Mohon tunggu...
Inovasi Pilihan

Mengisi Kemerdekaan Versi Kompas

9 Oktober 2015   21:26 Diperbarui: 9 Oktober 2015   21:52 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Harian Kompas, yang konon sejarahnya diberi nama langsung oleh Bung Karno yang berarti media (harian) penunjuk arah. Kerapkali memberikan wejangan dan arahan tentang bagaimana cara anak bangsa sekarang mengisi kemerdekaan yang telah 70 tahun diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dulu oleh Soekarno yang didampingi oleh Moh. Hatta di depan seluruh rakyat Indonesia.

Pada edisi kemerdekaan 18 Agustus 2015 dahulu, tulisan di halaman depan, tajuk rencana dan halaman Opininya sangat menggugah penulis dan masyarakat Indonesia. Di halaman depan, media ini menyajikan tulisan Rikard Bagun yang menekankan “Gotong Royong” sebagai modal kehidupan berbangsa agar bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Dia menemukan, fondasi gotong royong secara fundamental itu ada tiga; berbuat, peduli dan berbagai, selain itu dalam menerjemahkan arti Revolusi Mental yang lahir dari Trisakti Bung Karno; berdaulat, mandiri dan berkepribadian sebagai gerakan nasional “Ayo Kerja” sebagaimana dicanangkan oleh Pemerintahan Jokowi-JK. Dengan semangat “Ayo Kerja” sebagai gerakan nasional dapat dilaksanakan dengan mengedepankan sikap gotong royong yakni; berbuat untuk bangsa, peduli dengan bangsa, dan saling berbagi demi bangsa dan seluruh rakyatnya. Demikian kira-kira pesan yang ingin disampaikan oleh pemimpin umum harian Kompas Rikard Bagun.

Mengisi kemerdekaan dengan visual Pancasila

Di Tajuk Rencana yang kerap diisi oleh tulisan-tulisan Jakob Oetama sebagai perintis dan pendiri harian Kompas, tulisannya menyadarkan kita tentang kemerdekaan Indonesia yang telah 70 tahun usianya sejak diproklamirkan. Dia tak segan-segan membandingkan beberapa negara yang memiliki nasib terjajah juga, menurutnya ada yang jatuh dan ada pula yang bangkit, terbangun, melesat lalu lari sekencang-kencangnya mengisi kemerdekaannya. Dia memberikan contoh kecil negara Korea Utara, Singapura, dan Tiongkok, yang memilki factor penghambat kemajuan seperti terbatasnya sumber daya, dan terlalu meludaknya penduduk. Namun, bisa lari kencang mengisi kemerdekaannya. Dalam hal ini, tak segan ia menggambarkan, bahwa suatu perubahan itu terjadi bila diisi dengan “membanting tulang” bukan “membalikkan telapak tangan.”

Nilai Pancasila menjadi perhatian utamanya, sehingga ia menyarankan Pancasila sekiranya perlu dibalik dari bawah; dari sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Tawaran ini penuh keyakinan, bila pengamalan Pancasila visual tangga dari bawah maka sila ke-4-3-2- dan kesatu pun akan mudah terealisasikan.

Pendidikan ala Ki Hajar Dewantara

Sementara di halaman opini, yang dirangkum oleh Yudi Latif dari hasil diskusi mengenai “Pendidikan yang mentranformasikan.” Metode ala Ki Hajar Dewantara yang memerdekakan anak bangsa dari fisik dan bathin harus menjadi pedoman. Konsep Among yang beroereantasi pada asih, asah, dan asuh, menjadi jawaban.

Ki Hajar Dewantara memiliki metode pendidikan menciptakan jiwa-jiwa merdeka dari fisik dan psikis. Merdeka fisik maksudnya merdeka dari kemiskinan dan kebodohan, sedangkan merdeka jiwa maksudnya, merdeka dari kuasa dan dogma. Selama ini, kurikulum pendidikan tak menyentuh persoalan-persoalan demikian, hanya mendidik kepalanya, sedangkan jiwa dan tangannya mengambang. Sehingga, menghasilkan para pelajar yang tak bisa memahami dan bertindak di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya.

Pendidikan sekarang harus bisa menumbuhkan anak bangsa yang merdeka, bermental baja, berwawasan luas sehingga bisa bertanggung jawab terhadap bangsanya sendiri, Bung Karno sejak dulu menyadari bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas menuju keadilan dan kesejahteraan sosial. Sedangkan, dengan karakter sejak dulu pula beliau sudah menanamkan carakter building. Menurut Soekarno bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar tapi seringkali memberikan sesuatu yang kecil bagi bangsanya. Mental kuli dan pecundang harus dikis habis bila bangsa Indonesia ingin maju. Intinya; isi kemerdekaan ini dengan membanting tulang, membalik pengamalan Pancasila dari bawah, menumbuhkan jiwa merdeka dari pendidikan, gotong royong dan semangat kerja, dan mengingikis habis mental kuli. Dirgahayu Indonesiaku yang ke 70, dan salam sejahtera kepada jiwa-jiwa yang merdeka, dan siap bekerja dan banting tulang. MERDEKA!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun