Adalah fakta bahwa kelamnya masa lalu akan terus ditayangkan hingga ke masa-masa setelahnya. Pemberontakan PKI menjadi sejarah kelam yang tidak luput dari keterlibatan pemerintah dan militer pada masa itu. Mengulik dari awal mula pemberontakan 1965, PKI memulai persinggungan dengan tujuan menggulingkan kekuasaan Soekarno dan mengubah ideologi negara menjadi negara komunis. Pengubahan ini juga diinginkan karena perubahan kiblat PKI yang awalnya berkiblat pada Uni Soviet kemudian menjadi RRC.
Kegemilangan pimpinan Dipa Nusantara Aidit dalam memimpin PKI ditandai dengan hubungan dekat bersama Presiden Soekarno. Pada akhir tahun 1960, awal dan pertengahan tahun 1961, dan awal 1962, Presiden Soekarno berusaha penuh untuk memasukkan PKI ke dalam kabinet. Yang kemudian dipropagandakan olehnya semboyan NASAKOM, yakni semboyan yang menyatukan Nasionalis-Agama-Komunis. Usaha yang terus ditentang oleh Angkatan Darat ini akhirnya berhasil pada bulan Maret 1962, Ketua PKI D.N. Aidit dan Wakil Ketua M.H. Lukman memperoleh status sebagai menteri kabinet.
Hasrat kekuasaan dari para elite setelah mendengar kabar sakitnya Presiden Soekarno tentunya semakin membara. Hal ini pula yang membuat PKI merasa terancam dan mengeluarkan jurus fitnah karena dominannya peran TNI dalam suksesi kepemimpinan. Fitnahan yang dijalankan oleh PKI terhadap Angkatan Darat ditunjukkan dengan PKI yang menyodorkan dokumen Gilchrist, yaitu dokumen yang ditafsirkan sebagai isyarat pengoperasian dari pihak Inggris-AS dengan melibatkan tentara Indonesia untuk mengkudetakan Presiden Soekarno.
Ketegangan antara keduanya kemudian mencapai puncak, yaitu pembunuhan para target PKI di tanggal 30 September 1965. Peristiwa ini dilancarkan pada Kamis malam dengan menculik para jendral dan perwira tinggi untuk melemahkan kekuatan militer Indonesia.
Aksinya dimulai pada dini hari di bawah kendali Letkol Untung dengan dalih sebagai pasukan Cakrabirawa, yang diperintah menjemput mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. PKI mendatangi kediaman Jenderal TNI Ahmad Yani, Letnan Jenderal TNI R. Soeprapto, Letnan Jenderal TNI S. Parman, Mayor Jenderal TNI M.T Haryono, Mayor Jenderal TNI D.I Pandjaitan, Mayor Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo, dan Jenderal A.H. Nasution.
R. Soeprapto, Sutoyo Siswomiharjo, dan S. Parman ikut dengan ajakan PKI dalam keadaan hidup. Begitu juga dengan Lettu Pierre Andries Tendean yang menjadi korban salah tangkap karena tengah berada di kediaman A.H. Nasution. A. H. Nasution sendiri berhasil menyelamatkan diri, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban kebejatan PKI malam itu. Keempat anggota TNI AD kemudian dibawa ke kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur yang kemudian dibunuh. Mayatnya kemudian dimasukkan ke dalam lubang sumur tua yang berdiameter 75 cm dan kedalaman 12 meter. Sedangkan Ahmad Yani, M.T Haryono, dan D.I Pandjaitan yang ditembak di kediaman masing-masing, kemudian dibawa pula ke markas untuk dimasukkan ke dalam sumur yang sama.
Seolah kekejian yang telah dibuat tak pernah menimbulkan kegelisahan, PKI menguasai gedung Radio Republik Indonesia lalu mengeluarkan Dekrit no. 1 yang menyatakan gerakan G30S PKI adalah upaya penyelamatan negara dari Dewan Jenderal yang ingin mengambil alih negara.
Pada tanggal 4 Oktober 1965, akhirnya para korban berhasil diangkat dari lubang buaya yang hari sebelumnya telah ditemukan oleh RPKAD dengan proses evakuasi yang lama karena keterbatasan alat. Yang kemudian pada tanggal 5 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat para korban G30S PKI sebagai Pahlawan Revolusi.
Sejarah kelam ini kemudian diakhiri dengan penangkapan D. N. Aidit di Solo pada 22 November 1965. Aidit kemudian mengaku bertanggung jawab atas gerakan G30S PKI melalui pernyataan dalam surat pemeriksaan yang ditandatanganinya dengan pengakuan "Saya adalah satu-satunya orang yang memikul tanggung jawab paling besar dalam peristiwa G30S yang gagal dan yang didukung oleh anggota-anggota PKI yang lain, dan organisasi massa di bawah PKI." Yang pada akhirnya, D. N. Aidit ditembak mati pada 23 November 1965.
Kekelaman ini terus berlangsung dengan adanya peristiwa pembantaian PKI pada tahun 1965-1966. Pembantaian ini dikomandoi oleh Soeharto dengan mengirimkan pasukan terjun payung Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah Kolonel Sarwo Edhie ke Semarang, Jawa Tengah. Sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966, tercatat 200.000 hingga jutaan anggota simpatisan PKI dibunuh oleh satuan tentara Indonesia dan misili sipil anti-komunisme. Penumpasan ini juga tidak luput dari korban salah sasaran. Yang akhirnya berujung pada putusan Presiden Soeharto untuk membubarkan PKI dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 1/3/1966. Keputusan tersebut semakin diperkuat melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966 yang ditetapkan oleh Ketua MPRS Jenderal TNI AH Nasution pada 5 Juli 1966.