri merasa orang tuanya sudah sepuh dan dia tidak tega menyakiti kedua orang tuanya itu. Dan setahun setelah dia dinyatakan lulus dari SMK, Lastri pun duduk bersanding dengan Sapto di pelaminan.
Babak baru dalam kehidupan yang tidak seindah pelaminan pun harus dilalui oleh Lastri. Meski Sapto sangat mencintainya toh Lastri merasa harus tahu diri dan berhati-hati dalam menjaga sikap dan laku saat menghadapi kedua istri Sapto terdahulu dan juga anak-anak tirinya. Namun pada dasarnya Lastri adalah perempuan baik, hingga membuat madunya tidak punya alasan untuk membencinya, meski hati orang siapa yang tahu. Di dunia ini, siapa sih perempuan yang suka rela mau berbagi suami?
Hari berganti hari, sudah setahun Lastri menjadi istri Sapto, di satu pagi yang masih berkabut, Lastri masuk ke ruang kerja suaminya. Saat itu musim panen tembakau dimulai, makanya sepagi itu Sapto sudah "jenek" di ruang kerjanya, memeriksa pembukuan dan juga contoh-contoh tembakau yang akan dijual padanya dari petani sekitar dusun.