“ Udah capek-capek kerja, ya nikmatilah!”
“ Self rewards woy biar nggak stress”
“ Punya uang kalau ditabung nanti kena inflasi jadi mending dijajanin aja lah”
“ Wahh, harus beli sesuatu nih buat ngilangin bete, kalo paket dateng auto seneng bawaan diri tuh, tapi pemborosan banget, tapi ya gimana ya”
“ Paylater for the rescue”
Celetukan di atas hanya beberapa dari banyak komentar yang bisa kita jumpai di sosial media. Belakangan ini istilah “ Doom Spending” semakin marak menjadi perbincangan di media sosial dan platform media lainya. Sebenarnya, apa sih Doom Spending itu?
Doom spending sendiri merupakan perilaku berbelanja secara impulsif sebagai respon terhadap stres, kecemasan dan ketidakpastian hidup. Survei terbaru dari Qualtrics dan Intuit Credit Karma menemukan bahwa 27% dari responden penelitiannya mengaku menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak mereka butuhkan, sementara 32% lainnya mengaku bahwa telah mengambil lebih banyak hutang sejak 6 bulan terakhir.
Doom spending menjadi salah satu fenomena yang menjangkit Gen Z. Dengan berkembangnya tren self- rewards, doom spending semakin dibenarkan karena berlindung dibawah kata ‘layak’. Gen Z seringkali terjebak pola pikir bahwa mereka ‘layak’ untuk memanjakan diri, terutama setelah kerja keras yang telah dilakukan menjadi pembenaran atas keputusan belanja secara berlebihan tersebut. Habit seperti ini jika diterus-teruskan akan berujung pada penyesalan, stres finansial, hingga masalah keuangan berkepanjangan.
‘Hidup untuk dinikmati’ merupakan prinsip yang banyak ditanamkan oleh Gen Z, Mereka cenderung merasa bahwa setelah melakukan pekerjaan yang berat mereka wajib untuk memberikan apresiasi pada diri dengan membeli sebuah barang, mereka juga beranggapan bahwa cara ini sebagai bentuk mempertahankan kewarasan. Benarkah kebiasaan self-rewards ini murni untuk self care ? atau justru sebuah pelarian masalah ke masalah yang lebih mendalam?
Keberadaan smartphone yang semakin memudahkan akses informasi tentang krisis ekonomi, hingga isu-isu lingkungan bisa memperburuk fenomena doom spending ini. Semakin berkembangnya fitur pembayaran seperti ‘Buy Now, Pay Later’ (BNPL) semakin mendorong perilaku belanja impulsif. Gen Z yang lahir dan tumbuh di era digital sangat mudah terpengaruh oleh iklan. Media sosial dengan segala kemilau lifestyle ideal yang dipertontonkan, semakin memperburuk fenomena doom spending . Tanpa kita sadari Gen Z terseret kedalam lingkaran perbandingan sosial yang memicu FOMO ( fear of missing out) perasaan dimana wajib mengikuti tren.