Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tanggungjawab orangtua mengakomodasi kebutuhan anak gifted dan autis setiap harinya? Ya, saya sebagai pengajar yang menghabiskan waktu hanya 3 jam di sekolah sangat merasa lelah fisik dan emosional. Setelah berdiskusi dengan kepala sekolah, akhirnya saya nekat mengambil tanggungjawab sebagai guru pendamping. Btw, kakaknya juga akhirnya pindah ke sekolah kami setelah dia lulus SD.Â
Manajemen kelas saat itu berubah total karena memiliki dua murid dengan kebutuhan yang sangat jauh berbeda. Beruntungnya ada rekan pengajar yang kompak dan bersedia bekerjasama memenuhi kebutuhan murid tanpa memandang latar belakang. Saya sangat terbantu dengan mereka.Â
Karena saya satu-satunya Mentor lulusan psikologi, maka saya dipercaya untuk mendesain program terapi dan program belajar untuk semua murid tentunya dengan supervisi psikolog. Khusus bagi murid autis, saya bekerjasama juga dengan tempat terapinya dalam menyusun program. Disinilah awal ketertarikan saya dalam bidang psikologi pendidikan. Melakukan asesmen dan menyusun program belajar individual sesuai hasil penilaian.Â
Berlanjut hingga pandemi. Beradaptasi lagi pada kebiasaan baru, yaitu online learning dengan tambahan 3 orang murid yang  terdiri dari 2 murid gifted dan 1 disleksia. Jam belajar daring satu jam lebih cepat dari waktu reguler, yaitu 09.00-11.00. Dilanjutkan dengan mendamping murid autis. Begitulah kegiatan belajar mengajar selama pandemi. Lelah? Pasti. Tetapi dibalik itu semua ada kepuasan tersendiri karena target belajar para murid tercapai, meskipun prosesnya tidak selalu lurus.
Sesuai dengan bidang keilmuan saya, fokus dari pengajaran yang saya berikan berkutat di proses mental anak. Analisis kognitif, emosi, dan perilakunya. Dalam kegiatan dikelas, sering melakukan observasi dan tertarik mendalami lebih jauh tentang proses murid berpikir, merasa, hingga identifikasi minat bakatnya. Pastinya juga hasil akademik tidak diabaikan. Kalau ada murid yang mengalami kesulitan di salah satu topik, saya berinsiatif menawarkan jam khusus setelah selesai kelas.Â
Program IEP (Individual Education Program) yang disusun berkaitan dengan kecakapan hidup dan sosial anak. Untuk anak gifted biasanya mencakup strategi mengajarkan kemampuan mengolah perasaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemandirian. Sedangkan untuk anak autis dan disleksia, IEPnya lebih banyak mencakup kecakapan hidup yang membantunya dalam keseharian seperti membaca instruksi sederhana, menulis pesan, menyampaikan kebutuhan secara verbal, menghitung uang belajaan dan kembalian, menjaga kebersihan diri dll.
Hasilnya, setelah 4 tahun sekolah, murid gifted dengan kasus trauma sekolah umum mampu bersosialisasi dengan baik dengan teman-teman sebayanya dan tampil percaya diri saat mempresentasikan hasil tugas. Saat ini sudah banyak proyek kreatif yang dia buat bersama dengan adiknya dan diunggah di sosial media pribadinya.Â
Murid autis dapat bersosialisasi di sekitar orang banyak, lebih tenang saat bertemu dan diajak ngobrol oleh orang baru, tantrumnya berkurang banyak, dan orangtua terbantu untuk mendelegasikan tugas keseharian sederhana di rumah. Murid disleksia mampu membaca, berhitung, dan menulis sesuai dengan kecepatannya.
Mengenang kembali interaksi dan lingkungan belajar yang dibentuk oleh tempat kerja saya dulu, ada kebanggaan tersendiri karena jauh sebelum Kurikulum Merdeka Belajar diresmikan, saya dan rekan pengajar sudah lebih dulu menerapkannya kepada para murid kami. Pembelajaran yang berpusat pada anak dan sesuai dengan kebutuhan minat bakatnya. Bedanya adalah pada jumlah murid yang tidak sebanyak di sekolah umum. Maka dari itu saya bisa mengerti kesulitan para guru penggerak yang dituntut beralih dari metode ajar klasikal ke SCL. Tetap semangat ya para guru penggerak ...
Hal lain yang menyenangkan dan tak ternilai bagi saya sebagai pendidik dengan segela keterbatasan adalah berkesempatan bekerjasama dengan orangtua hebat yang memiliki anak-anak yang hebat pula. Keberhasilan dan pencapaian program-program belajar yang saya buat bersama dengan sekolah, tidak terlepas dari peran orangtua yang aktif membagikan informasi dan aspirasinya.Â
Tidak jarang juga mendengarkan keluhan dan jadi tempat curhat orangtua saat mengalami kepenatan di rumah. Memusingkankah? Bagi saya tidak. Saya jadi banyak belajar tentang ilmu parenting dari para orangtua hebat. Saya sangat merasa perlu berterima kasih dan bersyukur untuk itu.Â