Januari 2025 menghitung jam, bukanya menikmati tahun baru namun kini masyarakat khawatir menghadapi tahun 2025 terutama yang berhubungan dengan ekonomi pasalnya Kabinet Merah Putih membuat kebijakan baru naiknya tarif PPN 12% dan sudah di tetapkan tidak bisa berubah lagi, pemerintah mengemukakan beberapa alasan di balik kebijakan ini namun dibalik itu semua masyarakat tidak setuju. Keputusan ini dianggap membuat masyarakat semakin terbebani terhadap harga barang atau jasa nantinya, masyarakat akan semakin sulit untuk memenuhi kebetuhan sehari-hari terutama untuk wirausaha UMKM dan kebijakan ini dirasa kurang tepat karena di tengah ketidakstabilan keadaan ekonomi 2tahun terakhir.
Narasi pemerintah yang menyatakan bahwa PPN 12% ini akan digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, namun jika dilihat kembali yang merasakan manfaat langsung dan cepat dari kebijakan ini adalah pemerintah dalam bentuk peningkatan pendapatan negara bukan rakyat apalagi perbaikan infrastuktur dan lain-lain dari pemerintah biasanya memakan waktu lama atau bahkan tidak terealisasi. Kenaikan tarif pajak berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, masyarakat akan mengurangi kegiatan konsumeritas seperti kebutuhan pangan atau membeli kendaraan baru karena meningkatnya harga yang diikuti dengan kenaikan pajak. Sebelum memutuskan hal ini, pemerintah telah memperhatikan penerimaan tax ratio negara yang cenderung stak dari 2018 -- 2023.
TERUS APA SAJA YANG TERKENA TARIF PPN 12%?Â
Pada peraturan UU Nomor 7 Tahun 2021 terdapat beberapa barang tidak kena pajak 12% diantaranya:
- Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
- Jasa pelayanan kesehatan medis tertentu dan yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional.
- Jasa pelayanan sosial
- Jasa keuangan
- Jasa asuransi
- Jasa pendidikan
- Jasa angkutan umum di darat, air dan udara
- Jasa tenaga kerja
Di dalam UU tersebut tidak di sebutkan secara sepesifik barang atau jasa apa saja yang akan berimbas dari kebijakan ini, namun menurut beberapa sumber barang-barang tersebut sebagai berikut:
- Beras Premium
- Buah-buahan premium
- Minyak Goreng (Kecuali minyak curah)
- Kendaran bermotor (setiap tahunya kita akan membayar pajak)
- Makan di Resortoran/Cafe
- Pendidikan Kelas atas
- Listrik rumah tanggga 3.500 -- 6.600 VA.
- Spotify
- Netflix
- Tiket Pesawat
- Kosmetik
- Skincare
(sumber Tiktok: Farhan, Jerome Polin)
(Sumber Instagram: cnbcindonesia dan korantempodigital)
Di kutip dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 pada angka 10 pasal 32A ayat 2 tentang "Untuk meningkatkan realisasi potensi perpajakan serta untuk mengoptimalkan pengenaan pajak, dapat diterapkan skema pemotongan dan atau pemungutan pajak (withholding tax) melalui penunjukan pemotong dan/atau pemungut pajak, yaitu pihak lain". Di ikuti dengan contoh transaksi yang terkena pajak dan pada contoh ke 3 mengindikasikan pembelian di marketplace seperti Shopee, Tiktokshop, Tokopedia dan lain-lain akan terkena PPN 1% dari pembelian konsumen.Â
Menurut penelitian Tarmizi 2023 di Jurnal Ekonomi Indonesia, peningkatan tarif PPN Indonesia menjadi 12% secara tarif ini berpotensi akan menurunkan PDB nominal 0,8% dan berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin nasional sebanyak 267.279 jiwa akibat distorsi harga yang terjadi di bawah penerapan kebijakan PPN 12%. Peningkatan tarif PPN seharusnya tidak hanya dilihat dari penerimaan pajak saja ditahun sebelumnya namun juga perlu mempertimbangkan dampak trade off terutama pada masyarakat kalangan menengah  dan dengan naiknya tarif pajak 11 ke 12 menimbulkan efek domino dari tangan produksi hingga konsumen. Kini seluruh lini masyarakat dari pekerja hinggga mahasiswa melakukan aksi tolak PPN 12% sebagai bukti tidak setujunya atas kebijakan ini, ketidak setujuan ini didasarkan pada kekhawatiran terhadap dampak besar ekonomi rumah tangga, pelaku usaha, dan ketimpangan sosial kami memahami apabila pemerintah ingin meningkatkan penerimaan negara namun sebelum menerapkan kebijakan ini perlu adanya mendengar dan memperhatikan rakyat seperti memberikan jaminan nyata dan sosialisasi kebijakan yang lebih transparan serta kompensasi bagi kelompok yang terdampak dapat membantu mengurangi resistensi terhadap kebijakan ini  oleh karena itu penerapan kebijakan ini seharusnya belum bisa diterapkan di 2025 esok.Â