Di depan saya ketika itu adalah seorang bu guru. Kami sedang menghabiskan waktu luang mengajar dengan bertukar cerita di kantin sekolah
Atau lebih tepatnya, saya sedang menjadi pendengar yang baik untuk dirinya berkeluh-kesah tentang kondisi pekerjaannya sebagai guru. Beliau mengeluh karena status pekerja honorernya yang telah sekian lama, dengan harapan diangkat PNS yang tidak kunjung datang.
"Memang sudah berapa lama, bu, jadi guru ?" tanya saya diantara percakapan
" Mau 15 tahun ini, Mr. Abas. Tapi, ya ga cuma di sekolah ini aja. Pernah di SMA anu juga" jawabnya
15 tahun, waktu yang cukup lama seorang guru berdedikasi ? Tapi, di tahun itu saya juga pernah bertemu seorang bapak guru yang telah mengajar 25 tahun sebagai honorer berpenghasilan rendah, berangkat kerja dari Tangerang, dengan seorang anak yang membutuhkan perawatan kesehatan khusus
" Selama 15 tahun itu, ibu bergaji segitu? "
" Waktu sekolah bayar sih mendingan, Mr. Abas. Sekarang-sekarang ini? Aduh. Harus banyak sabar "
Selama 4 tahun mengajar di sekolah negeri, saya memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan segala per-PNS-an ini. Bisa juga dibilang saya tidak tertarik.
Konsep menunggu ketidakjelasan selama bertahun-tahun, dengan gaji secukupnya yang akan diberikan kepada mu, dengan peraturan yang dibuat untuk menunda-nunda dan memelihara harapan semu tidak masuk akal buat saya. Mendengarnya dari para pelaku pun tidak membuat saya tergugah
Coba deh, 15 tahun, berangkat pagi pulang sore, menikmati terik, berpayung hujan, mengajarkan subjek yang belum tentu para murid suka, dibebani pemeriksaan tugas dan ujian, lalu tetek bengek administrasi, lalu diakhir bulan memaksakan diri tersenyum menerima amplop gaji, sambil menyalakan ulang harapan untuk bulan depan dan bulan - bulan selanjutnya