Argumentasi Rasional Penggunaan Akal Dalam Beragama
Mengikuti suatu ajaran keagamaan terutama dalam sistem berkeyakinan tanpa berpikir kritis dan bernada menggugat bukan saja tidak baik bagi kesehatan dan daya tahan akal, tetapi juga dapat melemahkan gizi dan kualitas dari sebuah subtansi ajaran agama itu sendiri.Â
Agama hadir di dalam kehidupan manusia salah satu tujuannya adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Maqaashid Asy-Asyarii'ah (Tujuan-Tujuan Syariat) adalah sebagai penjaga akal.Â
Seseorang mungkin akan bertanya, mengapa akal harus dijaga oleh agama, pertanyaan semacam ini adalah sangat wajar dan logis, mengingat akal adalah sentral dari seseorang itu menjalankan agama. Semua tujuan dan beban syariat dalam agama seperti Islam sangat mengarah kepada akal seseorang.Â
Mengapa seorang anak yang belum baliq  tidak diwajibkan untuk berpuasa, sholat dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya, hal itu karena akalnya belum sempurna dalam menjalankan fungsi yang seharusnya.Â
Mengapa seseorang yang mabuk dilarang untuk melaksanakan ibadah sholat, alasannya juga karena saat itu akalnya sedang tidak sedang stabil. Mengapa orang gila itu tidak dicatat dosanya ketika membuka auratnya, alasannya juga karena akalnya tidak waras, dan mengapa orang yang tidur tidak dicatat baginya pahala dan dosa, jawabannya pun karena saat itu akalnya tidak sedang bekerja.Â
Jadi akal merupakan pusat dan objek pemberian perintah dan larangan dalam beragama, sekaligus kita bisa katakan bahwa akal juga bertindak sebagai raja di dalam alam semesta.Â
Yang mana ketika sebuah kerajaan akan ditumbangkan, maka yang dilumpuhkan adalah kekuatan sang raja. Demikianlah dengan akal, seorang manusia akan menjadi tidak akan bernilai ketika akalnya tidak difungsikan.Â
Pada bagian sebelumnya kita telah menyinggung sejarah tentang Nabi Ibrahim yang sangat rasional dan pandai dalam memberdayakan akalnya ketika berdebat dengan Namruz.Â
Pada kesempatan yang lain, Ibrahim sebagaimana yang diungkapkan kisahnya dalam Q.S 2:260, dia pernah menuntut kepada Tuhan secara radikal untuk membuktikan kepadanya bagaimana cara Tuhan menghidupkan sesuatu yang telah mati di hadapan matanya.Â
Pada tempat yang berbeda, Nabi Musa ingin meminta kepada Tuhan agar bisa melihat Dia secara kasat mata tanpa penghalang. Permintahan yang sangat kontroversial semacam ini bagi seorang orang yang tidak mengerti substansi keimanan mungkin akan menjadi sangat tabu dan berlebihan ketika terdengar di telinganya.Â