Gila.. gila... gila...
Teriakan bocah bocah itu amat mengganggu tidur siangku kali ini dengan malas aku usir mereka agar menjauh dariku, aku ingin tenang kembali nikmati mimpi yang tertunda. Namun rupanya anak anak itu tak mengindahkan perintahku, aku bangkit dan mereka bertambah keras mencercaku
" Si gila..... si gila ...si gila " seru mereka, Ah..anak anak ini tahu apa tentang aku..? aku tidak gila berontakku dalam hati sambil pura pura akan mengejar mereka.
" Lari...si gila ngamuk " teriak salah satu dari  bocah nakal itu lalu mereka lari tunggang langgang meninggalkan aku.
Anak anak ini tidak punya sopan santun dan etika rupanya, Orang tua mereka telah salah mendidik,  yang membuat mereka tidak peka pada situasi dan kondisi seseorang yang lemah seperti aku.Aku tidak gila dan aku menentang keras anggapan itu. Aku hanya seorang pemikir  sejati yang selalu tenggelam dalam renungan-renungan tak berkesudahan.
Sebenarnya aku memaklumi mereka yang menganggapku kurang normal dengan keadaanku yang serba kekurangan ini. Tapi apakah aku yang salah jika aku kini hidup di jalanan?. Â Berbekal baju sepotong yang sudah berlubang di berbagai tempat dan kulitku yang semakin hari semakin menghitam akibat terik matahari yang selalu aku tantang panasnya, aku susuri jalanan tuk mencari jawaban dari semua perenunganku.
Aku kembali terduduk lesu dibawah pohon randu yang mulai berbunga. Hmmm ingatanku melayang beberapa tahun yang silam. Saat aku masih menyandang status sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri yang terkenal di kotaku. Aku memilih masuk di fakultas hukum kala itu.  Semua karena keprihatinanku pada hukum di negeri ini yang kurasakan sudah tidak karuan. Sebagai mahasiswa, tentu aku juga aktif di berbagai kegiatan sosial  dan juga organisasi kemahasiswaan. Aku giat menggaugkan suara rakyat kecil dengan demo baik berskala kecil maupun yang besar.
Hingga suatu hari, aku mengikuti salah satu demo untuk menolak kenaikkan harga BBM yang akan di terapkan oleh pemerintah. Tiga hari berturut-turut, aku dan teman teman turun di jalanan dengan orasi-orasi dan juga pentas teatrikal untuk menentang kebijakan pemerintah yang belum masuk tahap pengetukan palu.
Hari telah terik, saat massa demonstran sudah tak bisa lagi menahan geram karena pemerintah sepertinya acuh terhadap tuntutan rakyat. Lalu entah di mulai siapa, antara massa demonstran dan aparat keamanan terlibat baku lempar dan juga baku pukul. Â Jiwa mudaku bergejolak, aku merangsek ke depan dan secara membabi buta aku serang beberapa aparat yang telah tega memukuli teman-temanku. Namun tak berapa lama, aku tidak ingat lagi apa yang telah menimpaku.
Saat tersadar kembali, aku telah berada di dalam ruangan  kantor polisi bersama teman teman. Aku pandangi mereka satu persatu, wajah mereka sayu dan terlihat sedih. Setelah memastikan pada mereka bahwa aku baik baik saja, salah satu temanku memberitahukan bahwa kami semua di tangkap dengan tuduhan pengerahan massa dan juga pengrusakan fasilitas umum.
Tiga hari kami semua di tahan di sel dengan perlakuan yang tidak wajar dari aparat. Saat menanyai kami, tak segan segan para polisi itu menyundutkan rokok di kulit kami agar kami menanda tangani BAP yang mereka karang sendiri. Tentunya BAP itu menguntungkan mereka dan menyudutkan pihak kami para mahasiswa. Keluargaku tentu tidak tinggal diam, dengan berbagai cara orang tuaku berusaha agar aku bisa keluar dari penjara secepatnya. Namun segala cara itu tak ada yang bisa mengeluarkanku ataupun teman-teman kami dari tuduhan keji itu.