Mohon tunggu...
Selo Soemardji
Selo Soemardji Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Allah dulu, Allah dulu, Allah lagi, Allah terus...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar Dari Serangan Fajar

7 April 2014   20:34 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Segala bentuk kecurangan dalam pelaksanaa pemilu bisa dan banyak terjadi. Bentuk kecurangan itu dilakukan tentu saja untuk meraup suara terbanyak. Istilah bagi-bagi uang atau sembako satu hari sebelum hari H pelaksanaan pencoblosan DPR atau kepala pemerintahan disebut serangan fajar. Biasanya serangan fajar ini dilakukan oleh calon DPR atau calon kepala pemerintahan melalui tim suksesnya. Mereka langsung datang ke rumah-rumah warga di sekitar TPS untuk memberikan uang atau sembako, ini tidak lain bermaksud agar warga memilih calon yang diusung oleh parpol yang memberi mereka uang atau sembako.

Money politik (politik uang) dalam bentuk membeli suara atau serangan fajar merupakan tindakan yang tidak terpuji dan merupakan tindakan pidana dan bisa diproses hukum. Tentu warga menerima apa saja yang diberikan oleh para calon, tetapi belum tentu warga tersebut akan memilih calon yang memberi mereka uang atau sembako tersebut. Toh kan para calon sendiri yang rugi, sudah keluar uang banyak tapi tidak dipilih.

Warga tentu saja memiliki hak memilih siapa saja calon-calon yang mereka minati tanpa terpengaruh oleh iming-iming uang. Jadi, bagi siapa saja yang menjadi calon DPR atau kepala pemerintahan yang memiliki banyak uang belum tentu menjadi pemenang, karena uang bukanlah segalanya.

Pada pemilu tahun 2009 saya pernah merima sejumlah uang dalam amplop dari tim sukses salah satu parpol, kala itu pemilihan presiden dan wakil presiden. Mereka tidak tahu bahwa waktu itu saya belum memiliki hak untuk memilih, karena ketika itu saya masih sekolah SMK di serang. Saya agak sedikit kecewa, karena mungkin saya dikira sudah tua dan memiliki hak untuk memilih. Sembari memberikan amplop saya disuruh memilih nomor yang mereka katakan. Karna waktu itu saya tidak tahu apa-apa, saya iyakan saja apa yang mereka katakan.

Setelah saya menyadari hal itu merupakan tindakan yang tidak terpuji, karena sama saja dengan suap. Tentu saja dalam suap bahwa yang memberi dan menerima sama saja salah/berdosa.

Dari pengalaman saya di atas, sebagai pemilih tentu setelah ada kejadian itu saya berpikir, bahwa jika ada calon-calon yang melakukan kecurangan yang dengan membagi-bagi uang tentu itu adalah pemimpin yang buruk dan tentu setelah mereka mengeluarkan uang setelah mereka menang mereka akan berpikir bagaimana mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan dan tidak memikirkan kepentingan warga. Maka dari itu jika ada calon yang demikian, jangan dipilih, abaikan saja. Sebagai pemilih, kita harus cerdas dalam memilih. Jangan gampang tergiur dengan uang yang diberikan oleh calon-calon, uang itu hanya bermanfaat sesaat dan berdampak buruk 5 tahun ke depan.

Bagi para calon, uang bukan segalanya, bukan calon dengan uang terbanyak yang menang, melainkan calon (parpol pengusung) yang mampu meyakinkan untuk perubahan, jadilah calon pemimpin yang memberikan teladan yang baik bagi masyarakat. Jangan jadikan uang sebagai senjata untuk meraih kemenangan, jangan juga mencederai demokrasi dengan politik uang serta jangan jadikan kebaikan sebagai kedok untuk meraih simpati warga. Proses untuk mendapat tempat dimasyarakat itu membutuhkan waktu lama, sehingga uang tidak mempercepat untuk mendapat tempat itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun