Tiada yang lebih kejam dari penderitaan. Dibunuhnya satu impian dan cita-cita manusia hingga ke akar-akar. Dihempaskannya harapan manusia-manusia yang tak punya apa-apa.Â
Demikian pengalaman Natalia Olga Tapa, (11), Â siswi kelas V SDK Detuwulu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, Flores, NTT, bersama dua adiknya, Matias Reyhard Resa, (5), dan Maria Navya Candratika, (3). Mereka terpaksa mengubur segala impian dan kerinduan untuk mengenyam dunia pendidikan setelah menyaksikan ayah mereka, Firmus Du, (35), terbaring lumpuh di tempat tidur.
Hari itu, 17 Januari 2015. Firmus Du, pengiris dan penjual moke serta tukang sensor, tidak pernah menyangka bahwa hari itu adalah permulaan penderitaan hidup keluarganya. Ia menjalankan salah satu aktivitas hariannya sebagai tukang sensor kayu. Sayangnya, kesialan selalu datang tanpa kompromi. Ia ditindih pohon kelapa, ketika sedang menjalankan pekerjaan hariannya itu di desa Maurole, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, Flores. Â Â
"Saya sedang memotong batang kelapa yang ada di tanah, ketika orang-orang berteriak menyuruh saya menghindar. Pohon kelapa yang tidak saya sensor tiba-tiba tumbang menindih tubuh saya. Saya tidak sempat menghindar, karena saya tidak mendengar teriakan warga. Sejak saat itu, saya tidak bisa berjalan sama sekali. Selangkah pun tidak," tutur Firmus bernada tidak percaya akan perstiwa silam itu.
Kesusahan bermula sejak peristiwa malang itu. Firmus tidak dilarikan ke rumah sakit, karena ketiadaan biaya pengobatan. Alhasil, Firmus hanya terbaring di tempat tidur. Status kepala rumah tangga beralih kepada istrinya, Bernadeta Riti.Â
Kini, Bernadeta harus mengumpulkan segala ketabahan dan siap berjuang menghidupi keluarga kecilnya. Demikian juga ketiga anaknya yang masih belia. Mereka terpaksa menanggung segala penderitaan ini.
Si sulung, Natalia Olga Tapa, harus tinggal bersama nenek dan kakeknya, keluarga dari ayahnya. Sementara, bungsu, Maria Navya Candratika, juga harus tinggal bersama opa dan omanya, keluarga dari ibunya, lantaran pendapatan biaya eknomi hidup kian mengering.
Bermodalkan sedikit uang tabungan penghasilan dari penjualan moke, mereka menyewa sebuah kos sederhana di desa Maurole. Kos itu terletak di pinggir pantai dengan tarif 100 ribu per bulan. Ukurannya tidak terlalu luas.Â
Di sana hanya ada satu ruangan dan terdapat satu tempat tidur untuk tiga orang, Firmus, Bernadeta, dan Matias Reyhard Resa, anak kedua. Di sudutnya, ada sebuah meja meletakan kompor dan peralatan masak serta beberapa peralatan makan. Selebihnya, beberapa potongan pakaian dengan sebuah kelambu usang pengusir nyamuk.
Titi batu
Satu-satunya cara bertahan hidup adalah bekerja. Bernadeta bersama anaknya, Jojon, demikian Matias Reyhard Resa disapa, mulai mengumpulkan uang dengan cara titi batu.Â