Dalam sejarah peradaban Islam, pendidikan selalu memegang peranan yang sangat penting. Sejak masa Nabi Muhammad SAW, pendidikan tidak hanya dianggap sebagai proses transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun karakter dan moral umat.Â
Pendidikan dalam Islam bukan sekadar untuk memperoleh pengetahuan duniawi, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjalankan perintah-Nya dengan baik. Nabi Muhammad SAW sangat menekankan pentingnya menuntut ilmu, seperti dalam sabdanya, "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim" (HR. Ibnu Majah).
Salah satu aspek yang menonjol dari sistem pendidikan Islam klasik adalah inklusivitasnya, di mana semua individu, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau gender, memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan. Inklusivitas ini mencerminkan prinsip keadilan dan kesetaraan yang diajarkan dalam Islam.Â
Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman, "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal" (QS. Al-Hujurat: 13). Ayat ini menekankan pentingnya persaudaraan dan persamaan di antara manusia.
inklusivitas dalam pendidikan Islam klasik juga terlihat dari beragamnya latar belakang para ilmuwan dan cendekiawan yang berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan. Mereka datang dari berbagai belahan dunia, membawa berbagai tradisi ilmu pengetahuan, dan berkontribusi pada kemajuan peradaban Islam.Â
Misalnya, Al-Kindi, seorang filsuf dan ilmuwan, dikenal sebagai "Filsuf Arab" yang menggabungkan ajaran filsafat Yunani dengan pemikiran Islam. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dalam Islam klasik tidak hanya inklusif secara sosial, tetapi juga secara intelektual
(Imam Al-Ghazali ) Ilmu adalah kehidupan hati dari kebutaan, cahaya pandangan dari kezaliman, dan kekuatan tubuh dari kelemahan.- Ihya' Ulumuddin. Dalam Islam, ilmu pengetahuan dianggap sebagai hak semua orang. Al-Qur'an menyebutkan, "Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat" (QS. Al-Mujadilah: 11).Â
Ayat ini menekankan pentingnya ilmu tanpa membedakan siapa yang mempelajarinya. Rasulullah SAW juga bersabda, "Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat" (HR. Al-Baihaqi), yang menunjukkan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban sepanjang hayat tanpa memandang status sosial.
(Ibnu Khaldun) Ilmu pengetahuan berkembang dalam masyarakat yang menghargai pengetahuan dan mendukung semua individu untuk mencapainya.- Muqaddimah. Pendidikan dalam Islam klasik tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Aisyah, istri Nabi Muhammad, adalah salah satu cendekiawan wanita yang terkenal, yang mengajar banyak sahabat Nabi dan generasi berikutnya.Â
Dalam sejarah Islam, banyak tokoh wanita yang menjadi ulama, cendekiawan, dan pendidik. Misalnya, Fatimah al-Fihri mendirikan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko pada abad ke-9, yang masih beroperasi hingga hari ini.
(Al-Farabi) Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan, dan ini tidak bisa dicapai kecuali dengan ilmu yang mencakup semua aspek kehidupan manusia.- Kitab al-Milla. Masjid, madrasah, rumah, dan bahkan pasar menjadi tempat-tempat di mana ilmu diajarkan. Keberagaman tempat ini menunjukkan bahwa pembelajaran tidak terbatas pada lokasi tertentu saja.Â
Misalnya, Imam Malik bin Anas mengajar di Masjid Nabawi, sementara Imam Abu Hanifah sering mengajar di pasar-pasar di Kufah. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu dapat diperoleh di mana saja dan oleh siapa saja.
Inklusivitas dalam pendidikan Islam klasik tidak hanya sebatas teori, tetapi juga diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari dan institusi pendidikan. Implementasi ini dapat dilihat melalui berbagai inisiatif dan struktur pendidikan yang dirancang untuk memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau gender, memiliki akses yang sama terhadap ilmu pengetahuan Masjid Nabawi  Pada masa Nabi Muhammad SAW, Masjid Nabawi tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai pusat pendidikan. Di sini, semua orang tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau gender memiliki kesempatan untuk belajar.Â
Bahkan, para budak dan orang miskin bisa belajar di masjid ini.Kuliah Jumat dan Pengajaran Umum: Banyak ulama menggunakan mimbar Jumat untuk menyampaikan pengetahuan kepada jamaah, memastikan bahwa informasi yang penting disebarluaskan kepada masyarakat luas tanpa diskriminasi.
Salah satu madrasah terkenal adalah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk pada abad ke-11 di Baghdad. Madrasah ini terbuka untuk semua kalangan, termasuk orang miskin yang mendapat beasiswa. Mengenai pentingnya pendidikan yang inklusif, Ibnu Khaldun mengatakan, "Pendidikan adalah landasan utama dari semua peradaban. Melalui pendidikan, kita dapat menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera."Â
Madrasa al-Qarawiyyin Didirikan oleh Fatimah al-Fihri pada abad ke-9 di Maroko, madrasah ini adalah salah satu universitas tertua di dunia yang masih beroperasi hingga hari ini. Institusi ini menjadi pusat pendidikan yang inklusif, menarik siswa dari berbagai belahan dunia tanpa memandang latar belakang mereka.
Bayt al-Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan di Baghdad adalah contoh nyata dari lingkungan belajar inklusif dalam sejarah Islam klasik. Didirikan pada masa Khalifah Harun al-Rashid dan mencapai puncaknya pada masa Al-Ma'mun, institusi ini menarik para ilmuwan dari berbagai belahan dunia, termasuk Persia, Yunani, dan India.Â
Semua orang yang memiliki keinginan dan kemampuan untuk belajar diterima tanpa memandang latar belakang mereka. Perpustakaan umum di berbagai kota besar seperti Cordoba, Baghdad, dan Kairo menyediakan akses terhadap buku dan manuskrip untuk semua lapisan masyarakat. Ini menunjukkan betapa pentingnya akses terbuka terhadap ilmu pengetahuan.
(Seyyed Hossein Nasr)Dalam bukunya "Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy", Nasr menekankan bahwa tradisi pendidikan Islam selalu inklusif dan terbuka untuk semua orang, terlepas dari latar belakang etnis atau sosial mereka.Â
Dia menegaskan bahwa "Ilmu pengetahuan dalam Islam adalah untuk semua, karena ia adalah refleksi dari Cahaya Ilahi yang harus dijalani oleh setiap individu. (Tariq Ramadan)Dalam bukunya "Islam, the West, and the Challenges of Modernity", Ramadan berargumen bahwa inklusivitas dalam pendidikan adalah bagian integral dari ajaran Islam yang harus dipertahankan dan diperkuat dalam konteks modern.Â
Dia menekankan, "Pendidikan inklusif adalah cara kita menghidupkan kembali semangat kesetaraan dan keadilan dalam Islam, memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka sepenuhnya."(Amina Wadud )Dalam bukunya "Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective", Wadud menekankan pentingnya inklusivitas gender dalam pendidikan Islam.Â
Dia menyatakan bahwa "Pendidikan harus inklusif untuk semua gender, karena hanya dengan cara ini kita dapat mencapai keadilan sosial yang sejati dan memenuhi tujuan dari wahyu Ilahi."
Inklusivitas dalam pendidikan adalah salah satu ciri khas dari sistem pendidikan Islam klasik. Melalui prinsip universalitas ilmu, kesetaraan gender, dan fleksibilitas tempat belajar, peradaban Islam klasik berhasil menciptakan lingkungan belajar yang terbuka untuk semua.Â
Studi kasus seperti Bayt al-Hikmah menunjukkan bagaimana inklusivitas ini diimplementasikan dalam praktik. Warisan ini menjadi contoh bagi kita untuk terus mengembangkan sistem pendidikan yang inklusif dan merata bagi semua kalangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H