Mohon tunggu...
Money

Hukum Mudharib Memakai Modal Dalam Usaha Bagi Hasil (Mudharabah) untuk Memenuhi Kebutuhan Hidup

8 Oktober 2016   12:37 Diperbarui: 8 Oktober 2016   12:54 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Modal dalam literatur fiqih disebut ra’sul mal yang merujuk pada arti uang dan barang. Modal merupakan kekayaan yang menghasilkan kekayaan lain. Pemilik modal harus berupaya memproduktifkan modalnya. Islam telah memperbolehkan memberi keringanan kepada manusia untuk menggunakan uangnya dalam suatu bentuk usaha dan kerja sama. Salah satunya adalah Islam menyediakan berbgai akad, salah satunya adalah akad bagi hasil yaitu mudharabah, musyarakah, dan lain-lain. Seorang muslim dianjurkan agar mempekerjakan orang lain agar saling menguntungkan, dan termasuk juga saling tolong-menolong. Terkadang sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan mem-produktifkannya. Terkadang ada pula orang yang tidak memiliki harta, tetapi mempunyai kemampuan untuk memproduktifkannya. Oleh karena itu, syari’at memperbolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya. Seperti pada hadist berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ  إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ  مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ  فَإِذَا خَانَهُ  خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا   ( رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدَ)[1]

Artinya:“Dari Abu Hurairah secara marfu’. Ia berkata; sesungguhnya Allah berfirman: "Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama salah satu dari keduanya tidak berkhianat kepada mitranya. Apabila ia telah berkhianat, maka Aku (Allah) keluar dari keduanya"  (HR. Abu Daud). 

Dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa ketika kita mempunyai sebuah modal, modal itu tidak hanya kita gunakan untuk diri kita sendiri saja, tetapi bisa bersama, atau dalam bentuk usaha bagi hasil. Dan dari bersekutu atau perserikatan itu Allah hadir, selama salah satu dari orang itu tidak berkhianat, dan keberkahan pasti ada, dan apabila terjadi penghianatan, maka Allah akan keluar dari keduanya. Oleh sebab itu kejujuran sangatlah penting didalam sebuah usaha, seperti pada usaha bagi hasil didalam Islam yaitu (mudharabah).

Mudharabah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dimana pemilik modal (shahibul mal) memberikan modal kepada pengelola (mudharib) untuk mengelola modal tersebut dan keuntungan dibagi diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan (akad) awal.

Banyak perbedaan pendapat, menurut ulama fiqih salah satunya adalah :

  • اَنْ يَدْفَعَ اْلمَالِكُ اِلَى اْلعَامِلِ مَالاٌلِيَتَّجِرُفِيْهِ وَيَكُوْنَ الرِّبْحُ مُشْتَرِكٌا بَيْنَهُمَا بِحَسْبِ مَا شُرِطَا
  • Artinya:
  • “pemilik harta (modal) menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal tersebut, dan laba dibagi di antara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati.”

Dari pengertian diatas, dapat diketahui bahwa modal boleh berupa barang yang tidak dapat dibayarkan, seperti rumah. Begitu pula tidak boleh berupa hutang. Pemilik modal memiliki hak untuk mendapatkan laba sebab modal tersebut miliknya, sedangkan pekerja mendapatkan laba dari hasil pekerjaannya. Tetapi modal dalam bentuk barang para ulama juga masih memperdebatkannya dan hampir seluruh ulama mengatakan modal harus uang, karena apabila modal berupa barang dikhawatirkan modal tersebut akan terjadi fluktuasi (ketidak tetapan, penyusutan, atau penurunah) dan akan ada pihak-pihak yang dirugikan. Dan juga ditakutkan modal yang diserahkan dengan menggunakan barang akan terjadi gharar (penipuan). Oleh sebab itu ada baiknya modal itu berupa uang. Lalu kita langsung merujuk pada inti permasalahan yaitu, hukum mudharib untuk menggunakan modal yang telah diberikan oleh shahibul mal untuk membiayai kebutuhan hidupnya, permasalahan disini masuk pada hak-hak mudharib, mudharib disini memiliki beberapa hak, yakni nafkah (living cost,biaya hidup) dan keuntungan yang disepakati dalam akad. Ulama berbeda pendapat tentang hak mudharib atas aset mudharabah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik ketika dirumah maupun Nafaqatul mudharabah (biaya operasional).

Menurut Imam Syafii, mudharib tidak berhak mendapatkan nafkah atas kebutuhan pribadinya dari aset tersebut, baik dirumah ataupun perjalanan. Karena mudharib kelak akan mendapatkan bagian keuntungan, dan ia tidak berhak mendapatkan manfaat lain dari akad tersebut. Nafkah ini bisa jadi sama nominalnya dengan bagian keuntungan, dan mudharib akan mendapatkan lebih. Jika nafkah ini disyaratkan dalam kontrak, maka akad tersebut fasid hukumnya.

Menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, mudharib hanya berhak mendapatkan nafkah dari aset tersebut ketika ia melakukan perjalanan, baik biaya transportasi, makan, ataupun pakaian. Mazhab Hanabalah memberikan keleluasaan, mudharib berhak mendapatkan nafkah pribadi, baik dirumah atau dalam perjalanan, dan boleh menjadikan syarat dalam akad.

Menurut Hanafiyah, mudharibberhak mendapatkan nafkah dari aset tersebut untuk memenuhi kegiatan bisnis yang meliputi; makan minum, lauk pauk, pakaian, gaji karyawan, sewa rumah, listrik, telepon, transportasi, upah cuci pakaian, begitu juga dengan biaya dokter. Semuanya ini diperlukan demi kelancaran bisnis yang dijalankan. Kadar nafkah ini harus disesuaikan dengan yang berlaku di khalayak umum.

Biaya yang dikeluarkan oleh mudharib(dalam menjalankan bisnis) akan dikurangkan dari keuntungan, namun jika tidak ada keuntungan, akan dikurangkan dari aset shahibul mal, dan dihitung sebagai kerugian. Selain itu mudharib juga berhak mendapat keuntungan, namun jika bisnis yang dijalankan tidak mendapat keuntungan (rugi), maka mudharib tidak berhak mendapatkan apapun. Keuntungan akan dibagikan, setelah mudharib menyerahkan aset yang diserahkan shahibul mal (ra’sul mal) secara utuh, jika masih terdapat kelebihan sebagai keuntungan, akan dibagi sesuai kesepakatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun