Kemaren malem jalan2 ama temen trus nemu toko ada logo beginian
Jd inget mesin jahit nya Mama
Sebuah pesan WA masuk ke ponselku. Oh dari si bungsu yang sekarang kuliah di negeri sakura. Sebuah foto toko bergambar mesin jahit kuno dan tulisan si bungsu membuatku tersenyum haru.
Owalah, foto mesin jahit kuno itu mengingatkannya pada mesin jahit di rumah. Ya, di rumah kami ada mesin jahit kuno peninggalan almarhum nenekku atau nenek buyut anakku.
Bagi orang lain, foto mesin jahit kuno itu mungkin tak berarti apa-apa, namun tidak bagi si bungsu dan aku. Mesin jahit di foto itu bentuknya mirip sekali dengan mesin jahit yang ada di rumah kami. Dari kecil, aku sudah akrab dengan mesin jahit itu. Lewat mesin jahit sederhana itulah aku belajar menjahit untuk pertama kalinya.
Saat itu aku belajar menjahit menggunakan kertas dan jarum tanpa benang. Usiaku sekitar 10 tahun. Pertama kali belajar menjahit dengan cara menggerakkan bagian kaki yang digerakkan ke depan dan ke belakang, memastikan bahwa jarum jahitnya berjalan maju dan bukannya berjalan mundur.
Saat itu aku menggunakan kertas bergaris, yang aku ambil dari bagian tengah buku tulis. Kertas bergaris berguna untuk belajar supaya aku bisa berlatih menjahit dengan lurus, sesuai garis-garis yang ada.Â
Jadi nanti hasilnya kertas akan berlubang-lubang dilewati jarum jahit tanpa benang. Hehehe begitulah perkenalan pertamaku dengan mesin jahit. Perkenalan yang akhirnya membuatku mencintai dunia jahit-menjahit hingga saat ini.
Aku belajar menjahit dengan cara otodidak. Awalnya membuatkan baju untuk boneka-bonekaku dari kain perca. Lalu menjahit baju-baju yang sobek. Lalu mulai menjahit baju-baju dengan pola sederhana.Â
Cara membuat polanya adalah dengan cara melepas jahitan pada baju lama yang sudah tak terpakai, ya itu yang kulakukan untuk mendapatkan pola jahitannya. Hehehe begitulah awal mulanya caraku belajar menjahit. Saat itu rasanya senang sekali bisa memakai baju hasil jahitan sendiri, walaupun masih jauh dari sempurna.Â