Mohon tunggu...
Abdul Basir
Abdul Basir Mohon Tunggu... profesional -

Mantan guru Biologi. Sedang aktif di dunia Startup. Penulis dan pencerita macam-macam.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mubazir

8 Januari 2015   19:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:33 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang akhir liburan tahun baru kemarin, yang saya habiskan sedikit di kampung halaman saya di Pekalongan, saya pulang ke Jakarta menggunakan bis. Saya pulang bersama ibu, kakak perempuan, dan kedua putrinya. Seperti biasa transportasi lintas pantura di masa-masa liburan seperti ini memang jauh dari rasa nyaman.

Tapi, yah, its ok.

Kami naik bis bermerek Kramat Djati dengan kelas ekonomi. Pertimbangan kami bukan sepenuhnya harga yang lebih murah, namun karena bis keberangkatan pagi kelas ekonomi Kramat Djati dapat dicapai dengan lebih cepat dari rumah keluarga kami. Bis kelas bisnis dan eksekutif hanya ada di terminal yang jarak nya begitu jauh.

Bis kami berangkat pada pukul 7 pagi.

Fasilitas bis yang kami tumpangi ini sebenarnya cukup baik. Minus selimut untuk mengatasi hawa dingin dari AC, kami dapat menikmati perjalanan panjang ke Jakarta dengan cukup nyaman. Di dalam bis juga sudah disediakan toilet, sehingga kami tidak melulu harus menunggu bis berhenti di suatu tempat untuk menutaskan hajat yang tertahan.

Kamu yang sering bepergian dengan bis tentu sudah paham.

Menjelang siang, bis berhenti di suatu tempat di Indramayu. Tampaknya bus mampis ke suatu rumah makan. Rumah makan yang sayang sekali nampak tidak terawat itu terletak di pinggir pantai. Kenapa bis ini menjadikan restoran antah berantah ini menjadi tujuan singgah para penumpang ?

Tapi, yah, sekali lagi, its ok.

Saya pergi ke toilet rumah makan ini. Walaupun ada toilet di bis, namun defekasi tidak nyaman dilakukan diatas kendaraan yang sedang berjalan. Kita memerlukan fokus dan konsentrasi saat melakukan proses penting tersebut.

Sayang sekali, memang terkadang kita lah sebagai masyarakat yang sulit diatur. Sudah dikasih tahu dimana arah toilet berada, beberapa penumpang buang air kecil di tempat orang-orang seharusnya berwudhu. Mereka mikir apa sih ? Mungkin kah sebegitu tidak tahan nya ?

Selepas dari toilet, saya merencanakan untuk memesan makan siang. Di salah satu meja makan, sudah ada ibu, kakak dan kedua putri nya sedang duduk. Di hadapan mereka sudah ada beberapa piring dengan menu yang mereka pesan.

“Jangan pesan makanan nya, Bas. Pasti kamu ga suka. Ga enak. Mubazir. Bakal dibuang doang” kakak saya bilang sewaktu saya menghampiri meja mereka. Kakak saya sedang berusaha menyuapi makanan ke kedua putri nya, yang kedua nya pun menolak terus.

Saya perhatikan memang tidak banyak penumpang yang memutuskan untuk memesan makan. Mereka yang sedang menikmati makanan pasti sudah lapar luar biasa sehingga tidak mampu membedakan rasa. Beberapa yang lain hanya makan mi dalam kemasan.

Rumah makan ini… ah bagaimana saya bilangnya ya ? Memang jauh sekali dari kesan nyaman dan rapi. Layak pun tidak. Tidak hanya makanannya, namun juga dinding dan langit-langit. Tidak hanya terkesan kusam, mereka sungguh-sungguh kotor dan tidak terawat. Begitu banyak sarang laba-laba menghiasi dan mengganggu pandangan.

“Orang-orang ini gimana, sih ? Ga niat bisnis banged. Harusnya orang yang berbisnis kuliner harus punya pemahaman bahwa tidak hanya makanan nya harus laku, namun juga harus habis dimakan pelanggan” kakak saya bicara dengan nada dan raut wajah kesal.

Benar juga sudut pandangnya. Karena bisnis kuliner adalah bisnis yang begitu dirasakan pelayanannya oleh pelanggan, baik dan buruknya bisnis langsung bisa dinilai. Ketika pengalaman buruk yang didapatkan, para pelanggan pasti enggan untuk kembali lagi.

Pengumuman di pengeras suara memberitahukan kita harus segera naik ke bis untuk melanjutkan perjalanan. Kami pun bergegas, meninggalkan makanan yang bahkan lauk ayamnya pun tidak bisa dihabiskan. Kami bersama para penumpang lain baru saja membuang-buang makanan.

Mubazir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun