Pertemuan pertama kami dimulai saat menyaksikan senja di balkon apartemen. Karena diriku yang senang menyendiri alhasil tidak menyadari keberuntungan tetangga yang asik diajak ngobrol. "Hai", satu kata yang dia ucapkan mengawali kisah manis bersamanya.
Secangkir kopi dan coklat hangat. Percakapan pertama kami bersama minumam favorit di balkon favorit kami. Gaya klasik dan romantis seperti dalam adegan film.Â
Aku menyadari satu hal. Minuman kesukaan kami menggambarkan kepribadian masing-masing. Dia penyuka kopi, si ekstrovert dan mudah bergaul. Aku penyuka coklat hangat, si introvert dan pendengar yang baik.Â
Aku bersyukur bertemu ekstrovert yang mau mengadopsiku sebagai teman cerita. Kalau diingat-ingat dia adalah laki-laki pertama yang aku kenal tidak kehabisan bahan obrolan. Tipikal pria pintar sejalan dengan penampilan dan cara ia berkomunikasi. Â Â
Perjalanan pertama kami di tempat berbeda. Hari sabtu itu, pertama kali dia mengajakku nongkrong di sebuah cafe dekat kantorku. Tanpa berpikir panjang aku menerima ajakannya.Â
Pikiran mengganggu introvert menyerang dengan tanda tanya besar "introvert sepertiku pasti langsung menolak ajakan lawan jenis. Mengapa dengannya terasa berbeda?".
Aku, si penuh kewaspadaan dan kecurigaan terhadap ia yang mendekat, berusaha menahan diri. Namun, pertahananku roboh. Aku mendapati diriku tidak canggung saat bersamanya. Aku lancar mengomunikasikan apa yang ada dalam pikiranku tanpa merasa akan dihakimi atau dinilai berlebihan.Â
Bagaimana ia merespon membuatku merasa dia adalah pria yang berempati pada orang lain. Tidak semua orang bisa melakukan itu.Â
Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Sudah 6 bulan aku dekat dengannya. Suatu pencapaian yang membingungkan dan membahagiakan.Â
Ini adalah pertama kalinya aku menjalin pertemanan dengan lawan jenis untuk waktu yang lama. Biasanya aku menjaga jarak karena sering bertemu dengan mereka yang punya maksud terselubung. Membuatku membangun benteng tinggi untuk melindungi diriku sendiri.Â