Sejak pembukaan hubungan diplomatik pada tahun 1966, hubungan bilateral Indonesia dengan Korea Selatan terus mengalami perkembangan dan peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun di berbagai bidang mencakup politik, keamanan, ekonomi, perdagangan dan sosial budaya. Dalam konteks hubungan bilateral, Indonesia dan Korsel berada pada posisi yang saling melengkap di satu pihak, Indonesia memerlukan investasi, teknologi dan produkproduk teknologi. Di lain pihak, Korsel memerlukan sumber daya alam, tenaga kerja dan pasar Indonesia yang besar. Korsel merupakan alternatif sumber teknologi khususnya di bidang heavy industry, IT dan telekomunikasi.
Permasalahan terjadi ketika pada tanggal 30 September 2002, Indonesia terlibat dalam kasus pengenaan bea masuk Anti Dumping pada produk kertasnya. Indonesia dituduh telah melakukan praktik Dumping terhadap produk kertas yang diekspor ke Korea Selatan. Awal mula kasus ini terjadi ketika para pelaku usaha kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC). Terdapat 16 jenis produk kertas yang dikenai tuduhan dumping yang tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for writing, printing, or other graphic purpose and carbon paper, self copy paper and other copying. Adapun perusahaan yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk., PT. Pindo Deli Pulp & Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk. dan April Pine Paper Trading Pte. Ltd.
Pada 9 Mei 2003, KTC mengenakan BMAD sementara dengan besaran untuk PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk. sebesar 51,61%, PT. Pindo Deli Pulp & Mills 11,65%, PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. 0,52% serta untuk PT. April Pine Paper Trading Pte. Ltd. 2,8%. Pada 7 November 2003, KTC menurunkan BMAD untuk PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT. Pindo Deli Pulp & Mills dan PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. masing-masing sebesar 8,22 persen, serta untuk April Pine Paper Trading Pte. Ltd. dan lainnya 2,8 persen. Industri pulp dan kertas Indonesia memang mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi industri pulp dan kertas dengan skala global, itulah mengapa Korea Selatan merasa harus melindungi produsen kertas domestik karena banyak negara maju yang merasa terancam dengan industri pulp dan kertas Indonesia yang mempunyai keunggulan dikarenakan harganya yang murah dan kualitasnya yang bagus. Oleh karena itu banyak upaya yang dilakukan negaranegara pesaing Indonesia untuk menganggu pertumbuhan industri pulp dan kertas Indonesia.
Merasa tidak terima dengan tuduhan tersebut, para pengusaha kertas yang terkena tuduhan dumping pun meminta pemerintah Indonesia untuk melaporkan hal ini kepada WTO, maka dari itu Indonesia memutuskan untuk mengajukan permasalahan ini kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO sebagai aksi keberatannya.Konsultasi merupakan tahap awal dalam proses penyelesaian sengketa di WTO. Pada 4 Juni 2004, Indonesia meminta konsultasi dengan Korsel mengenai pengenaan definitif anti dumping oleh Korsel pada impor bisnis kertas informasi dan uncoated kayu-bebas kertas cetak dari Indonesia dan aspek-aspek tertentu dari penyelidikan yang mengarah ke pengenaan bea tersebut. Menurut permintaan konsultasi dari Indonesia, Korsel melanggar kewajiban WTO sehubungan dengan aspek-aspek berikut:
- Inisiasi Korsel penyelidikan, meskipun beberapa kekurangan seperti kegagalan pemohon untuk disertakan dalam aplikasi bukti yang cukup dan memadai dari dumping, cedera dan hubungan sebab akibat,
- Kegagalan Korsel untuk menyediakan dalam Pemberitahuan Inisiasi informasi mengenai faktor-faktor yang dugaan cedera didasarkan,
- Cara Korsel diberi perlakuan yang rahasia kepada informasi yang terkandung dalam aplikasi,
- Korsel sedang membuat sebuah permintaan informasi dari perusahaan tidak tunduk pada penyelidikan, tanpa mendapat persetujuan dari perusahaan itu dan setelah diberitahu Pemerintah Indonesia dari permintaan tersebut,
- Penolakan Korsel dari informasi yang berkaitan dengan penjualan sebuah perusahaan tertentu, tanpa menjelaskan alasannya,
- Penentuan awal Korsel, dalam hal seperti: produk, nilai dibangun, informasi terbaik yang tersedia, penolakan akses informasi dan penolakan untuk memberikan kesempatan kepada eksportir untuk menyampaikan pandangan mereka,
- Penentuan akhir Korsel, dalam hal seperti: produk, margin dumping yang individu, nilai dibangun, mengobati sebuah perusahaan tertentu dan perusahaan lain sebagai unit ekonomi, dampak dan akibat dari impor dumping pada industri dalam negeri dan harga di pasar domestik, kegagalan untuk mengevaluasi faktor yang relevan ekonomi dan indeks dan penolakan akses ke informasi,
Indonesia menganggap bahwa langkah-langkah Korsel tidak sesuai dengan: Pasal VI GATT 1994, antara lain, Pasal VI: 1, VI: 2 dan VI: 6; Pasal 1, 2.1, 2.2, 2.2.1.1, 2.2.2, 2.4, 2.6, 3.1, 3.2, 3.4, 3.5, 4.1 (i), 5.2, 5.3, 5.4, 5.7, 6.1.2, 6.2, 6.4, 6.5, 6.5.1, 6.5.2, 6.7, 6.8, 6.10, 9.3, 12.1.1 (iv), 12.2, 12.3, Annex I dan paragraf 3, 6 dan 7 Lampiran II Persetujuan Anti Dumping.
Konsultasi yang terjadi antara Korea Selatan dan Indonesia, pada akhirnya menemui jalan buntu dan tidak tercapainya kesepakatan, sehingga pada tanggal 16 Agustus 2004, Indonesia meminta pembentukan panel dan pada pertemuan tanggal 31 Agustus 2004, namun DSB meangguhkan pembentukan panel. Selanjutnya permintaan kedua untuk membentuk panel oleh Indonesia, DSB akhirnya membentuk panel dalam pertemuan pada 27 September 2004. (Kanada, Cina, Masyarakat Eropa, Jepang dan Amerika Serikat menjadi pihak ketiga). Indonesia untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Mechanism (DSM) sebagai pihak penggugat utama (main complainant) yang merasa dirugikan atas penerapan peraturan perdagangan yang diterapkan oleh negara anggota WTO lain. Indonesia mengajukan keberatan atas pemberlakuan kebijakan anti dumping. Korsel ke DSM dalam kasus Anti Dumping Duties on Imports of Certain Paper from Indonesia.
Pada tanggal 28 September 2007, Pasal 21.5 laporan Panel diedarkan kepada Anggota. Panel tersebut menyimpulkan bahwa:
- KTC bertindak tidak konsisten dengan Pasal 6.8 Persetujuan Anti Dumping dan ayat 7 Lampiran II oleh gagal untuk melaksanakan kehatihatian khusus dalam penggunaan informasi dari sumber sekunder dalam upaya untuk mendasarkan tekad beban bunga CMI pada informasi terbaik yang tersedia;
- KTC bertindak tidak konsisten dengan kewajibannya berdasarkan Pasal 6.2 Perjanjian Anti Dumping dengan menolak untuk memberikan Sinar Mas Group kesempatan untuk membuat komentar pada evaluasi faktor cedera dalam Pasal 3.4;
- Indonesia gagal membuat kasus prima facie berkaitan dengan klaim berdasarkan Pasal 6.4, 6.5 dan 6.9 dari Persetujuan Anti Dumping mengenai pelanggaran pengungkapan dugaan sehubungan dengan KTC yang cedera redetermination, dan d. Indonesia gagal membuat kasus prima facie berkaitan dengan tuntutannya terkait dugaan penerimaan oleh KTC informasi baru dari industri Korsel.Â
Intinya DSB mengabulkan dan menyetujui gugatan penggugat (Indonesia) yang menyatakan bahwa Korea Selatan telah melakukan pelanggaran ketentuan ADA dan mengenakan BMAD terhadap produk kertas dari Indonesia. Perkembangan selanjutnya, setelah adanya laporan panel ini dan DSB telah memenangkan Indonesia, seharusnya Korea Selatan mematuhi apa yang telah menjadi ketentuan, akan tetapi Korea Selatan tidak menghapus BMAD yang dikenakan pada kertas impor dari Indonesia. Ketidakpatuhan Korea Selatan dalam melaksanakan putusan dari DSB ini menjadi kelemahan tersendiri terhadap putusan DSB yang mana putusan itu sifatnya mengikat, tetapi tidak memaksa.
DAFTAR PUSTAKA
Barutu, Christhoporus. Ketentuan Anti Dumping, Subsidi dan Tindakan Pengamanan dalam GATT dan WTO, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Pelawi, Freddy Josep. Penyelesaian sengketa WTO di Indonesia, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009.