Berkecimpung dalam dunia pendidikan anak memberikan banyak kesempatan kepada saya untuk mengobservasi perilaku mereka. Banyak ragam tingkah lakunya dari lucu, menggemaskan, hingga menyulut emosi. Dari sekian banyak perilaku anak, biasanya yang menarik perhatian dan tersimpan dalam memori sebagian besar orang dewasa adalah perilaku yang negatif saja. Mungkin inilah yang menyebabkan mengapa orang dewasa tidak menyukai aktivitas bersama dengan anak kecil.Â
Tiga bulan lalu, saya mengikuti sebuah komunitas pelayanan anak. Pada pertemuan pertama, saya mendapatkan laporan dari para rekan tentang seorang anak yang sangat aktif sekali alias tidak bisa duduk diam selama kelas berlangsung. Â Setelah saya perhatikan, ternyata benar. Selama 90 menit penuh ia betul-betul tidak bisa duduk diam walau hanya satu menit. Entah dia memainkan rambutnya, menggerak-gerakan badan, mengajak teman samping ngobrol, menutup mata dengan masker, dan banyak perilaku lainnya.Â
Uniknya, dibalik semua gerakan dia yang "tampak" bosan dan ugal-ugalan ternyata ia lebih aktif  merespon pertanyaan yang dilontarkan. Kemudian saya terpikir, mengapa para rekan saya hanya fokus pada perilakunya yang tidak bisa diam? Padahal ada kelebihan dibalik itu yang perlu diapresiasi. Memang perilakunya mengganggu fokus teman-temannya yang lain, tetapi bisa diminimalisir dengan memindahkan tempat duduknya atau membuat perjanjian konsekuensi.Â
Pertanyaan selanjutnya dari para rekan adalah "mengapa ya kak dia seperti itu? Apakah ada gangguan?". Dari sini bisa saya tarik satu kesimpulan bahwa para penggiat pendidikan perlu meningkatkan literasinya terkait psikologis anak. Alasannya sederhana, yaitu untuk memahami perilaku anak. Jawaban saya kepada mereka ada beberapa versi. Pertama, saya jelaskan terlebih dahulu kelebihan anak yang tidak diapresiasi oleh kakak-kakak. Kedua, saya jelaskan tentang gaya belajar. Anak yang cenderung banyak bergerak, biasanya mengadopsi gaya belajar kinestetik. Dimana dengan dia bergerak, sensorik pada tubuhnya lebih dapat bekerja optimal menyerap informasi dari lingkungan. Ketiga, kebutuhan sensorik anak kurang terpenuhi secara penuh, sehingga dengan melakukan banyak gerakan akan membuatnya merasa lebih nyaman. Kegiatan yang disarankan pada anak dengan kebutuhan sensori hypo adalah olahraga, lompat katak, bersepeda, bermain jungkit-jungkit, dan aktivitas lain yang memberikan tekanan pada tubuhnya.Â
Keluhan yang sama tentang anak tersebut tidak hanya datang dari para rekan. Melainkan juga dari orangtua. Di akhir sesi kelas, saya mendatangi orangtua dari anak yang bersangkutan kemudian bercerita tentang kegiatan anaknya selama di kelas. Respon umum orangtuanya adalah "maaf ya Kak. Anak saya juga memang seperti itu kalau di rumah". Jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus merespon karena saya pribadi sebagai pendidik merasa tidak ada yang perlu dimaafkan. Artinya, keputusan saya sebagai pendidik sudah siap dengan risiko tersebut, sehingga saya bertanggungjawab untuk turut memberikan solusi kepada orangtua guna meminimalisir perilaku anaknya yang dinilai "mengganggu". Â
Kesimpulannya, sebagai orang tua dan pendidik hendaknya kita dapat lebih berfokus pada perilaku positif anak dengan cara memberikan apresiasi setiap kali anak berperilaku yang diharapkan. Marah-marah dan mengeluhkan perilaku negatif anak secara terus menerus, tidak cukup efektif untuk memberikan efek jera. Perjanjian konsekuensi terhadap perilakunya bisa menjadi salah satu metode yang digunakan sebagai modifikasi perilaku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H