Kadang aku melihatnya berwarna putih dengan bayangan hitam yang lebih besar. Kadang pula aku melihatnya hanya warna putih tanpa cela. Tidak menentu kapan ia akan menunjukkan warna yang sebenarnya. Mungkin tergantung dari suasana hatinya yang berubah-berubah dari pagi hingga matahari terbenam.Â
Aku sering dibuat bingung olehnya. Kadang dia sangat lembut, hangat, menyenangkan. Kadang pula ia bisa menjadi orang yang paling menyakitkan dan menyeramkan. Seseram itu perubahannya yang tidak terduga. Perasaanku juga turut mengikuti perubahannya. Mungkin ini yang dinamakan ikatan batin. Apa yang ia rasakan juga aku rasakan. Sedekat itukah kami?Â
Suatu pagi dia menyiapkan makanan sebelum pergi. Siang itu dia terlihat diam saja tanpa bicara. Malamnya ia hanya mengurung diri di kamar. Entah apa yang sedang ia alami. Aku ingin membantunya tapi tidak tahu bagaimana caranya. Ia pun tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk membantu.Â
Seperti gelas yang terisi air. Terkadang ia terisi penuh, setengah, dan kosong. Apa yang paling aku khawatirkan ketika ia terisi penuh. Bagaimana bisa dia bertahan dengan dirinya sendiri begitu lama. Bahkan senyumnya sekalipun memberikan makna yang berbeda.Â
Aku tidak bisa berhenti disini. Perjalanan masih panjang. Sampai waktu akhir tiba, aku tidak boleh berhenti. Pertanyaanku, kapan waktunya ia mengistirahatkan diri? Apakah ia mengetahui waktu itu? Ku melihatnya terlalu memaksakan diri dan menurutnya tidak.Â
Aku menemukan warnanya yang baru. Warnanya tidak selalu putih atau hitam. Terkadang abu-abu yang membuatku semakin sulit memahaminya. Mungkin dia butuh waktu sendiri hingga dia siap untuk menumpahkan isi gelasnya. Bersabar adalah jalan terbaik hingga ia hilang sendiri.Â
Malaikatku bisa menjelma menjadi wanita cantik yang anggun. Bisa juga ia menjadi pria perkasa yang bijaksana. Semakin ku mengenalnya, aku jadi tahu bahwa gambaran itu hanyalah topeng yang ia pakai sepanjang waktu untuk membuat orang lain nyaman. Walaupun, benaknya ingin mengamuk jika diperbolehkan.Â
Ada masa dimana aku berpikir untuk menempuh jalan yang berbeda dengannya. Wajar aku berpikir demikian setelah merasa lelah dan tersesat. Namun, apa daya perasaan untuk bersamanya terlalu kuat. Alhasil, aku turut larut dalamnya hingga tak tahu cara keluar.Â
Pandanganku ikut menghitam atau abu-abu. Hanya dua warna itu yang bisa kulihat. Entah kemana putihnya yang dulu ku kagumi. Jika diputar kembali ingatan masa lalu, aku tidak pernah melihat warnanya yang lain. Disaat aku berusaha memberikan banyak pilihan warna, ia diam saja tak berkutik.Â
Tak peduli seberapa keras ku mencoba, semakin ia berkeras hati. Katanya, aku hanya pengganggu yang sok tau. Jika aku hanya pengganggu, mengapa dia tidak melangkah jauh. Malah ia menahanku tanpa menganggap kehadiranku.Â