Kemarin malam (01/03), bagi penggemar bola sekaligus pengamat politik di negeri ini perhatiannya terpecah. Chelsea versus Totenham di final capital one cup dan pertarungan Hatta Rajasa versus Zulkifli Hasan di kongres PAN.
Totenham menyerah dua gol tanpa balas, Chelsea perkasa walau awalnya nampak lemah. Lain lagi cerita Hatta, awalnya nampak perkasa, petahana, “gizi” cukup dan bermain cantik. Tapi apa daya, enam suara jadi pembeda, Zulkifli Hasan naik tahta. Permainan cantik pasukan Hatta tak cukup mampu imbangi total football racikan Amien Rais di pihak sebelah. Mari kita lihat kekalahan mantan calon wakil presiden pendmaping Prabowo ini dari kacamata sepakbola.
Attack is the best defense, begitu adagium yang berlaku dalam sepakbola. Pertahanan terbaik adalah menyerang. Ini kunci kekalahan pertama Hatta Rajasa. Atas nama berpolitik santun, Hatta dan timnya bermain sangat halus dan nyaris tanpa konfrontasi. Adalah sekali serangan yang cukup frontal dilakukan Eurico Gueteres, Ketua DPW PAN NTT, yang menyebut Amien Rais sudah pudar ketokohannya. Serangan tajam itu pun justru dimatikan oleh teman setimnya. Catur Sapto Edi dan bahkan Hatta berulang kali menyebut Amien Rais adalah sosok yang maish sangat berpengaruh dan sangat mereka hormati.
Kita bisa memahami bahwa Hatta dan tim punya beban psikologis yang berat ketika harus melawan mahaguru, Amien Rais. Sehingga mereka memilih taktik cenderung bertahan dan bermain cantik. Dalam sepakbola sesungguhnya, gaya bermain Hatta dan tim mengingatkan saya pada sosok Rui Costa, playmaker Portugal yang juga berseragam AC Milan dan Fiorentina di era 90-an. Pemain yang santun, selalu bermain cantik tapi cenderung tak impresif dalam menyerang. Ia memberi kontribusi hebat pada tim yang dibelanya, tapi ia tak melegenda. Padahal kapasitas bermain bola dan tekniknya, mungkin tak kalah ciamik dengan Messi.
Kembali ke tim Hatta, kalau saja mereka mau menyerang dengan spartan, sebenarnya banyak isu yang bisa digoreng tentang tim sebelah. Mari kita identifikasi; Kembalinya Sutrisno Bachir (SB), sebenarnya kartu mati yang bisa “digoreng”. SB, salah anggota tim Jokowi – JK pada masa pilpres lalu, ia juga mengundurkan diri dari PAN (pernyataan lisan pasca kongres sebelumnya). Kalau isu ini dikelola apalagi dengan memasukkan sentuhan “Intervensi kekuasaan/Jokowi”, saya yakin akan mempengaruhi opini pemilik hak suara. Meski pada last minutes, Catur Sapto Edi sempat mencoba memunculkan wacana adanya intervensi kekuasaan dalam kongres PAN (sumber). Tapi sayang isu ini sangat terlambat. Apalagi kalau isu kemungkinan Zulkifli jadi tersangka KPK dimainkan. Cerita bisa jadi berbeda.
Bandingkan dengan Amien Rais yang langsung menggebrak awal kongres dengan serangan tajam dan sporadis lewat cerita “kebohongan” Hatta soal pertemuan dengan Jokowi pasca pilpres. Lihat juga bagaimana Totok Daryanto dan Bara Hasibuan jauh hari sebelum kongres sudah menyerang Hatta Rajasa dengan isu tak egaliter, jauh dari akar dan tak membumi. Kemudian yang paling gencar adalah isu PAN di bawah ketiak Bintang Mercy yang selalu digencarkan oleh Hanafi Rais.
Hatta dan timnya merespon semua serangan itu dengan terlalu santun. Tak ada serangan balik yang tajam. Dalam sepakbola tim yang sibuk bertahan akan lupa menyerang, dan pada akhirnya akan ada kesalahan yang dibuat di kotak pinalti. Bisa jadi tim lawan dapat tendangan pinalti atau paling tidak tentangan bebas.
Di luar hasil akhir, tapi gaya bermain Hatta Rajasa ini adalah warna yang mencerahkan di panggung politik nasional. Paling tidak rakyat masih bisa berkata, “Wah, masih ada ya politisi yang seperti itu..” Sampai detik kekalahanpun Hatta berpolitik sangat santun. Bahkan ketika Amien Rais menyerang dengan sporadis di awal kongres, walau namoak terhenyak, Hatta tak bergeming. Politik santun tetap diperagakan. Tapi sekali lagi sepakbola bukan perkara soal main cantik atau main kasar, tapi masalah berapa gol yang diciptakan. Hatta lupa mereplikasi itu dalam dunia politik.
Faktor selanjutnya, di kubu Hatta terlalu banyak pemain bertahan dan playmaker yang sangat baik, tapi mereka tak punya penyerang yang mumpuni. Setali tiga uang dengan Totenham Hotspur di Liga Inggris, Harry Kane masih angin-anginan, Lalana jauh panggang dari api, apalagi Soldado yang nyaris tak terdengar.
Lihat saya begitu banyak pemain bertahan dan playmaker di kubu Hatta. Ada Drajad Wibowo yang harusnya bisa menjadi penyernag lubang, tapi perannya justru lebih banyak mengirim umpan. Tjatur Sapto Edy, menyerupai gelandang bertahan yang tugasnya menangkis serangan. Kalau kubu Zulkifli bilang menyerang soal kinerja Hatta, ia menghalaunya dengan argumentasi suara tertinggi sepanjang sejarah, begitu selalu perannya. Ada lagi Bima Arya, sosok yang masuk agak belakangan di PAN ini dan dikenal salah satu orang kepercayaan Hatta Rajasa ini seharusnya bisa menjadi pengirim umpan-umpan matang, dan ini sudah diperankannya. Misal saja ketika wacana soal Pak Amien pernah dua periode, sayang sekali lagi sayang. Kubu Hatta tak punya striker. Saya memabyangkan kondisi kubu Hatta sama dengan Manchester United ketika Rooney di kartu merah, Van Persia dan Falcao cedera, maka Marouane Fellaini dipaksa menjadi striker.
Ketiadaan striker ini bisa dipahami karena di tim Hatta bisa dibilang tak ada yang kalibernya seperti Amien dan Sutrisno, mereka rata-rata masih muda. Andai saja Hatta sedari awal bisa merebut dukungan ketua DPW PAN Jawa Timur, Suyoto dan juga menggandeng tokoh lama macam Alvin Lie atau tokoh senior kalibernya Fuad Bawazier yang notabene punya “luka” sejarah terhadap SB ketika dikalahkan di kongres PAN di Semarang. Saya yakin lini serang kubu Hatta akan lebih dinamis.
Justru ketua DPW PAN Papua Abock Busup yang berperan menjadi striker, entah ini by design atau by accident (karena tak ada striker). Lihat aksi Abock, ketika “membantai” Amien Rais dengan sebutan kekanak-kanakan pasca pernyataan pedas Amien di pembukaan kongres, lihat juga ketika dengan lantang di arena kongres ia mendeklarasikan suara Papua full untuk Hatta. Striker lainnya Eurico Guiteres, sudah kena kartu kuning di awal. Ibaratnya di level klub saja belum mumpuni, NTT saja tidak solid dari awal mendukung Hatta, apa lagi menjadi striker timnas.
Mari bandingkan striker haus gol di kubu Zulkifli. Amien Rais tentu striker utama ditopang oleh Sutrisno Bachir, di bangku cadangan masih ada Hanafi Rais, ada juga Bara Hasibuan bahkan Totok Daryanto yang pemain tengah bisa diberdayakan untuk menjadi penyerzng lubang. Sedangkan posisi Zulkifli sendiri dalam tim lebih sebagai kapten yang bermain di lini belakang, sentral bek. Layaknya Maldini di AC Milan dulu, atau Puyol di Barcelona di beberapa tahun lalu. Ia mengkoordinasikan tim, dengan sesekali tetap menjalin hubungan hangat dengan tim lawan. Mengangkat pemain lawan yang terkapar di lapangan, juga aktif menyapa penonton. Lihat saja aksi Zulkifli menemui ketua PP Muhammadiyah dan juga menemui Buya Syafii Maarif.
Siapapun tahu, Hatta Rajasa diunggulkan di “pasar taruhan”. Tapi hasil akhir, justru Zulkifli yang berjaya.
***
Apapun hasil akhirnya dan proses yang menyertai, PAN telah menunjukkan kedewasaan mereka dalam proses politik internal dan juga mmeberi angin seegar baru bagi politik nasional yang cenderung layu di bawah aklamasi di partai-partai kubu KIH dan perang saudara di partai-partai kubu KMP. Meski PN masih harus membuktikan bagaimana pasca kongres, apakah PAN masih akan solid ?
Layaknya sepakbola, hari ini total football milik Zulkifli dan Amien Rais unggul atas permainan cantik dan bertahan ketat a la Cattenaccioi Italia. Zulkifli dan Amien Rais memenangkan babakan sejarah PAN tapi Hatta yang bermain santun dan cantik akan dikenang zaman. Selamat memimpin PAN, Pak Zul. Pada Hatta kami bangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H