Di Indonesia, banyak sekali dokter, terkhususnya dokter residensi atau yang sedang menjalankan masa PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis), merasa durasi pekerjaan mereka terlalu berlebihan atau overworked. Normalnya, sesuai dengan ketentuan Perppu Cipta Kerja Pasal 81 angka 23, setiap orang bekerja dalam 8 jam per hari atau 40 jam satu minggu. Namun, kenyataannya, terdapat dokter yang menjelaskan bahwa jam kerja normal bagi dokter PPDS adalah 18 jam dalam satu hari. Bahkan, rata-rata calon dokter spesialis di Indonesia bekerja selama 60 hingga 80 jam dalam satu pekan. Akibatnya, waktu istirahat mereka berkurang, biasanya hanya 2-3 jam sehari. Hal ini tentunya menyebabkan kesehatan mental dokter terganggu sehingga banyak dari mereka yang terkena depresi.
Diliput dari detikhealth, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Adib Khumaidi, mengatakan bahwa salah satu pemicu terbanyak depresi pada PPDS adalah persoalan jam kerja. Oleh karena itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendesak pemerintah segera menindaklanjuti laporan 3,3 persen atau 399 calon dokter spesialis di RS Vertikal yang mengalami depresi bahkan merasa lebih baik mengakhiri hidup. Tidak hanya itu, terdapat kasus yang viral beberapa bulan yang lalu di media sosial. Kasus tersebut menyangkut dokter PPDS Undip diduga bunuh diri. Salah satu alasannya adalah dokter tersebut memiliki beban kerja yang berat.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Meskipun banyak orang yang menyadari dokter di luar negeri lebih baik kualitas pelayanannya dibandingkan yang di Indonesia, bukan berarti dokter di sana bekerja tanpa tekanan, mental yang terganggu, dan beban kerja yang normal. Dokter di luar negeri juga mengalami hal yang sama. Mereka juga merasakan depresi akibat jam kerja yang terlalu lama. Kasus ini terjadi di negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Kanada, India, dan masih banyak lagi.
Terdapat sekitar 81% dokter di Amerika yang merasa beban kerja mereka berlebihan di 2024. Berhubung pekerjaan dokter juga berhusursan dengan hal-hal administrasi, dokter di sana juga mengalami burnout atau stres yang menumpuk selama kerja. Saat ini, survei dari Doximity, platform medis, menyatakan bahwa terdapat 86% dokter yang merasa bahwa mereka tidak dibayar sesuai dengan waktu kerja mereka. Artinya, mereka dibayar sedikit. Hal ini juga tidak beda jauh dengan kasus yang di Indonesia. Ada sebanyak 95% dokter umum di Indonesia yang digaji sesuai dengan rekomendasi IDI, yaitu 12,5 juta setiap bulan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dokter Amerika juga mengalami isu yang mirip dengan dokter di Indonesia.
Tidak hanya di Amerika, para dokter di Australia juga mengalami isu yang mirip. Berdasarkan survei tahunan yang dilakukan oleh Australian Medical Association Queensland (AMAQ) Resident Hospital Health, pada 2021 tercatat 51% dari 808 dokter muda yang menyatakan bahwa mereka mengalami kelelahan kerja. Alasannya aalah durasi kerja mereka melebih normal. Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, persentasenya meningkat sebanayk 48% dari tahun 2020. Dokter juga mengatakan bahwa mereka merasa tidak nyaman saat bekerja akibat ini. Juga, terdapat seperempat dari dokter muda yang tidak dibayar sesuai dengan jam kerja. Parahnya lagi, terdapat kasus perundungan, diskriminasi, dan pelecehan seksual yang melibatkan lebih dari sepertiga dokter-dokter muda di sana.
Terakhir, isu yang serupa juga terjadi di negara tirai bambu, Cina. Terdapat studi yang meneliti kasus tentang dokter yang mengalami burnout di Cina. Studi tersebut melaporkan bahwa berdasarkan survei yang diasosiasi oleh dokter medis Tiongkok, terdapat 52,72% dokter bekerja lebih dari 40 jam per minggu, dan 32,69% dokter bekerja lebih dari 60 jam per minggu. Akibatnya, prevalensi dokter mengalami burnout lumayan tinggi, yaitu sebanyak 75.48%. Hal ini tentu tidak lepas dari kasus-kasus lainnya, seperti kejahatan pasien terhadap dokter dan kebijakan pemerintah Cina terhadap kesehatan yang kurang tepat.
Setelah mengetahui 3 negara besar di dunia juga mengalami masalah yang serupa di Indonesia, kita seharusnya sadar bahwa tidak banyak dokter yang kerjanya santai dan tanpa tekanan. Kenyataannya, masih banyak masyarakat di Indonesia yang menganggap sistem kerja dokter di luar negeri lebih baik. Padahal, kenyataannya banyak juga dokter di negara lain mengalami masalah mental seperti depresi, burnout, dan tidak nyaman selama bekerja oleh karena jam kerja di atas normal. Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang bijak, kita tidak perlu membandingkan dan merendahkan sistem kerja para dokter di Indonesia.
Perlu diperhatikan bahwa tidak hanya dokter yang mengalami hal ini, profesi lain seperti guru juga mengalami kelelahan karena bekerja di atas jam normal. Jadi, bagi setiap dari kita yang mengalami situasi seperti ini, sudah sepantasnya kita untuk tetap bertahan dan tidak mengeluh. Kunci agar kita bisa melewati segala situasi sulit ini adalah dengan bersabar dan pasrah kepada Tuhan. Ingat, pelaut yang hebat tidak pernah lahir di laut yang tenang. Â
REFERENSI
K, Nafilah. (2024). Idi Minta Jam Kerja Residen Diatur, 'overwork' Picu Depresi Banyak Calon Dokter Spesialis. Diambil dari https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7299944/idi-minta-jam-kerja-residen-diatur-overwork-picu-depresi-banyak-calon-dokter-spesialis. Â