Konstitusi menurut KBBI memiliki arti sebagai segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (undang-undang dasar dan sebagainya) serta undang-undang dasar suatu negara. Adapun K. C. Wheare mengartikan konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk dan mengatur/memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
Dalam hal ini, Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UUD yang disahkan oleh PPKI (Dokuritsu Junbi Inkai) pada tanggal 18 Agustus 1945 yang sebelumnya telah dirancang oleh BPUPKI (Dokuritsu Junbi Coosakai) kini diberi kedudukan sebagai konstitusi mutlak sebagai alat pembatas kekuasaan, instrumen dasar perlindungan HAM, dan sebagai dasar penyelenggaraan negara. Produk peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan, dan dikeluarkan oleh lembaga dan/atau pejabat negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku (Bagir Manan, 1987).
Peraturan perundang-undangan ini kemudian disusun secara hierarkis yang menurut Hans Kelsen kaidah hukum tersusun berjenjang karena ada norma yang bersifat inferior dan bersifat superior. Di mana hukum yang lebih rendah berasal dari hukum tertinggi. Anwar, dkk. juga menjelaskan terdapat empat asas dalam hierarki, yaitu 1) bahwa peraturan yang lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, 2) pada peraturan yang hierarkinya sederajat maka peraturan yang lebih khusus diutamakan dari peraturan yang lebih umum, 3) Agar mencegah ketidakpastian hukum, bila terdapat dua peraturan yang hierarkinya setara maka peraturan yang baru akan lebih diutamakan, dan 4) dalam hal menghapus, mencabut, atau mengubah peraturan perundang-undangan, sebuah peraturan perundang-undangan hanya bisa dihapus, dicabut, atau diubah oleh peraturan yang hierarkinya sederajat atau lebih tinggi.
Menilik pada UU RI No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 13 Tahun 2022 maka jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah 1) UUD NRI Tahun 1945, 2) Ketetapan MPR, 3) UU/PERPPU, 4) Peraturan Pemerintahan, 5) Peraturan Presiden, 6) Peraturan Daerah Provinsi, 7) Peraturan Daerah Kabupaten/kota.
Peraturan perundang-undangan tentunya memiliki peranan besar bagi berlangsungnya suatu negara. Sehingga peraturan perundang-undangan diharuskan dapat memberikan kepastian hukum, mudah diidentifikasi, memiliki struktur dan sistematika yang jelas dan pembentukan atau perkembangannya harus direncanakan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Maka yang saat ini menjadi perhatian adalah benarkan produk peraturan perundang-undangan ini dapat menjadi penguat konstitusi negara Indonesia? Maka pertanyaan ini harus ditilik langsung dari ujung ke ujung negara Indonesia, pasalnya saat ini masyarakat masih mengeluhkan tentang adanya ketidakadilan hukum di Indonesia.
Ketidakadilan hukum ini dapat kita lihat dari berbagai kasus korupsi para pejabat yang di mana para pelakunya 'belum' mendapatkan efek jera. Bahkan dapat dikatakan hukum saat ini lebih berpihak pada kelompok elite. Salah satu aktivitas para koruptor yang paling sering ditemukan adalah siap menyuap. Misalnya saja, penyuapan dalam lembaga hukum, yaitu antara hakim dan. Mari kita kisahkan, Joko merupakan seorang hakim di salah satu lembaga hukum. Suatu hari Joko diharuskan untuk menangani kasus pertambangan Perusahaan ADF. Rupanya, perusahaan tersebut telah mengeksploitasi secara berlebihan, tidak sesuai dengan perizinan penyelenggaraan perusahaan. Untuk terbebas dari hukuman yang menjerat, maka perusahaan ADF mengutus Raka untuk 'bernegosiasi' dengan Joko. Joko disuap oleh uang yang banyak dengan harapan perusahaan ADF diloloskan dari dakwaan. Joko pada akhirnya menerima suapan itu dan 'bersilat lidah' dengan data-data yang ada, membayar beberapa oknum pengadilan untuk ikut membebaskan perusahaan ADF. Pada akhirnya perusahaan ADF dibebaskan dari semua tali hukum.
Dari kasus tersebut, berfokus pada Joko sang hakim maka menurut Pasal 12 huruf C seharusnya Joko dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) bagi hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Menurutmu, sudah cukupkan hukuman tersebut bagi orang yang turut membantu para penggerus sumber daya alam? Sampaikan opinimu di komentar!
Referensi