Awan hitam berhasil menyelimuti bumi, rupanya yang menggembung bak kantong kresek yang berisi air siap menghantam kebun stowberry milik tetanggaku.
Pohon stowberry yang subur itu terlihat sedang mengintipku di balik pagar lusuh yang terbuat dari pelepah bambu dan tak tersusun rapi lagi. Beberapa buahnya sudah berubah warna. Merah lombok, tentu nya sangat manis. Sebentar lagi hujan, aku membatin.
Benar saja, sekarang daun stowberry itu melambai-lambai di terpa angin mengikuti irama hujan, buahnya pun tak kalah asyik.
Aku lupa, ini bukanlah rumahku dan pagar lusuh itu juga bukan punyaku. Gubuk bekas berpondasi kayu yang setiap hari menjadi santapan rayap, seng bekas dan triplek lusuh berlumut ini adalah milik tetangga. Sebelumnya ini adalah kandang sapi yang aku ubah menjadi tempat peristirahatan aku dan adik.
Adikku pasti kedinginan, aku tarik selimut guna menghangatkan tubuh mungilnya dan ember untuk menampung butiran hujan. Lagi-lagi itu milik tetangga yang ia sedekahkan untuk ku dan adikku.
Pelan namun pasti, suara itu mendesak jantung dan bekerja sangat cepat.
“kak, aku lapar! Makan apa kita hari ini?” dengan mata yang masih terpejam.
“makan...makan.. ehh, pisang goreng dek. Gak papa kan? Ini kan hujan, baiknya kita makan itu dulu,” seraya membentangkan selimut.
“sekarang Nara tidur dulu, nanti kalau udah masak kakak bangunin” kata ku lagi.
Dia hanya diam, dan mengangguk sekali. Di belakang masih tersisa beberapa biji pisang lagi.
Sayangnya persediaan minyak goreng ku habis, terpaksa aku harus meminta ke tetangga pemilik gubuk. Aku harus siap dengan caciannya.
Hujan masih belum reda, dengan tubuh panas dingin aku terjang tirai raksasa itu yang hampir menutupi pandangan ku.
Dengan samar aku melihat keluarga mereka asyik bergurau di balik jendela yang terpancar lampu neon berlapis berlian. Aku pernah melihatnya, sangat megah.
Mengganggu mereka dalam keadaan seperti ini tak ubah nya menghantarkan diri ke tangan Ilahi. aku takut, sangat takut. kalau di paksa bagaimana adik ku? apa dia bisa bertahan hidup tanpa hadir nya aku di sisi nya?
Berjuta pertanyaan mulai tarik-menarik di otak ku sesukanya. Kepala ku mulai pusing. Dan...
“aaahk..! Tuhan kenapa kau tidak adil!? Kau biarkan kami mati kelaparan, kau lihat Tuhan adikku kedinginan di dalam gubuk bekas ciptaan-Mu. Kau tidak buta Tuhan, kau melihatnya! Kenapa Tuhan? Kenapa Kau lakukan ini? Kau telah mengambil ibu kami, dan kemarin ayah kami pergi dengan wanita jalang. Kenapa kau tidak menganbil lelaki tak bertanggung jawab itu saja Tuhan? dia menelantarkan kami Tuhan, Kau tau itu....”
Tubuhku tersungkur dalam genangan air, di pipi kiri-kanan ku mengalir cairan hangat bersama menggembungnya kelopak mata ku. Perlahan mata ku terasa berat, aku terlelap dalam pelukan hujan.
***
Bau hangus matahari tercium menyengat, klason motor dan mobil tak henti-hentinya bersautan, jalanan yang tadi nya menggenang sekarang seperti setrikaan yang di atur dengan suhu full.
Terdengar sautan yang pemiliknya berada tidak jauh dari posisi ku, seperti suara lelaki.
“woi nyari mati jangan di sini! Kalau mau mati, mati aja sendirian gak usah ngajak-ngajak orang,! Gila ni orang” air liur nya mendarat di pergelangan tangan kanan ku. Aku melonjak kaget, bagaimana bisa aku tertidur disini?
Dengan gontai, aku berjalan dengan tubuh kurus ku yang hampir seperempat minggu berpuasa.
Wajah kebencian mengarah pada ku satu-satu. Satu pun tidak ada yang merasa iba, sungguh bukan manusia!
Di halte tua di seberang jalan aku terduduk, dengan susah payah mengingat kejadian kemarin. Tak biasa nya aku pikun begini batin ku.
Ada sebuah bunyi suara yang tak asing lagi untuk ku, yah itu lambung ku yang menjerit kesakitan. Dengan erat ku pegangi sesekali perut ku berharap ada yang merasa iba.
Terlihat seorang gadis manis sedang berjalan menuju arah ku. Mungkin aku terlalu pede, tapi aku sangat berharap. Benar, gadis itu menyodorkan makanan yang tersusun rapi di Tupperwear pink miliknya. Itu adalah merek produk bagus, pasti sangat mahal batin ku lagi.
“ini kak aku punya pisang goreng, kakak laparkan??” sambil menyodorkan kotaknya.
Karna perut semakin melilit, tanpa basa-basi aku langsung melahapnya dengan penuh nafsu.
“kakak sangat lapar ya? Makan saja semua nya kak” senyuman manis mengembang di pipi nya, samar terlihat sarang kecil di pipi sebelah kanan nya. Aku memperhatikannya sejenak dan menganggukkan kepala berulang kali.
“terima kasih ya sudah baik sama kakak, semoga kamu nanti jadi orang yang selalu murah hati”
“iya kak amiin, oh ya kak aku pamit dulu nanti di cari ibu. Daaah kak...” senyuman manis itu masih mengembang, semakin lama, semakin jauh dan menghilang.
Aku kembali mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin. Ku pandangi sebongkah pisang goreng yang masih tersisa, seperti nya tak asing lagi.
Pi..sang go..reng aku mengeja dalam hati.
Oh Tuhan adik ku pasti sangat kelaparan dan tadi malam dia ingin kan ini, dek kaka udah dapat pisang nya jangan kawatir nanti kita akan makan yang lebih dari ini, yah lebih dari ini dek... kali ini dengan air mata yang menetes.
Ku kumpulkan seluruh tenaga ku untuk pulang ke Istana ku, tempat dimana aku dan adik ku bercanda ria.
***
Masih dengan tubuh gontai akhirnya sampai sudah di gubuk tua ini, senyuman lebar mengembang sepuluh sentimeter. Ku tarik nafas berat dan menghempaskannya dengan keras.
Belum lagi masuk, cacian manis sudah merajalela di telinga ku.
“kemana saja kau, tadi malam adik mu terus-terusan menangis. Aku rasa dia kelaparan, heehkk.. aku terlalu baik untuk memberikan kandang ku dan sekarang adik mu kelaparan itu bukan tanggung jawab ku lagi” senyuman sinis dan bibir yang menyumbing itu tak asing lagi.
Aku terus saja melangkah tanpa mengindahkan pernyataannya.
“jika adik mu mati aku tidak sudi membagi tanah untuk pemakamannya!”
Langka ku terhenti beberapa saat, dan membalikkan tubuh ku ke posisi wanita paruh baya itu.
“terimakasih, tapi adikku tidak mati” balas ku dengan nada yang rendah.
“terserah saja”
Wanita itu berlalu dengan senyuman sinis nya, aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan melanjutkan langkah ku.
“Nara.. coba tebak, kakak bawa apa..??” ku buka pintu masuk yang langsung menghubungkan ke kasur kapuk yang berdebu. Ternyata Nara masih tidur aku membatin.
“Nara..Nara.. ayo bangun dek, kakak bawa goreng pisangnya, masih hangat loh dek..”
Tak ada jawaban ku ulangi sekali lagi.
“Nara..Nara.. bangun dek, bangun..” ku guncang-guncangi tubuh nya yang dingin.
“Nggak!! Nggak.. Nara gak mati kan dek, Nara adik kakak gak mati kan..” ku peluk tubuh nya dengan erat dan terisak. “Nara gak boleh ninggalin kakak, Nara maaf kakak lupa..”
Seketika hening, pikiran ku melayang mengingat bagaimana ibu pergi, bagaimana ayah pergi tangisan ku terhenti, berubah menjadi tawa yang menggebu-gebu.
“Hahahahahahaha... Nara, kamu mati hahaha Nara gak mati, Nara sangat mengantukkan? sampai Nara gak dengar suara kakak??.. cup cup, Nara bangun ini ada pisang goreng.. Nara bangun dek..” aku terisak lagi, sampai aku menemukan suatu benda. Dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
Koran Tempo;
Di temukan, anak laki-laki dan perempuan dengan usia yang berkisar 13 dan 4 tahun di sebuah gubuk tua. Anak laki-laki tewas dengan lidah yang menjulur sedangkan perempuan tidak ada bekas luka apapun. Belum ada saksi dari peristiwa tersebut. Dari hasil otopsi polisi, diperkirakan kedua anak tersebut sudah tewas tiga hari yang lalu. Kedua anak itu akhirnya di makamkan di Pemakaman Umum, karna tidak ada pihak keluarga yang menjemput.
Sebelumnya polisi menemukan sebuah surat yang berisi :
“untuk tetangga kami yang baik hati, terimakasih sudah banyak membantu, dan untuk ayah ini lah akhir dari hidup kami, kami disini bisa ketemu sama ibu. Kami berharap semoga kau selalu ingat kami dan datanglah kepemakaman kami. Ayah, kami rindu ayah.. kapan ayah menyusul??”
“Ibu menjemput pulang”
Awan hitam berhasil menyelimuti bumi, rupanya yang menggembung bak kantong kresek yang berisi air siap menghantam kebun stowberry milik tetanggaku.
Pohon stowberry yang subur itu terlihat sedang mengintipku di balik pagar lusuh yang terbuat dari pelepah bambu dan tak tersusun rapi lagi. Beberapa buahnya sudah berubah warna. Merah lombok, tentu nya sangat manis. Sebentar lagi hujan, aku membatin.
Benar saja, sekarang daun stowberry itu melambai-lambai di terpa angin mengikuti irama hujan, buahnya pun tak kalah asyik.
Aku lupa, ini bukanlah rumahku dan pagar lusuh itu juga bukan punyaku. Gubuk bekas berpondasi kayu yang setiap hari menjadi santapan rayap, seng bekas dan triplek lusuh berlumut ini adalah milik tetangga. Sebelumnya ini adalah kandang sapi yang aku ubah menjadi tempat peristirahatan aku dan adik.
Adikku pasti kedinginan, aku tarik selimut guna menghangatkan tubuh mungilnya dan ember untuk menampung butiran hujan. Lagi-lagi itu milik tetangga yang ia sedekahkan untuk ku dan adikku.
Pelan namun pasti, suara itu mendesak jantung dan bekerja sangat cepat.
“kak, aku lapar! Makan apa kita hari ini?” dengan mata yang masih terpejam.
“makan...makan.. ehh, pisang goreng dek. Gak papa kan? Ini kan hujan, baiknya kita makan itu dulu,” seraya membentangkan selimut.
“sekarang Nara tidur dulu, nanti kalau udah masak kakak bangunin” kata ku lagi.
Dia hanya diam, dan mengangguk sekali. Di belakang masih tersisa beberapa biji pisang lagi.
Sayangnya persediaan minyak goreng ku habis, terpaksa aku harus meminta ke tetangga pemilik gubuk. Aku harus siap dengan caciannya.
Hujan masih belum reda, dengan tubuh panas dingin aku terjang tirai raksasa itu yang hampir menutupi pandangan ku.
Dengan samar aku melihat keluarga mereka asyik bergurau di balik jendela yang terpancar lampu neon berlapis berlian. Aku pernah melihatnya, sangat megah.
Mengganggu mereka dalam keadaan seperti ini tak ubah nya menghantarkan diri ke tangan Ilahi. aku takut, sangat takut. kalau di paksa bagaimana adik ku? apa dia bisa bertahan hidup tanpa hadir nya aku di sisi nya?
Berjuta pertanyaan mulai tarik-menarik di otak ku sesukanya. Kepala ku mulai pusing. Dan...
“aaahk..! Tuhan kenapa kau tidak adil!? Kau biarkan kami mati kelaparan, kau lihat Tuhan adikku kedinginan di dalam gubuk bekas ciptaan-Mu. Kau tidak buta Tuhan, kau melihatnya! Kenapa Tuhan? Kenapa Kau lakukan ini? Kau telah mengambil ibu kami, dan kemarin ayah kami pergi dengan wanita jalang. Kenapa kau tidak menganbil lelaki tak bertanggung jawab itu saja Tuhan? dia menelantarkan kami Tuhan, Kau tau itu....”
Tubuhku tersungkur dalam genangan air, di pipi kiri-kanan ku mengalir cairan hangat bersama menggembungnya kelopak mata ku. Perlahan mata ku terasa berat, aku terlelap dalam pelukan hujan.
***
Bau hangus matahari tercium menyengat, klason motor dan mobil tak henti-hentinya bersautan, jalanan yang tadi nya menggenang sekarang seperti setrikaan yang di atur dengan suhu full.
Terdengar sautan yang pemiliknya berada tidak jauh dari posisi ku, seperti suara lelaki.
“woi nyari mati jangan di sini! Kalau mau mati, mati aja sendirian gak usah ngajak-ngajak orang,! Gila ni orang” air liur nya mendarat di pergelangan tangan kanan ku. Aku melonjak kaget, bagaimana bisa aku tertidur disini?
Dengan gontai, aku berjalan dengan tubuh kurus ku yang hampir seperempat minggu berpuasa.
Wajah kebencian mengarah pada ku satu-satu. Satu pun tidak ada yang merasa iba, sungguh bukan manusia!
Di halte tua di seberang jalan aku terduduk, dengan susah payah mengingat kejadian kemarin. Tak biasa nya aku pikun begini batin ku.
Ada sebuah bunyi suara yang tak asing lagi untuk ku, yah itu lambung ku yang menjerit kesakitan. Dengan erat ku pegangi sesekali perut ku berharap ada yang merasa iba.
Terlihat seorang gadis manis sedang berjalan menuju arah ku. Mungkin aku terlalu pede, tapi aku sangat berharap. Benar, gadis itu menyodorkan makanan yang tersusun rapi di Tupperwear pink miliknya. Itu adalah merek produk bagus, pasti sangat mahal batin ku lagi.
“ini kak aku punya pisang goreng, kakak laparkan??” sambil menyodorkan kotaknya.
Karna perut semakin melilit, tanpa basa-basi aku langsung melahapnya dengan penuh nafsu.
“kakak sangat lapar ya? Makan saja semua nya kak” senyuman manis mengembang di pipi nya, samar terlihat sarang kecil di pipi sebelah kanan nya. Aku memperhatikannya sejenak dan menganggukkan kepala berulang kali.
“terima kasih ya sudah baik sama kakak, semoga kamu nanti jadi orang yang selalu murah hati”
“iya kak amiin, oh ya kak aku pamit dulu nanti di cari ibu. Daaah kak...” senyuman manis itu masih mengembang, semakin lama, semakin jauh dan menghilang.
Aku kembali mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin. Ku pandangi sebongkah pisang goreng yang masih tersisa, seperti nya tak asing lagi.
Pi..sang go..reng aku mengeja dalam hati.
Oh Tuhan adik ku pasti sangat kelaparan dan tadi malam dia ingin kan ini, dek kaka udah dapat pisang nya jangan kawatir nanti kita akan makan yang lebih dari ini, yah lebih dari ini dek... kali ini dengan air mata yang menetes.
Ku kumpulkan seluruh tenaga ku untuk pulang ke Istana ku, tempat dimana aku dan adik ku bercanda ria.
***
Masih dengan tubuh gontai akhirnya sampai sudah di gubuk tua ini, senyuman lebar mengembang sepuluh sentimeter. Ku tarik nafas berat dan menghempaskannya dengan keras.
Belum lagi masuk, cacian manis sudah merajalela di telinga ku.
“kemana saja kau, tadi malam adik mu terus-terusan menangis. Aku rasa dia kelaparan, heehkk.. aku terlalu baik untuk memberikan kandang ku dan sekarang adik mu kelaparan itu bukan tanggung jawab ku lagi” senyuman sinis dan bibir yang menyumbing itu tak asing lagi.
Aku terus saja melangkah tanpa mengindahkan pernyataannya.
“jika adik mu mati aku tidak sudi membagi tanah untuk pemakamannya!”
Langka ku terhenti beberapa saat, dan membalikkan tubuh ku ke posisi wanita paruh baya itu.
“terimakasih, tapi adikku tidak mati” balas ku dengan nada yang rendah.
“terserah saja”
Wanita itu berlalu dengan senyuman sinis nya, aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan melanjutkan langkah ku.
“Nara.. coba tebak, kakak bawa apa..??” ku buka pintu masuk yang langsung menghubungkan ke kasur kapuk yang berdebu. Ternyata Nara masih tidur aku membatin.
“Nara..Nara.. ayo bangun dek, kakak bawa goreng pisangnya, masih hangat loh dek..”
Tak ada jawaban ku ulangi sekali lagi.
“Nara..Nara.. bangun dek, bangun..” ku guncang-guncangi tubuh nya yang dingin.
“Nggak!! Nggak.. Nara gak mati kan dek, Nara adik kakak gak mati kan..” ku peluk tubuh nya dengan erat dan terisak. “Nara gak boleh ninggalin kakak, Nara maaf kakak lupa..”
Seketika hening, pikiran ku melayang mengingat bagaimana ibu pergi, bagaimana ayah pergi tangisan ku terhenti, berubah menjadi tawa yang menggebu-gebu.
“Hahahahahahaha... Nara, kamu mati hahaha Nara gak mati, Nara sangat mengantukkan? sampai Nara gak dengar suara kakak??.. cup cup, Nara bangun ini ada pisang goreng.. Nara bangun dek..” aku terisak lagi, sampai aku menemukan suatu benda. Dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
Koran Tempo;
Di temukan, anak laki-laki dan perempuan dengan usia yang berkisar 13 dan 4 tahun di sebuah gubuk tua. Anak laki-laki tewas dengan lidah yang menjulur sedangkan perempuan tidak ada bekas luka apapun. Belum ada saksi dari peristiwa tersebut. Dari hasil otopsi polisi, diperkirakan kedua anak tersebut sudah tewas tiga hari yang lalu. Kedua anak itu akhirnya di makamkan di Pemakaman Umum, karna tidak ada pihak keluarga yang menjemput.
Sebelumnya polisi menemukan sebuah surat yang berisi :
“untuk tetangga kami yang baik hati, terimakasih sudah banyak membantu, dan untuk ayah ini lah akhir dari hidup kami, kami disini bisa ketemu sama ibu. Kami berharap semoga kau selalu ingat kami dan datanglah kepemakaman kami. Ayah, kami rindu ayah.. kapan ayah menyusul??”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H