Menangis adalah Ungkapan Dari Perasaan dan Emosi Manusia
Menangis merupakan bentuk ekspresi yang umum ditunjukkan oleh manusia. Alasan dari tangis bisa bermacam-macam. Ada tangisan karena hal yang menyenangkan, ada juga karena rasa takut, ada juga karena rasa sakit atau terluka. Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang menangis, hal tersebut sangatlah wajah. Sama halnya dengan tertawa, menangis adalah hak semua manusia, termasuk lelaki.
Salah satu budaya toxic masculinity yang familiar di kalangan masyarakat adalah bagaimana menangis adalah hal yang terlarang bagi seorang lelaki dan laki-laki mungkin terbiasa mendengar ucapan "laki-laki itu gak boleh nangis." Menurut orang-orang kebanyakan, lelaki itu harus kuat, berani, percaya diri, dan kata sifat positif lainnya yang memiliki makna maskulin. Ketika seorang lelaki menangis, seringkali diartikan mereka bukan lelaki sejati karena mereka menunjukkan sisi lemah mereka dan menangis memiliki asosiasi dengan sifat "feminin."
Oleh karena itu, kebanyakan lelaki terlihat keren, kuat, dan berani di luar. Mereka belum memiliki kesempatan untuk membagikan atau mengungkapkan apa yang mereka rasakan karena respons yang didapatkan tidak menyenangkan. Orang lain terkadang tidak memvalidasi perasaan dan emosi yang bersifat lemah ketika perasaan dan emosi tersebut diungkapkan oleh lelaki. Orang-orang memiliki ekspektasi mengenai bagaimana seorang lelaki itu.
Melihat Realita Toxic Masculinity Bekerja
Elfa, seorang mahasiswa Universitas Padjadjaran, ikut membagikan pengalamannya mengenai toxic masculinity dan bagaimana dampaknya di kehidupannya sekarang.Â
"Iya, pernah. Pernah, sih dibilang 'laki-laki itu gak boleh nangis' dan mungkin jadi pengaruh ke mindset," jelas Elfa singkat.
Mindset yang Elfa maksud di sini adalah ketika ia merasakan sesuatu, ia tidak mengungkapkan dan seringkali tidak memvalidasi perasaannya sendiri. Ia juga ikut merasa denial dengan emosi dan perasaannya. Hal tersebut berakhir pada ia mencoba menguatkan dirinya sendiri.
"Gak ada tempat buat menyalurkan perasaan dan emosi, jadi dipendem semua," terangnya ketika menjelaskan tentang apa yang ia lakukan dengan perasaan dan emosinya. Elfa menyadari perihal apa yang ia lakukan sejak lama. Sudah sejak kecil, ia menyimpan apa-apa sendiri.
"Disimpen sendiri, kebetulan karena ada masalah keluarga juga. Jadinya, kayak gak percaya sama orang lain dan selfish aja," cerita Elfa. Meskipun Elfa mengatakan bahwa ia memendam perasaannya, ia juga mencoba mengungkapkannya dan bercerita. Hanya saja, ia tidak bercerita ke teman atau keluarganya yang masih hidup, tetapi ia menghadap ke makam mendiang neneknya. Namun, ia tidak bercerita selayaknya ia mengobrol, ia melakukan monolog di dalam otaknya.