Mohon tunggu...
sintesais
sintesais Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Fatum Brutum Amorfati

Makhluk bersari-pati tanah yang diselundupkan oleh Sang Maha Pengedar untuk memberlangsungkan hidupnya kembali ke bumi, setelah sekelibet diperlihatkan surga-Nya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membincang Takdir dan Mem-Filsafat-kannya

14 Maret 2021   10:07 Diperbarui: 14 Maret 2021   13:06 3941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Dari Sebuah Tanya

“Jika Tuhan Sang Maha Kuasa, apakah Ia dapat menciptakan makhluk yang lebih Maha Kuasa dari-Nya?”

“Jika Tuhan ada, di mana ia bertempat-tinggal?”

“Di mana surga?”

“Jika Tuhan nyata, lantas seperti apa rupa-Nya?”


Dalam bidang pemikiran seperti filsafat, dengan sifat berpikirnya yang radixt,  tentu kita tahu sendiri ada banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ‘aneh’.

Pertanyaannya beragam, mulai dari yang paling simpel tapi cukup menyengat di otak. Hingga pada taraf transenden yang akibatnya seringkali malah mengkritisi ke-eksis-an Tuhan itu sendiri.

Tak heran, seringkali hal ini menimbulkan konotasi negatif terhadap bidang filsafat. Dan stigma sesat kendati melekat dalam filsafat.

Salah satunya adalah pertanyaan tentang takdir, serta free will atau kehendak bebas manusia menjadi topik yang acap kali diperdebatkan di setiap zaman.

Meski pertanyaannya bisa dibilang ‘nyeleneh’, tetap saja, selalu ada orang-orang yang mempertanyakannya. Entah tujuannya apa, mungkin hanya sebatas “gaya-gayaan” biar bisa disebut seorang filsuf, ataupun bisa jadi ia tengah mengalami pergolakan batin dalam hidupnya.

Seperti, jika kita memiliki kehendak bebas untuk melakukan apa pun yang kita inginkan. Namun, mengapa Tuhan sudah terlebih dahulu menetapkannya di Lauh Mahfuz?

Jadi mana yang lebih tepat; kita tidak memiliki free will, dan hidup bak hewan ternak yang tinggal menunggu takdirnya; ataukah kesalahannya terletak pada Tuhan, yang sudah memberi —katanya— kehendak bebas, tapi Dia sendirilah yang membuatnya bertentangan dengan takdir yang sudah dituliskan, sederhananya: membebaskan tapi sekaligus mengekang, begitu bukan?

Bagaimana?

Dalam istilah Islam, takdir dikualifikasi ke dalam dua hal. Pertama, takdir yang bisa diubah oleh kita sendiri (qadar). Dan terakhir, takdir atau ketetapan pasti yang mana sudah ditentukan adanya oleh Tuhan, tak bisa diganggu gugat, yang kita mafhum sebagai qada.

Seperti, jodoh, rezeki, dan kematian.
Tapi keduanya baik yang bisa diubah ataupun tidak, sudah tertulis di Lauh Mahfuz sana.

Lantas untuk apa repot-repot merubah nasib. Dan untuk apa kita semua menjalankan hidup seperti biasanya lagi. Toh, semuanya sudah tertulis dan ditetapkan bukan?

Ternyata tidak semudah itu kita memasrahkan semuanya.

Meski sudah ditetapkan, apa kita tahu apa yang ditulis?

Jawabannya, tidak sama sekali.

Maka kita temukan kesimpulan awal, bahwa takdir bersifat ghaib. Artinya, kita sendiri yang menjalaninya tidak tahu menahu terhadap hal itu.

Lalu, untuk apa kita berusaha?

Jawabannya, jika kita tidak berusaha, apakah kita tahu jawabannya selain kita menjemputnya?

Kita ambil contoh, si A memiliki keinginan untuk masuk universitas idamannya; UGM. Tapi dia tidak mau mengambil usaha untuk ujian atau seleksi yang sudah ditetapkan —seperti SBM, Ujian Mandiri, dsb.—

Kata dia percuma melakukan itu, jika ia tidak berhasil lolos.

Lantas, kembali kepada jawaban awal. Berhasil atau tidak urusan belakang, yang penting kita sudah memaksimalkan usaha. Seperti kata Cak Nun, kurang lebih seperti ini “Tuhan gak nyuruh kita untuk ‘selalu’ menang, sehingga kalah pun bukan sebuah dosa. Yang dilihat Tuhan, adalah bagaimana orang itu berusaha.”

Saya berpikir, mungkin inilah hikmah yang dihadirkan Tuhan dengan membuat takdir seperti itu adanya; “remang-remang. Sebab jika saja takdir sudah dijelaskan secara terperinci segalanya, maka akan aneh jika kita berusaha untuk merubahnya, bukan?

Maka dengan membuat takdir bersifat abstrak, dan tidak ada yang tahu. Maka orang-orang akan mengusahakan yang terbaik untuk dirinya sendiri.

 "Kebebasan Berkehendak adalah hadiah terbesar dari Tuhanmu, dan dengan menggunakannya adalah cara berterima kasih kepada-Nya. Jangan jadi kaum fatalis, karena mereka telah mencampakkan hadiah dari Tuhannya." -Jalaluddin Rumi


Terima kasih!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun