Mohon tunggu...
Kang Isrodin
Kang Isrodin Mohon Tunggu... wiraswasta -

aku anak desa yang punya mimpi,membangun Indonesia dengan memulai dari desa untuk Indonesia, memulai dari park farmer PAKIS wujud dedikasi utk negeri

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

The First Novel Anak Desa?

7 November 2014   15:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:24 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14153233331381677182

[caption id="attachment_333660" align="alignnone" width="1024" caption="mad taufik_tengah jongkok berkacamata dkk_dikampung itu_koleksi pribadi"][/caption]

Prolog

Lelaki tua itu duduk di tepi jendela sambil menghembuskan nafas beracunnya ke langit-langit rumahnya yang amat sederhana. Meski masih belum begitu sore, namun pemandangan di luar rumahnya sudah nampak begitu gelap dan sepi. Jendela kaca yang sudah retak dan buram melengkapi pergantian waktu menuju malam sore itu. Melalui kaca kusut jendelanya, Karsidi melihat rombongan orang yang sedang pulang dari mencari rumput untuk pakan ternak. Beberapa pria setengah baya berjalan terengah-engah dengan rumput menimpa kepalanya hingga mirip rambut palsu raksasa. Lalu disusul olehbeberapa ibu-ibu yang menggendong rumput di punggungnya dan kali ini mirip kura-kura yang sudah lama tidak pernah membersihkan rumahnya hingga ditumbuhi gulma dan lumutan. Tidak sampai beberapa meter, dibelakangnya ada dua anak kecil yang mengikuti jejaknya. Mereka mengenakan kaos oblong, sementara yang satunya memakai celana pendek warna merah, seratus persen seperti celana yang biasa digunakan anak sekolah dasar untuk belajar di sekolahan, hanya saja warnanya sudah agak memudar dominasi warna kecoklatan pada beberapa sisi. Kaki mereka yang mungil dan dekil melangkah dengan tenang di jalan setapak penuh batu-batu kecil berdinding rumput liar, mungkin telapak kakinya secara alami telah berevolusi menjadi lebih tebal. Kapalan. Rona wajahnya yang tidak memancarkan keletihan, hanya meluncurkan beberapa titik keringat yang meleleh dan meninggalkan tanda di sekitar lehernya.

Melihat iring-iringan yang paling belakang, lelaki tua itu tersenyum simpul, simpatik. Yang ada dalam pikirannya bukan soal bahwa anak-anak itu termasuk kategori anak yang berbakti dan mau membantu orang tua. Tapi lebih pada bahwa mereka sudah bisa dipekerjakan, atau sudah boleh mencari kerja. Cari uang. Entah mau ke Jakarta atau Kalimantan, itu bukan masalah.

Di ruang sebelah yang hanya disekat oleh anyaman bambu yang sudah bolong-bolong, istrinya sedang duduk di depan perapian sambil memasak air sekaligus menghangatkan diri karena hawa dingin terasa lebih menusuk. Ruangan yang sempit membuat udara kian pengap dan asap membuat matanya yang sudah sayu terasa perih. Lalu perempuan tua itu terbatuk-batuk. Ia pun keluar dapur menemui suaminya yang sedang menikmati rokok hasil lintingannya sendiri.

Karsidi, nama lelaki itu menoleh ke arah istrinya danmenyodorkan selembar kertas.

“Tadi, Liha yang ngasih. Siapa ya, yang menikah?” Tanyanya menatap lekat ke arah istrinya. Sang istri memegang dan mengamati kertas foto kopian itu dengan tenang. Lambat laun seri mukanya berubah. Dahinya mengkerut.

“Ini undangan sunat, pakne. Simun mau sepit,” jawab istrinya sambil mendelik sebal “Pakne ini gimana, kan udah di ajakin sama Kastam buat ikutan belajar membaca. Berhubung ndak mau, ya selamanya bapak tidak akan bisa baca,” nasehatnya ketus. Ia sedikit lebih modern ketimbang suaminya. Meski pada kenyataanya, ia harus mengejanya berulang-ulang agar tidak salah baca.

“Kamu tahu si Kamto, bune?” Sela Karsidi, “Dia bacanya canggih. Tapi ujung-ujungnya tetap aja jadi preman. Nyusahin orang. Masih mending Darno dan Tarkim. Meski bacanya susah seperti ibunya, tapi sudah bisa kerja ke luar kota. Hebat, kan anak kita? Tidak jadi preman seperti teman-temannya,” katanya sambil tertawa. Sisa asap rokok dari sela-sela giginya yang kuning kecoklatan berhembus tipis lalu hilang.

Belum selesaiberdebat, dari kaca jendela pandangan mereka berdua di alihkan oleh dua pasang kaki yang sedang menuju ke arah rumahnya. Dari perawakannya, orang yang mereka amati berusia sekitar enam belasan tahun, berpakaian rapi dan terlihat seperti orang asing.

ЖжЖ

Daftar kisah

0.Prolog

1.Mengetuk Pintu-pintu

2.Save Area

3.Konferensi Meja Kotak

4.Jangan Garfield

5.Rencana menjelang Ramadhan

6.Kerja Bakti

7.ABC

8.Puasa Hari Pertama

9.Erisa

10.Hutan dan Desa

11.Dwilogi Kabar Buruk

12.Menu Spesial #1

13.Menu Spesial #2

14.Gosip Dewasa

15.Kembalinya Para Kambing

16.Epilog



Mengetuk Pintu-pintu

Awal kedatanganku ke kampung ini, aku agak terkejut karena keadaannya jauh sekali dari apa yang ada dalam bayanganku. Beberapa orang menyebut bahwa ini adalah kampung yang ketinggalan zaman alias terbelakang, entah beberapapuluh tahun kebelakang. Ketika ada yang bilang seperti itu, maka secara otomatis dugaan yang tidak rasional dan beranak pinak dalam jaringan neuronku itu bergelantungan di luar kepala dan menggambarkan bahwa disana, di kampung itu aku akan menemui orang-orang tanpa busana yang takut dengan kamera. Lalu ketika ada yang bilang bahwa di sana pemandangannya indah, maka secara terus terang aku akan membayangkan bahwa di sana bisa ditemui berbagai macam landskape yang indah dan bisa disebut sebagai keajaiban dunia, meski tingkat kabupaten. Tempatnya pasti ramai dan banyak turis domestik yang main kesana.

Waktu itu menunjukkan pukul empat sore, pepohonan yang rimbun tinggi-tinggi menghiasi tiap sisi kosong halaman dan tumbuh di tiap sisi, mengepung dusun tersebuthingga menghalangi sisa cahaya senja nan jauh di arah barat sana. Meski masih belum se sore yang terlihat, namun suasana sudah nampak gelap mendahului. Rasanya waktu siang di tempat ini sungguh singkat. Karena wilayahnya berada di kaki gunung, otomatis kabut juga turut mencari tempat di dataran tersebut.

Berdua bersama seorang teman dari kalangan keluarga sendiri, sepatu katsku terus tergerus jalanan berupa batu-batu tidak simetris yang ditata rapi. Saat ini kami sedang keliling kampung karena ada hal yang harus dilakukan. Dengan berbekal buku dan pena, kami berdua terus menelusuri kampung dari rumah ke rumah penduduk untuk lebih mengenal mereka. Di tiap perjalanan, kami sering berpapasan dengan warga yang selalu menyapa dengan ramah dan tersenyum. Beberapa anak-anak kecil juga terlihat, wajahnya yang kotor polos memandangi kami secara kompak seperti ketika aku memandangi turis luar negeri yang sedang berlibur. Saat ini kami memang sedang melakukan penjajakan di dusun tersebut dan ini merupakan penjajakan pertamaku namun sudah hari yang ke-6 sejak dijadwalkan. Kami berhenti melangkah, kali ini rumah berikutnya sudah di depan mata. Namun sebelum masuk bertamu, aku mengeluarkan kamera digital pinjaman dan mengambil gambar rumah yang akan kami kunjungi. Ketika sedang memotret, penghuni rumah samar-samar terlihat mengintip dibalik jendela yang kusam, memperlihatkan setengah bagian wajahnya yang sudah tua.

Setelah mengucap salam, seorang yang berperawakan kurus berusia sekitar 60-an tahun membukakan pintu dan mempersilakan kami masuk dengan gembira, karena keberadaan kami di sini sudah diketahui mereka sejak hari pertama, yaitu melalui RT untuk meminta izin sekaligus meminta data yang di perlukan. Jadi, mereka tinggal menunggu giliran untuk mempersilakan masuk jika kami datang.

Monggo, Mas. Belum rampung, ya?” Tanyanya dengan ciri khas yang kental. Tangannya yang keriput memegang pintu tak layak itu dengan hati-hati, karena jika dibilang pintu, maka fungsinya asal ada yang mengetuk, maka itulah pintu.

“Belum, Pak. Tapi niki (ini) sudah hampir selesai,” jawabku dengan bahasa campuran sambil hendak duduk di kursi panjang yang sudah reot dan udzur. Saat kami bergerak, kursi tua itu juga ikut bergerak. Terdengar rintihan khasnya.

Rumah yang kami datangi, kali ini sungguh memprihatinkan. Perabot seperti wajan yang pantatnya sudah sangat hitam karena tidak ada cadangannya yang digantung di beberapa dinding bambu yang sudah usang nampak menghiasi rumahnya. Belum lantainya. Sungguh sangat alami dan membumi, karena lantainya memang bumi langsung tanpa alas karpet apalagi semen. Tonjolan tanah yang mirip kutil raksasa tumbuh dimana-mana. Selain tonjolan, cekungan juga tersedia. Seperti danau yang tidak ada airnya. Ah, Masih mending rumahku. Meski beralas tanah, tapi masih dilapisi karpet. Tanahnya juga ber “kutil”, tapi kecil-kecil tidak seperti tumor ganas mematikan.

Ternyata rumah yang kondisinya lebih buruk dari rumahku masih ada. Aku mulai membandingkan.

Reduksi empat bola mata kami yang kemana-mana terhenti kepada pemilik rumah yang datang sambil membawa nampan. Isinya dua gelas teh hangat tawar, atau ada yang menyebutnyaTeh Jawa, dan olahan singkong yang direbus dan ada parutan kelapa yang ditaburkan merata. Orang dusun ini menyebutnya tiwul. Meski agak lengket, rasanya enak. Hampir semua rumah yang kami datangi menyediakan menu berbahan dasar singkong. Ini seperti menu wajib bagi kami. Beda olahannya, maka namanya juga akan beda, dan tentu rasanya juga beda. Tapi tetaprasa singkong.

“Di sini adem njih, Pak?” Roif mengawali dengan basa-basi. Orang tua itu menatap jaket tebal yang kami kenakan dan menyanggah.

Nganggone kandel ya adem. Inyong tah atis, Mas,” (Pakainya tebal ya hangat. Aku sih, dingin) jawabnya sambil menunjuk baju berwarna putih yang ada sablon nama sebuah bank.

Aku dan Roif berpandangan. Bukankah adem dan atis itu artinya sama-sama dingin? Kalau di daerah kami memang iya. Tapi kalau di kampung ini, ternyata artinya sudah membelot. Bahkan hampir terbalik. Kata temanku, ademnya di sini itu, kurang lebih berarti tidak dingin dan tidak juga hangat. Alias sedang-sedang saja.

“Hari ini baru ngapain aja, Pak?” Semua orang yang aku temui hampir semuanya aku tanya begitu. Pertanyaan yang sama, pada orang yang berbeda. Aku tidak tahu ini jenis komunikasi apa namanya.

“Baru dari sawah. Macul sawah,” jawabnya. Kemudian dilanjutkan oleh sebuah pertanyaan yang sering orang sini ajukan pada kami berulang-ulang. “Masnya dari mana? Bahasanya seperti bukan orang daerah sini.”

“Dari Dieng, Pak,” sudah kami duga, jawaban yang kami berikan akan menimbulkan pertanyaan.

“Dieng itu mana, ya? Semarang?” Ada yang menebak Blora, Jogja, hingga sampai daerah Jawa Timur.

“Bukan, Pak. Tapi ada di Wonosobo dan Banjarnegara juga ada Dieng,” begitu jawabku. Akhirnya ia mengangguk tanda mengerti. Rata-rata orang kampung ini tahu Banjarnegara, karena masih satu Karesidenan. Beliau juga tahu.

Sesuai dengan tujuan kedatangan. Setelah berbasa-basi, kami mulai bergerak dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang selalu di ulang-ulang kepada tiap orang yang kami datangi. Sambil duduk di kursi yang miring karena kontur tanahnya memang miring, lelaki tua itu menjawab meski dengan agak terbata dan kadang kurang jelas. Roif, yang duduk disebelah kiri ku bertugas mencatat atau bahasa kerennya notulen, meski kadang tangan nakalnya malah membuat goresan gambar imajinya. Seperti orang membuka mulut dengan gigi taringnya yang panjang-panjang atau grafity yang tidak bisa dibaca.

“Yah, di desa ini memang begini, mas. Banyak yang seperti saya. Tidak bisa baca tulis,” katanya merendah. “Tapi...” Oh, ada tapinya, pikirku. “Semuanya pekerja keras. Kalian mau lihat? Meski sudah tua, tapi ototku besar,” ia menunjukkan bisep yang disebutnya otot tersebut. Kami semua tertawa. Mendadak sekali humornya. Dilihat dari wajahnya, ia sebetulnya kurang pantas melucu seperti itu. Tapi begitulah fisik, belum tentu sesuai dengan isinya. Soal info mengenaskan tentang minusnya kemampuan baca-tulis, hampir semua yang kami datangi mengaku kesulitan, bahkan tidak bisa. Alasannya juga bermacam-macam. Mulai dari lupa, karena tidak sekolah, dan karena bisa hitung uang saja itu sudah cukup. Karena banyak warga yang bisa menghitung, aku sampai ingin menjuluki kampung ini dengan nama: Kampung Matematika.

ЖжЖ

Dari beberapa puluh orang yang kami temui, Pak Karsidi, nama makhluk ini, adalah orang berselera humor tinggi meski kadang tidak lucu. Rokok hasil lintingannya yang berbau kemenyan menyertai tiap ucapannya. Sehingga ketika beliau bicara, sisa asap dari mulutnya berhembus keluar seperti naga yang kehabisan bahan bakar di kerongkongannya. Meski sudah tua, tapi rambutnya tidak memutih seperti umumnya usia kakek-kakek. Mungkin karena beliau orangnya tipikal bahagia. Rambutnya juga lurus, tidak seperti kedua tamunya. Aku dan Roif masih saudara, dan rambut kami bergelombang, kalau Roif hitam tebal, aku merah kecoklatan dan tipis seperti replika musim kemarau selama tiga bulan.

Suasana yang hangat seperti ini membuatku lebih leluasa untuk bertanya apa saja. Saat kami bertanya kenapa beliau tidak bisa baca. Alasannya sungguh sederhana, katanya istrinya sudah bisa. Jadi kalau ada semacam undangan, cukuplah istrinya yang membacakan. Itu sudah cukup, katanya sambil tertawa. Entah menertawakan istrinya yang bisa membaca atau dirinya karena sudah memanfaatkan orang yang lebih pintar darinya. Setelah mengobrol dan terasa cukup, kini tujuan kami adalah rumah terakhir. Tugas untuk kali ini hampir selesai sudah. Letak target selanjutnya berjarak sekitar dua puluh meter dari rumah Pak Karsidi yang humornya relatif itu. Jam menunjukkan pukul lima sore, kami harus cepat.

Rumah berikutnya terlihat lebih baik dari sebelumnya. Bangunannya permanen meski sudah ada retakan kecil di beberapa sisi. Di halaman samping depan, beberapa ikat kayu bakar ditata menumpuk. Persediaan untuk bahan bakar dapur selama dua bulan nampaknya cukup dan katanya, kalau kami butuh kayu tersebut kami bisa membelinya. Dari kaca jendela yang agak terang, kami melihat pemilik rumah sedang duduk santai di kursi bambu membelakangi kami. Kusuruh roif yang mengucapkan salam.

“Assalamu’alaikum...,” ia bergegas untuk melangkah masuk, tapi di urungkan karena pemilik rumah masih diam. Giliran aku yang salam, ternyata bernasib sama. Akhirnya kami berdua mengucap salam bersama. Tapi masih nihil. Patung itu tidak bergerak.

“Mungkin orangnya tidur,” kataku tidak yakin.

“Sepertinya tidak. Lihat itu,” tunjuknya. Kami melihat tangan orang itu bergerak, lalu ada asap mengepul. Mungkin kenikmatan dari asap rokok telah mengalihkan indera pendengar orang itu.

Satelah mempertimbangkan, kami akhirnya harus menjauh dari pintu dan berniat kembali ke tempat teman-teman yang lain, tapi bunyi pintu terbuka menghentikan langkah kami yang gontai itu. Saat kami menoleh, tampak seorang ibu muda yang baik hati berdiri di ambang pintu. Ekspresinya kaget.

“Ayo, Mas. Ayo melbu bae. Tak kira tah uwis pada ndodok,” (Ayo masuk saja. Aku kira sudah pada duduk) katanya. Kami menurut, lega sekali rasanya. Karena setelah ini, kami berencana untuk istirahat.

Saat kami masuk, lelaki tadi segera menyalami dan tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa seperti tokoh antagonis di film sinetron. Laki-laki yang ternyata saminya ibu tadi menata duduknya sepertinya sudah siap mendengar interogasi dari sosokkakak beradik yang masih galau tersebut. Jika diperhatikan, suami ibu ini nampaknya orang yang ramah karena ia terus tersenyum memperhatikan kami seperti warga pada umumnya. Ia sempat menghisap rokok kretek yang tinggal dua sentiitu dan mematikannya.

“Maaf, Mas... Pak, Kami dari...,” aku mencoba mengawali pembicaraantapi terpotong oleh ucapan, “Ha?”

“Kami dari Baturraden,” aku melanjutkan.

“Ha?” Lagi-lagi kata yang singkat tapi membingungkan itu keluar lagi. “Maaf? Kurang keras, mas, Tidak jelas,” katanya. Kini tahulah kami.

Akhirnya, meski terpaksa, kami harus berbicara layaknya berbicara dengan orang yang sedang dimarahi. Seperti polisi menanyai tersangka maling beras milik tetangga.

“Mas! Ada berapa orang yang tinggal dirumah ini!!!” bentakku.

“Saya, istriku, lalu anakku!” jawabannya juga tidak maukalah kerasnya.

“Anaknya sudahkelas berapa?!” ku usahakan agar tidak mendelik.

“Berapa apanya?!” Ia bertanya balik, rupanya aku kurang keras. Uh... aku harus pakai speaker musholla.

“Iya! Kelas berapa!!!” Aku merasa sangat tidak sopan dan keterlaluan, tapi ini yang tuan rumah inginkan. Roif mencatat sambil menahantawa, karena dia tahu kalau sedang berbicara, suaraku relatif pelan bahkan kurang terdengar. Saat aku lirik tubuhnya yang bergoncang-goncang menahan tawa, aku jadi terpengaruh dan hampir ikut tertawa. Untungnya masih mampu ditahan. Aku tidak ingin teriakan ini berubah menjadi malapetaka.

“Sekarang sudah kelas tiga SD, Mas!” Jawabnya.

Karena harus berteriak dan kadang pertanyaan harus di ulang-ulang membuat tenggorokanku kering dan serak, sedang yang ditanya nampaknya tidak ada gangguan dan cuek saja. Beberapa kali aku harus membasahi tenggorokan dengan cairan berwarna coklat itu. Teh Jawa.

Lega sekali rasanya, akhirnya interogasi berjalan lancar meski harus mengancam pita suara. Apalagi hari sebelumnya aku sempat bertamu malam-malam, tapi beberapa penghuninya justru sudah terlanjur tak sadarkan diri di ranjang masing-masing. Mereka pasti lelah karena seharian bekerja. Aku melangkah dengan penuh irama, seperti orang yang baru mendapat kabar bahwa kekasih yang dijodohkan ternyata memberontak. Ah, nampaknya berlebihan. Tapi aku merasakan seperti itu. Aku sudah merindukan asramaku di Baturraden yang berkasur, nyaman, bahkan ada hotspotnya. Karena seminggu berada di dusun ini, yang lain bahkan ada yang sampai sebulan, aku dan teman-teman tidur seadanya, bahkan tanpa kasur dan hanya beralas karpet, selimut pun kadang berupa sarung. Pengalaman yang sungguh mengesankan dan tak pernah terlupakan.

ЖжЖ

Save Area

Selamat datang pagi... Hmmmh... aku menggeliat dan menarik sarung yang aku jadikan selimut telah lepas dari badan, yang kata ibuku harus digemukkan sedikit lagi. Seperti biasa, aku selalu bangun dengan rasa dingin yang tajam menusuk tulang-tulang dan mulai sering kesiangan untuk ukuran orang Islam. Sinar pagi sudah hampir menyinari “markas” kami yang berupa pos. Pos untuk menjaga para kambing dan tentu saja harusdekat dengan kandang kambing. Sekitar lima meter di depan kami, ada 50 ekor kambing, beberapa ekor diantaranya mulai berisik bersahut-sahutan seperti sedangmengutuki aku yang tidak subuhan. Kambing-kambing suci itu telah menjadi saksi alpaku selama empat pagi.

Untuk bangun berdiri, aku harus membungkuk seperti saat sedang rukuk, kecuali kalau ingin kepala beradu dengan atap yang sebenarnya adalah lantai dua, meski lantai satunya sebetulnya adalah tanah untuk menancapkan empat pasang kaki agar pos itu dapat berdiri. Bisa dibilang, kami tidur di kolong. Untuk keluar dari persemayaman juga aku tidak perlu membuka pintu, apalagi jendela. Dengan mata yang mulai silau karena cahaya pagi, hati-hati aku keluar dan menggerak-gerakkan leher yang rasanya seperti baru jadi kuli panggul semalaman. Pegal sekali. Terlihat dua teman tidurku juga, Beni dan Aldo rupanya baru cuci muka, bisa dilihat dari muka dan langkah kakinya yang gontai masih setengah bernyawa. Berbeda dengan penghuni lantai dua, dua makhluk feminis itu sudah bau sampo dan sabun. Soal bangun pagi, kami memang selalu tertinggal oleh para perempuan. Ini seperti hukum alam... Tapi, tetap saja memalukan.

Untuk cuci muka aku harus jalan kaki sejauh duapuluhmeter melalui jalan setapak berbatu yang dikelilingi rumput liar. Butiran air yang masih menempel pada rumput dan dedaunan di jalan memerciki kakiku, lalu dinginnya menjalar ke seluruh tubuh. Meski aku berasal dari tempat yang beberapa kali lebih dingin bahkan udara pagi bisa mencapai nol derajat celcius, nyatanya aku masih saja kedinginan. Sampailah langkah malasku ini pada dua pancuran yang terpisah. Yang sebelah barat untuk mencuci, sedang yang di sebelah timur biasa digunakan untuk mandi. Agar aurat si pemandi tidak menjadi pemandangan publik, penghalang yang bisa diandalkan cukup sobekan baliho partai yang sudah usang berlumut yang diikatkan seadanya pada bambu.Melalui potongan bambu besar yang dibelah dua, air yang sejuk itu membasahi kulit dan kerongkonganku. Karena aku terbiasa minum air putih saat bangun tidur, makanya sambil cuci muka, minum air. Entah air gallon atau mata air, asal menurutku bersih dan bisa diminum, maka aku minum. Fleksibel.

Sambil menggosok gigi, pandangan mataku terarah pada belasan anak-anak SD yang sedang berjalan beriringan menuju ke sekolah yang jaraknya dua kilometer jauhnya. Anak-anak hebat! Kalau sampai dewasa mereka masih mau jalan kaki sejauh itu tiap pagi, pasti akan menghemat bahan bakar dan mengurangi polusi sepeda motor. Mereka juga akan sehat tentunya. Teoriku amat sederhana sekali... hanya masalah polutan dan kesehatan. Bagaimanapun, kampung ini masih asri karena dikelilingi oleh banyak pohon pinus yang tumbuh besar dan tinggi-tinggi di sebagian besar tanah milik Perhutani. Sementara itu, penampakan makhluk kesiangan yang sedang menatap mereka membuat anak-anak SD itu balik memandangnya. Aku langsung memalingkan wajah karena malu. Mukaku masih kusam. Ah, aku kalah pagi dengan mereka. Ini juga seperti hukum alam, di mana sang Ibu lebih sering dibangunkan oleh bayinya, di mana ayam berkokok terlebih dahulu dari pada matahari. Naif sekali, aku menganalogikan anak-anak SD itu sebagai ayam, lalu aku mataharinya? Haha... Ini melanggar etika perbandingan. Tuhan saja tidak akan terima.

Sambil menghangatkan tubuh melalui jasa matahari, aku berdiri mematung dengan pandangan eksploratif, menyelusuri pemandangan indah yang mampu aku capai sejauh mata minusku memandang. Tidak jauh dari tempatku, di depanku terhampar sebuah telaga yang sedikit airnya, dikelilingi oleh perbukitan yang tinggi-tinggi menjulang. Sejarah telaga ini beragam dan cenderung mistis. Aku tidak heran, di kampung yang terpencil semacam ini, tempat yang dikeramatkan sudah jadi hal biasa. Ada yang bilang, dulu di situ merupakan tempat pembuangan mayat pada masa kolonial, meski begitu, nama telaga ini tidak seseram ceritanya. Bahkan terkesan imut, bersahabat dan memiliki energi kehidupan, karena nama telaga tersebut diambil dari nama spesies tumbuhan. Namanya Telaga Kumpe.

Soal nama telaga ini, aku punya pandangan yang berbeda. Meski bersahabat, tapi ada kesan dramatis yang membuat nama itu tersemat. Dulu, seperti ini dongengnya...

Alkisah, dahulu kala, air di telaga itu melimpah ruah. Beberapa ikan hidupmakmur dan bahagia. Tapi sesuatu terjadi. Ketika musim kemarau, debit air menurun alias surut. Terang saja “para penduduk” kebingunan harus hijrah kemana. Mereka, para ikan tentu tidak bisa jalan kaki dan memboyong keluarganya ke laut. Akhirnya mereka pasrah dan harus hijrah ke penggorengan. Sejak relokasi tersebut, negara mereka menjadi tidak terurus dan terancam degradasi. Hanya bagian kecil saja yangmasih mampu hidup di sana, itupun ikan-ikan kecil yang lemah dan siap diciduk kapan saja. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh para amfibi yang datang berlompatan dan langsung mengintimidasi melalui suaranya yang keras dan kasar. Tak lama berselang, beberapa biotik yang suka genangan air juga turut serta dan tumbuh dibanyak tempat, bahkan hingga berdesakan. Yang lebih berbahaya, pendatang yang berupa tumbuhan itu akhirnya lebih mendominasi. Mereka tumbuh di mana-mana seperti parasit, terutama rumput raksasa yang disebut Kumpe. Melalui perdebatan antara Selobor, Selada, Rumput Liar, dan bererapa kalangan minoritas, akhirnya yang terpilih sebagaipemimpin tertinggi adalah para Kumpe. Karena mereka lebih tinggi dan berkulit tebal, pertumbuhan mereka juga cepat. Para Kumpe yang serakah kekuasaan itu tumbuh di berbagai sisi sehingga telaga tersebut tersulap menjadi ladang Kumpe. Tapi... kini semua tinggal sejarah... sebagian besar Kumpe itu sudah merasakan akibat dari keserakahannya.

Waktu berlalu, datanglahpendatang baru berjenis homo sapiens. Mereka memantau kondisi telaga tersebut dan berniat menghabisi para Kumpe yang sedang berjaya. Setelah berdiskusi dan mempertimbangkan, akhirnya beberapa orang berbaju kerja kasar dan menyeramkan menyabetkan senjata tajamnya ke arah para Kumpe sehingga mereka berjatuhan, tumbang satu persatu tanpa mampu melawan. Beberapa tumbuhan liar lainnya juga kena batunya. Saat pembantaian tengah berlangsung, beberapa intelek dari kalangan Kumpe menyusun siasat, bagaimana caranya agar kejayaan mereka tidak lenyap. Dalam keadaan kritis, mereka memutar otak dan akhirnya solusi tercipta. Disaat ada yang mau menebas dibagian tengah telaga, utusan Kumpe mengatakan bahwa di tempat tersebut ada makam sepasang suami istri. Apalagi di situ ada pohon yang tumbuh sebatang kara, memberi kesan bahwa di situ benar-benar ada kuburan. Homo sapiens itu percaya, dan karena ingin menghormati sesamanya, akhirnya para Kumpe yang tumbuh mengelilingi tempat itu dibiarkan hidup. Kumpe yang tumbuh secara egois itu terlihat mencolok diantara beberapa sekutunya yang mulai mengering dan sekarat.

Hidungku yang tidak begitu mancung menghirup udara pagi yang segar untuk mengeluarkan karbon danmendapat lebih banyak oksigen. Huffff... Kuhembuskan napas perlahan agar udara yang bersih itu menjamah tiap-tiap organ dalamku lebih lama lagi. Beberapa suara ibu-ibu mulai datang mendekat ke arahku. Seperti biasa, pemandangan ibu-ibu yang menelusuri hutan sambil membawa karung dan celurit sudah bukan hal asing buat kami. Mayoritas penduduk dusun ini memang pemelihara kambing, no sapi, no kerbau. Apalagi jerapah. Untuk membajak sawah, warga disini cukup mengandalkan tenaga dan cangkul. Mereka juga termasuk “pengarit” yang handal. Karena tidak butuh waktu lama untuk memenuhi karungnya dengan gumpalan rumput dan gulma untuk sarapan ternaknya. Bukan hanya kalangan para Ibu, bahkan anak-anak juga ikut mencari rumput. Saya dan teman-teman tahu bahwa mereka bukan anak yang bolos sekolah atau sedang libur sekolah. Tapi mereka, anak-anak usia SD dan SMP itu memang tidak sekolah. Ada yang drop out dan tidak melanjutkan. Tenaga dan keahlian mereka dalam mencari rumput juga makruh hukumnya jika diremehkan. Anak-anak itu memang sudah professional dan mampu bersaing dengan ibunya. Aku kagum dengan kerja keras mereka, sekaligus miris mengingat mereka yang harusnya memegang buku dan pena harus memegang celurit dan karung.

Sementara yang lain sudah mulai beraksi dengan senjatanya, ada satu anak lagi yang datang menyusul. Karena penasaran, aku hadang dia.

“Dik, kamu tidak sekolah?” Aku bertanya dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaanya. Tiba-tiba anak itu terkejut karena aku bertanya begitu mendadak dan tidak diantisipasi.

“Nggak, Mas...” jawabnya. Senyum yang tersungging di bibirnya nampak dipaksakan.

“Kenapa? Eh, kamu seharusnya sudah kelas berapa?” Aku bertanya dua kali agar tidak banyak menyita waktunya.

“Soalnya sekolahnya jauh, “ dia berpikir sebentar, “Mmmm... kelas satu SMP,” karena dia terburu-buru, aku membuka jalan dan membiarkan langkah kakinya yang kecil meninggalkanku. Aku memandang lekat dan membayangkan diriku sendiri.

Oh, sudah SMP, ya...

ЖжЖ

“Ayo cepat, Mad!” Inda nampak berlari kecil menuju arah kampung bersama Veni, Beni dan Aldo dengan barang bawaannya masing-masing. Dengan rambut yang masih basah karena baru mandi, aku bergerak secepat kilat memasukkan pakaian dan barangku ke dalam tas semasuk-masuknya.

“Karpet yang di atas juga dibawa, yah!” Sambung Aldo yang sudah kebagian jatah membawa bantal. Aku mengacungkan jempol tanda setuju. Tak lupa, aku juga pamit kepada kambing-kambing yang sedang asyik makan. Entah siapa yang memberi makan. Karena, kalau ada warga yang memberinya makan, kadang kami ikut membantu meski membantu dengan mengajaknya bicara. Kambing-kambing ini adalah bantuan dari Bank BRI. Sebagian untuk warga, dan sebagian untuk kami. Soal mencari rumput, kami masih menggunakan jasa pekerja. Hanya kalau sedang sempat, kami sendiri yang mencarikan rumput untuknya. Itung-itung sambil latihan.

Hari ini kami akan pulang ke asrama yang berada di Baturraden. Rasanya senang sekali, meski kadang ada rasa kurang nyaman karena harus meninggalkan kampung dengan berbagai macam hal baru yang aku temui. Beberapa penduduk yang sudah akrab dengan kami juga nampak keberatanmelihat kami berbondong-bondong masuk ke dalam mobil van berwarna biru yang ada gambar logo bersayap putih bertuliskan “Tut Wuri Handayani.” Ada yang berdiri di ambang pintu sambil memandangi kami seperti melihat anggota keluarganya yang hendak merantau,orang yang duduk berjemur di luar rumah juga memberi kesan yang sama. Aku dapat merasakan bagaimana rasanya ditinggal oleh teman atau sanak keluarga yang sempat menginap beberapa hari di rumah. Pasti ada rasa kehilangan, meski efeknya hanya sebentar.

Mesin mobil mulai dihidupkan, melalui jendela mobil, Inda dan Veni melambaikan tangan ke arah anak-anak kecil yang sedang bermain. Mereka hanya tersenyum lalu kembali bermain, tapi pandangannya lebih condong ke arah yang berada di dalam mobil. Ketika ada orang yang melewati mobil, aku hanya cukup mengangguk, tersenyum dan menggerakkan bibir tanpa suara yang kurang lebih artinya kami pergi dulu, Pak, Bu... Tapi tidak untuk orang yang satu ini, ia terlihat mendekati mobil sambil memikul dagangannya. Namanya Pak Darsim. Orangnya sangat familiar dan menyenangkan. Ia mengulurkan tangannya yang kurus panjang sesuai dengan postur tubuhnya melalui jendela mobil karena kami mengajaknya bersalaman. Awal perkenalan kami saat di pancuran tempat biasa kami mandi, karena beliau juga mandinya di sana karena tidak punya kamar mandi. Jadi sambil menunggu antrean, kadang kami berbincang.

“Jangan lupa main ke sini lagi, ya. Nanti saya kasih cilok lagi. Hahaha...” katanya sambil tertawa.

“Wah... Mantap itu, Man. Aku pasti akan ke sini lagi,” sahut Aldo yang memang porsi makannya besar. Oya, di kampung ini, kami memanggil orang yang lebih tua dengan panggilan “Pak” dan “Man”. Meski dicetak miring, bukan berarti bahasa Inggris. Tapi singkatan dari “Paman.”

Mobil semakin menjauh pelan-pelan. Penjual cilok itu mengangkat tangan say good bye lalu kembali melanjutkan langkahnya, mencari nafkah untuk tiga anak dan seorang istrinya.

ЖжЖ

Waw! Huaaa! Auw! Aih! Beberapa kali kami harus teriak dan heboh sendiri mengeluarkan suara terkejutnya masing-masing, meski kadang sengaja dibuat-buat. Perjalanan untuk pulang memang tidak boleh dianggap nyaman, sama seperti saat kami datang. Jalan itu memang jalan raya, tapi jika dilihat kondisinya aku boleh saja menyamakannya dengan sungaiyang airnya telah mengering. Banyak batu yang timbul tenggelam di sepanjang jalan. Membuat posisi mobil dan penghuninya terusik karena harus miring ke kiri-kanan mengikuti medan jalan dan kadang harus ngerem mendadak karena jalurnya memang curam. Saat datang, kendaraan harus naik dan gas pol, itupun harus siap jika berpotensi mogok. Lalu saat turun harus pelan-pelan dan siap jika ada injakan rem mendadak. Kami bertiga berpegangan erat pada jendela dan pintu karena van ini kursi di bagian belakangnya sudah dilepas sebab sudah rusak. Sekitar dua kilometer perjalanan, para penghuni mobil itu harus terus bergoyang ke sana ke mari seperti sedang ada gempa bumi hebat. Inda dan Veni yang duduk di bangku sebelah sopir nampak asyik sekali. Kepalanya bergoyang-goyang seperti sedang mengikuti irama lagu beritme tinggi.

“Kalian tahu impianku apa?” Kang Novi, yang duduk di kemudi membuka percakapan. Sambil meringis, kami serentak bertanya.

“Apa, Kang???”

“Mobil baru, ya Kang?” Sambung Beni yang berdiri tepat di belakangnya.

“Bukan... Buat apa mobil baru kalau jalannya begini. Ya jalan baru. Di aspal,” jawabnya tetap focus menyetir.

Oh, ya... Andai saja jalan ini di aspal, pasti warga kampung itu bisa lebih leluasa untuk melihat dunia luar. Perekonomian mereka juga pasti akan lebih lancar, telaga Kumpe juga mungkin akan lebih ramai. Hm? Siapa juga yang mau melihat telaga yang hampir tamat riwayatnya itu?

Yang paling susah, saat melewati jalan ini adalah ketika harus berpapasan dengan pengendara lain. Entah sepeda motor, apalagi sesama mobil. Karena kami lebih sering berpapasan dengan mobil yang sedang mogok dan enggan untuk naik ke atas.Terang saja sangat menghalangi jalan. Dan kali ini, korban tanjakan yang nampak di depan kami adalah mobil jenis pick-up yang baru dari pasar. Beberapa bahan rumah tangga dan jajanan pasar nampak menggunung di bak belakang, beberapa orang laki-laki menurunkan barang yang dirasa berat untuk mengurangi beban, lalu memanggulnya dan harus jalan kaki. Yang ibu-ibu juga mengikuti di belakang dengan cara menggendongnya. Satu orang masih berada di bak untuk menjaga barang agar tidak berjatuhan.

Terus, Mas... Hati-hati jangan terlalu minggir! Ya... terus... terus...!” Seorang pemuda mengaba-aba mobil kami yang sedang berusaha melewati separuh jalan yang tersisa. Di dalam mobil, aku memandang tepian tebing setinggi puluhan meter dengan ngeri. Kalau jatuh dan terpelosok ke situ, bagaimana? Aku mulai cemas dan berpikir yang tidak-tidak. Sejak kecil, aku memang bukan anak yang suka naik mobil. Aku lebih suka naik ojeg karena selain bisa mengibas-ibaskan rambut, aku selalu diijinkan jika ingin duduk di depan dan memposisikan diri seolah sebagai Pak Ojegnya meski kadang harus membuat si ojeg senewen karena aku mengendalikan stang sesuka hati dan berlawanan arah dengannya. Bahkan ketika tidak ada ojeg, aku lebih memilih jalan kaki, meski ujungnya minta di gendong juga. Akhirnya orang tuaku yang sangat aku sayangi dan menyayangi aku itu terpaksa menyetop bus dan membawa aku ikut serta. Biasanya aku meronta, tapi kalau ada iming-iming aku diam.

ЖжЖ

Sudah hampir satu jam perjalanan, mobil yang kami tumpangi sudah mulai jinak karena sudah masuk jalan yang beraspal dan halus. Aldo yang bertubuh paling besar sudah tergeletak tak sadarkan diri seperti beruang, sementara Beni terkantuk-kantuk, sesekali matanya terbuka untuk melihat hape, siapa tahu ada SMS masuk meski dari tadi aku tidak mendengar nada SMSnya berdering. Kadang beberapa orang memang begitu. Karena amat berharap ada pesan masuk dari seseorang, suara kucing saja bisa di anggapnya sebagai nada dering. Mungkin, itu yang disebut juga dengan istilah nada semu kali, ya??

Aku mendongakkan kepala untuk memastikan sudah sampai di mana perjalanan ini. Gunung Slamet yang menjulangtinggi tertutup awan putih sudah semakin dekat. Itu dia, di bawah kaki gunung ini asramaku berada. Tepatnya di sebuah desa bernama Ketenger kawasan wisata Baturraden. Karena sebagian gunung berselimut awan, pembakaran partikel lava yang mengeluarkan asap tebal tidak memanjakan mata kami. Meski kondisinya sedang siaga, kami tetap menganggap bahwa ini bagian dari alam yang patut dinikmati. Roda mobil kian melambat dan berhenti di depan gerbang berwarna hijau tua yang mulai berkarat. Seorang anak datang tergopoh-gopoh menuju gerbang yang masih tertutup. Untuk dapat dibuka, Ia harus mengangkat gerbang berkarat tersebut. Terdengar suara grek grek grek...

Aku yang sudah ingin mandi lalu berniat istirahat langsung mendorong pintu mobil untuk turun. Tapi kali ini ternyata pintunya tidak bisa dibuka. Rupanya macet lagi. Beni dan Aldo segera mengutak-atik bagian dalamnya yang rumit, tapi masih belum bisa dibuka. Untuk soal ini, kang Novi jagonya. Karena dia guruku, tidak mungkin aku memerintah secara langsung karenaitu tidak sopan. Untuk meminta tolong agar mau membukakan pintu, aku cukup bilang, “Wah... Macet lagi, kang, pintunya,” pancingku. Dia segera merespon dan... klek,! Pintu terbuka. Kami berhamburan keluar dengan keringat yang membekas di punggung karena suhu di dalam mobil memang panas. Hmm.... baunya sungguh alami.

Sejak pertamakali datang ke tempat ini sebulan yang lalu,aku memang sempat merasa aneh melihat bangunan asrama yang lebih mirip Balai Desa. Ada tiga bangunan disana. Yang di tengah difungsikan sebagai auditorium, sedang yang berada di kiri kanannya adalah kamar-kamar kami. Sebelah utara untuk cewek, dan yang selatan untuk kaumku. Aulanya berbentuk kotak, sedang kamar-kamar kami memanjang berderet-deret seperti kontrakan. Semuanya ada delapan kamar. Di bangunantengah atau aula, banyak tergantung banner dengan berbagai macamtulisan dan gambar. Yang paling menarik perhatianku dan beberapa tamu yang biasa berkunjung kesana adalah banner paling besar berwarna merah menyala yang berada di sisi selatan aula. Disitu banyak quote’s motifasi dari berbagai macam orang berikut gelar dan almamaternya.

“Kan Ku Lakukan Apa Yang Kau Katakan”

“Jangan Menyerah! Burung yang di Udara Saja Dikasih Rezeki, Apalagi Kita?”

“Kesuksesan Adalah Ketika Kita Bermanfaat Bagi Sesamanya”

Dan sebagainya...

Selain itu juga banyak banner organisasi. dari yang bersifat sosial, pendidikan, hingga keagamaan. Tapi dari banyaknya banner yang terpasang, ada sebuah nama yang mendominasi. Itu nama tempat kami belajar. Namanya Boarding School “Mbangun Desa.”

ЖжЖ

Konferensi Meja Kotak

Boarding School “Mbangun Desa” berdiri di atas sebuah persoalan para remaja yang harus putus sekolah dan memilih untuk bekerja, entah di Ibu Kota ataupun luar negeri. Pantaslah kalau awal kedatanganku di tempat ini disambut meriah oleh berbagai stiker dan banner yang memotivasi para generasi muda agar mampu hidup tanpa harus meninggalkan desa. Sekolah ini tahu betul soal permasalahan yang tengah dihadapi oleh para generasi muda pada umumnya sehingga salah satu salam khas tercipta…

“Yang Muda!”

“Mbangun Desa!”

“Yang Tua!”

“Banguuunnn!”

Ini merupakan pekikan sekaligus slogan sekolahku yang biasa disingkat dengan B. School, bisa samakan juga dengan be school. Memberi pengertian bahwa kami adalah anak-anak desa yang kurang beruntung harus tetap sekolah. B. School adalah sebuah layanan khusus yang menampung anak-anak miskin setingkat SMA. Kami tidak boleh menyerah hanya karena masalah ekonomi. Awal mendengar slogan semacam itu, aku sebenarnya tertawa. Aku berpikir, apa untungnya membangun desa, bukankah yang selama ini dicari banyak orang justru bekerja di kota seperti di kantoran hingga parlemen dan luar negeri? Menurutku itu lebih bergengsi dan sesuai dengan zaman. Ini bukan tempatku, aku merasa harus pulang dan melatih skill agar mampu bekerja di kota. Di desa aku tidak mungkin bisa maju.

Aku adalah seorang anak dari keluarga petani tulen. Meski hidup di desa dan sebagai anak seorang petani aku termasuk anak manja yang jarang berurusan dengan tanah. Kalaupun harus membantu orang tua di ladang, aku harus mengenakan seragam yang mampu memproteksi tubuh dari terkena tanah, bahan kimia, dan sengatan matahari. Seperti masker, tutup kepala, jaket lengan panjang, kaos tangan dan sepatu boot. Lengkap sudah apa yang dinamakan dengan over protective.

Soal ekonomi aku cenderung pas-pasan, beda jauh dengan pendidikanku yang sangat tertinggal. Di sekolah aku adalah anak yang bisa dibilang bodoh dan penakut. Aku bahkan takut dengan guru, ketakutanku sudah muncul ketika belum masuk sekolah dasar, yaitu ketika sudah mulai belajar mengaji di kampung lereng Dieng sana. Ketika melihat ustadzah yang memegang kayu kecil itu memukuli meja, entah kenapa aku yang merasa dipukuli. Karena teramat takutnya, aku sampai menutupi sekujur tubuh dengan sarung, tak peduli ditertawakan oleh teman-teman, asal aku merasa aman. Itu adalah pertahanan ter absurdku sepanjang zaman.

Sifatku yang penakut itu terus berkembang saat masuk SD. Terutama ketika aku sudah kelas empat. Kedatangan guru killer yang suka pilih kasih dengan beberapa murid yang cantik itu membuat aku serasa berada di neraka. Ketika masuk sekolah, yang aku inginkan justru masuk ke rumah, bertemu orang tua dan minta dipeluk. Rasanya nyaman sekali. Karena selalu merasa teraniaya, aku akhirnya memiliki teman curhat yang paling dekat, selalu diam mendengar dan setia berada di depan tempat dudukku.. Dia bukan golongan umat manusia, dia adalah meja. Meja itu memiliki lubang yang sejajar dengan mulutku, ketika aku sedang galau dan ketakutan kronis maka kumasukkan moncongku di fasilitas tersebut dan mulai berkicau.

“Papa... Mama... aku ingin pulang, aku takut sekali di sini. Agus... ayo kita main... Adikku lagi apa ya... pasti lagi nonton tivi... Lihat, Pak Guru itu sangat menakutkan,”

Kadang aku menjawab sendiri,

“Ayo pulang, nak. Nanti sore aja mainnya. Jangan takut, Mad. Santai saja...,” selalu begitu entah sampai berapa kali, aku juga sudah lupa apa yang ada di pikiran teman bangkuku saat kejadian tidak bermutu dan aneh itu berlangsung.

Dengan berbagai tekanan batin masa kecil yang kadang membuat aku merasa itu bukan aku, akhirnya kemampuanku dalam menyerap pelajaran menjadi terancam, terutama dalam hal matematika. Hal itu terbukti saat pelajaran terakhir selesai dan kelas siap dibubarkan. Agar bisa pulang, setiap anak harus menghafal perkalian sampai sama dengan 100. Beberapa anak-anak pintar mulai berebut posisi agar menjadi yang pertama pulang, bahkan Ibu Guru sampai mengatur anak-anak untuk berbaris karena peminatnya ternyata banyak. Sementara, dibangku tengah agak kebelakang sedikit, ada anak malang dan beberapa temannya yang mulai sibuk menghafal. Aku masuk golongan mereka.

“Madras, kamu sudah hafal?” Tanya entah siapa, aku lupa namanya. Ia nampak cemas.

“Tidak tahu. Udah kamu diam, aku lagi konsentrasi ini,” aku menjawab sambil berpikir bahwa aku bisa saja pulang sore.

Waktu berlalu, anak-anak yang diragukan kapasitas hafalnya itu mulai berkurang dan bisa pulang. Tidak diragukan lagi, kini tersisa satu orang. Itu aku. Beberapa kali aku harus merapatkan mata agar muncul cahaya putih yang membentuk angka-angka. Meski sudah diberi clue, aku masih saja salah sana, salah sini. Aku mulai ketakutan. Melihat anak kecil yang glagapan dan tidak bisa menyembunyikan ketakutannya, Ibu itu merasa kasihan dan mempersilakannya untuk pulang saja.

“Belajar yang rajin. Jangan kalah, donk sama yang lain. Oke, Mad?” Kata beliau menampakkan senyumnya yang mampu membuat aku merasa diperhatikan.

Sampai saat ini, aku masih ingat wajah dan nama Ibu Guru itu. Beliau adalah tipe guru paling sabar dan terbaik yang masih saya ingat. Namanya Ibu Marsini, lalu ada Pak Basir, guru agama yang tulisannya kecil tapi rapi dan orangnya tidak menakutkan.

ЖжЖ

Ini masih ceritaku ketika masih kecil...

Makin lama, keputusanku untuk segera angkat kaki dari sekolah semakin bulat. Aku tidak ingin dijewer lagi, disuruh berdiri lagi, disuruh pulang terakhir lagi, dan dapat nilai minus lagi. Aku ingin bebas seperti yang dihasutkan oleh temanku yang bernama Slamet.

“Seperti aku saja. Enak nggak sekolah. Bisa bermain sama yang lain,” hasutnya meyakinkan. Aku terpengaruh karena aku memang menginginkan itu. Aku sungguh termotivasi untuk hengkang. Lalu perubahan mulai terjadi. Aku berubah menjadi anak yang nakal.

Salah satu catatan nakalku adalah...

Tiap sore, aku dan keponakanku sering menyempatkan diri untuk menghadang anak-anak yang akan berwudlu di masjid yang letaknya berada tepat disebelah rumah kami. Entah apa yang kami pikirkan, kami sering menjahili mereka hingga menangis. Terutama anak-anak perempuan, saat melihat ada yang menangis, kami tertawa. Kadang kami mengusir mereka agar membasuh diri di tempat lain saja dan jangan dekat-dekat rumahku. Kalau ada yang melawan, aku dan adikku yang liar itu tak segan-segan untuk mengejarnya jika ada yang sampai lari. Beberapa hari kemudian, korban-korban tersebut kembali datang ke tempat kekuasaan kami dan membawa beberapa teman yang berbadan lebih besar. Kami berkelahi, kami kalah, kami menangis, dan akhirnya kami kapok beroperasi lagi.

“Kalau kamu menangis, itu pasti salah kamu!” Kata Ibu ketika aku mengadu bahwa ada anak yang nakal.

Kalau mengingat sekolahan, tak diragukan lagi aku mulai sering bolos. Bahkan aku sampai sembunyi di lemari agar tidak ketahuan. Jika ketahuan, aku langsung berangkat tapi hanya sampai di samping sekolahan. Di tempat yang aman tapi rawan itu, aku dan beberapa teman yang sudah bersekongkol biasanya bermain mobil-mobilan dan semacamnya sambil makan cemilan. Tak terasa ujian kenaikan kelas sudah dekat. Waktu berlalu hingga sampai pada kenaikan kelas menuju kelas lima. Aku tidak naik karena tidak ikut ujian disebabkan sakit selama sebulan akibat kecelakaan. Aku kesetrum. Ini merupakan kesempatanku untuk meminta restu orang tua agar diizinkan tidak sekolah. Meski tidak mengizinkan, aku tetap ngotot hingga akhirnya mereka menyerah. Aku bebas!

Untuk memperbaiki akhlakku yang sudah tidak terpuji. Orang tua memasukkanku ke pesantren. Di pesantren mereka masih berusaha agar aku mau sekolah lagi. Tapi aku tetap keukeuh dengan pendirian semula. “Aku nggak mau sekolah lagi,” begitu jawabku. Orang tua pasrah.

“Kalau kamu tidak mau sekolah, kamu akan mudah ditipu sama orang, Nak,” katanya memperingatkan.

Soal tipu menipu, aku sudah merasa kebal dan tidak akan mungkin bisa ditipu. Untuk menguatkan akurasi nasehat tersebut, aku bertanya juga kepada Mbak laundry yang sangat baik dan kadang memberiku makan gratis itu.

“Mbak, emang kalau tidak sekolah, nanti gampang ditipu orang, ya?” tanyaku polos. Mbak yang aku tanya mengiyakan. Ia juga menambahkan bahwa orang yang paling sering ketipu itu yang tidak sekolah. Banyak orang yang uangnya habis karena kena tipu, bla... bla... bla.... Mendengar itu, aku berpikir keras dengan cara sendiri agar tidak mudah tertipu. Daripada sekolah hanya agar tidak mudah ditipu, akhirnya aku punya cara yang aku anggap paling aman agar tidak disebut bodoh. Aku mulai membaca buku-buku umum di perpustakaan, termasuk komik. Karena komik ada gambarnya, aku justru keranjingan dengan benda menarik tersebut. Akhirnya, isi otakku banyak diisi oleh imajinasi super hero. Lalu aku menciptakan gank tongkat di mana setiap anak yang mau bermain denganku harus punya tongkat sendiri-sendiri.

Aku diam sebentar, beberapa pasang mata terarah kepadaku. Beberapa ada yang mulai terarah ke zona gelap karena mengantuk. Kelompok kami tidak begitu banyak, tapi juga tidak terlalu sedikit. Ada sekitar tigapuluhan anak yang sudah hampir tiga tahun bilangannya tetap segitu. Ada yang pulang dan tidak kembali lagi, lalu ada penggantinya yaitu anak baru. Rotasi jarum jam terdengar berdetak-detik, menandakan bahwa hari sudah gelap.

“Itu sedikit kisah masa kecilku dan tentang drop outku dari bangku sekolah. Hehe...” kataku sambil tertawa karena ketika mendengar ceritaku, mereka banyak yang tertawa.

“Sekarang kamu nyesel tidak?” Tanya Kang Adib, pembimbing kami yang sangat disegani.

“Nyesel, Kang. Soalnya aku masih kecil, jadi kurang tahu nilai terpenting dari pendidikan. Yang aku tahu agar tidak ditipu orang saja,” jawabku sambil menata posisi duduk karena mulai pegal. Seperti biasa, tiap habis makan malam kami selalu mengadakan forum. Meja yang diatur melingkar membuat komunikasi menjadi lebih transparan karena kami bisa melihat satu sama lain.

“Hari gini masih ada kata menyesal? Sudah bukan zamannya lagi seperti itu. Sekedar penyesalan tidak akan mengubah apapun, yang perlu kalian ingat adalah jangan pernah menyesal, tapi berpikirlah bahwa hal yang akan membuat menyesal harus dihindari,” katanya mengarahkan.

Kang Adib itu sosok pemikir yang kritis. Pertanyaannya mirip rumus ilmu balaghoh yang memiliki banyak cabang, lalu dari cabang ada cabangnya lagi. Ketika memberi pengajaran juga seperti itu, jadi semuanya bisa dikupas sampai cabang-cabang hingga akar-akarnya. Kadang beliau mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh kami satu persatu. Setelah itu beliau mulai menyimpulkan hasil dari semua jawaban kami dengan penambahan plus referensi dari berbagai sumber terkait.

Beberapa teman, termasuk aku sudah mulai terserang penyakit orang-orang tidak produktif. Yaitu mengantuk saat konferensi alias rapat. Kang Adib lalu memerintahkan Arif, anak bertubuh paling minimalis yang selalu menyebut huruf “f” jadi huruf “p” itu untuk mengomando slogan.

“Yang Muda!” Teriaknya sambil mengepalkan tangan ke atas.

“Mbangun Desa!” Balas kami ikut mengepalkan tangan ke atas. Yang hampir tak sadarkan diri terbangun dan ikut membalas.

“Yang Muda!” Ulangnya. Kami serentak menyahut lagi.

“Mbangun Desaaa!” Kini lebih keras.

“Yang Tua!”

“Banguuunnnn!”

ЖжЖ

“Zaman dahulu, ada seekor elang yang sejak masih telur sudah dierami oleh seekor ayam, lalu dia menetas dan tumbuh besar bersama ayam yang lain sehingga anak elang itu hidup layaknya seperti ayam. Suatu hari “ayam” itu melihat ada elang yang terbang dengan gagah dilangit. Karena teramat kagumnya, dia bertanya kepada ayam yang lain, “Siapakah dia yang gagah itu?” “Dia adalah elang, Penguasa langit.” Mendengar jawaban itu, makin kagumlah dia dengan yang namanya elang dan berangan-angan ingin bisa terbang dengan gagah perkasa seperti elang, padahal dia sendiri adalah elang, namun dia tidak tahu. Yang dia tahu, dia hanyalah seekor ayam yang tidak mungkin bisa terbang.Karena ketidaktahuannya itulah, akhirnya elang itu sampai matipun masih menganggap dirinya sebagai seekor ayam,” anak bertubuh gempal yang diberi nama Budi oleh orang tuanya itu sedang menceritakan kisah si elang yang merasa sebagai ayam melalui buku yang pernah dibacanya.

“Karena itu, sebagai anak desa, kita jangan mau kalah oleh keadaan. Apalagi jika keadaan itu membuat kita susah untuk berkembang. Agar tidak memiliki nasib seperti elang tadi, tiap manusia diciptakan oleh Tuhan dengan potensi. Bukan Tuhan yang akan menentukan masa depan, tapi diri kita sendiri. Kita mau jadi pejuang atau pecundang, semua ditentukan oleh diri sendiri. Sebagai manusia, kita diciptakan untuk menjadi pemimpin, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, baik berupa lingkungan, ataupunmasyarakat.”

Kami semua bertepuk tangan. Budi adalah rekan kami yang sudah cukup cakap dalam urusan memenej beberapa kegiatan yang diadakan, yang sederhana memimpin forum. Ia berasal dari Cilacap, umurnya baru 17 tahun tapi sudah bisa diandalkan. Aku berani menebak bahwa dia punya potensi untuk menjadi seorang pemimpin karena dia sudah berani menghandle beberapa kegiatan yang aku rasa tak mampu, atau yang belum mampu aku lakukan.

Sambil sesekali mencatat poin yang dirasa penting, kedua pasang mataku sudah terasa sangat berat. Aku paling tidak suka dengan godaan kasur dan selimut di kamar karena belum saatnya. Kadang handphone yang tidak boleh di bawa saat forum juga memiliki daya tarik tersendiri. Saat forum, kami tidak boleh membawa benda berdering itu karena akan sangat mengganggu dan melanggar etika diskusi. “Jangan ada forum di dalam forum.”

Saat kondisi labil itu mulai menyerang, biasanya terjadi saat baru melakukan aktifitas, salah satu penawar yang dibagikan secara estafet sudah tentu kopi dan teh panas. Makanya selalu ada relawan dadakan yang harus ke dapur untuk memasak air dan membuatkannya. Kalau ada cemilan seperti keripik atau roti, maka snack itu juga akan berpindah-pindah secara estafet. Semakin ke ujung semakin sedikit dan sedikit. Setidaknya itu mampu mengurangi kantuk kami semua.

“Bagaimana? Masih ngantuk?” Tanya Kang Adib sambil tertawa kecil. Kami semua menggeleng, yang lain mengerjapkan mata berusaha mengusir kantuk yang masih bersemayam. Lalu beliau mengaitkan kedua tangannya dan menjadikan siku sebagai penopang pundaknya, tanda bahwa beliau akan berbicara. Kami semua siap mencatat karena apa yang beliau katakan selalu penting dan memiliki daya magnet.

Innallȃha yughoyyirumȃ biqoumin, khattȃ yughoyyirumȃ biangfusihim. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga kaum itu mau merubah nasibnya sendiri,” beliau mengutip kata mutiara yang sangat indah dari kitab suci kami. “Jadi, kalian jangan pernah berharap nasibnya akan berubah jika hanya mengandalkan orang tua, teman, termasuk saya dan Kang Is. Bukankah kalian itu pemimpin diri kalian sendiri? Itu artinya, bahkan orang tua kalian tidak akan mampu mengubah nasib kalian. Boro-boro orang tua, Tuhan saja tidak mau,” jelasnya sambil tersenyum.

“Tapi bukan berarti keberadaan mereka dan semua teman-teman kalian di sini itu tidak berguna. Seperti yang bisa saya lakukan, saya hanya bisa membantu. Selanjutnya terserah kalian nantinya mau gimana,” beliau menatap kami satu persatu untuk memastikan bahwa kami semua paham. Setelah itu, biasanya beliau memberi ruang untuk bertanya atau barangkali ada yang mau menambahkan, bahkan memprotes jika merasa itu bertentangan.

Aku menggenggam gelas kopi untuk menghangatkan telapak tangan yang mulai dingin. Ada juga yang izin sebentar untuk mengambil jaket, sarung, bahkan selimut. Aku merasa bahwa temperatur udara malam di tempat ini agak susah ditebak. Kadang dingin, kadang sedang, bahkan kadang aku merasa kegerahan.

Selanjutnya beliau mulai menanyakan ada kabar apa di kampung yang baru dikunjungi selama seminggu ini. Salah satu dari tim kami harus melakukan presentasi di depan semuanya. Mereka semua yang hadir nampak antusias karena semua memang terlibat, hanya waktunya yang dibagi berdasar masing-masing kelompok dan data yang harus dikumpulkan. Kami sudah menunjuk Inda sebagai jubirnya...

ЖжЖ

Di sebuah dusun yang telah kami datangi, yaitu Pesawahan, keberadaan dusun tersebut secara geografis sangat setrategis jika disebut sebagai zonapertahanan dari dunia luar karena dari empat penjuru mata angin, kampung ini dikelilingi oleh benteng berupa bukit yang sebagian besar dipenuhi oleh banyaknya pohon yang tumbuh hingga lebih tepat jika disebut sebagai anak gunung, karena letak kampung tersebut berada di wilayah kaki Gunung Selamet bagian selatan.Selain akses transportasi yang bisa dibilang buruk dan terletak tidak begitu jauh hanya sekitar 15-20 KM dari pusat kota,namun perjalanan terasa lebih dari tigapuluh kilometer jika dihitung menurut waktujarak tempuh dengan kecepatan sedang sehingga orangpun akan enggan mampir ke kampung itu. Masyarakatpun lebih sering beraktifitas di lingkungansaja sebagai petani, penderes nira, beternakkambing, ikan dan pekerja/buruh. Minim peran intelektualitas. Lengkap sudah apa yang disebut dengan istilahprimitive di era modern seperti sekarang ini.

Adanya suatu desa atau kampung yang terpencil dan tertinggal sudah jadi polemik di negeri ini. Aku yang masih awam tentang hal itu hanya mampu mengikuti apa saja yang perlu dilakukan asal itu jelas tujuannya untuk apa. Otakku sudah di desain oleh orang tua agar selalu berhati-hati jika melakukan sesuatu, apalagi yang sifatnya sosial. Perlu kalian tahu, bapakku termasuk tipe melankolis-koleris sejati sehingga ketika ada sesuatu yang dirasa melenceng dari pendapatnya, maka beliau akan melakukan teori penentangan fersinya sendiri. Kalau tidak punya teori, beliau akan diam dan merasa prihatin.

Kali ini, giliran Veni yang angkat bicara. Ia berdiri ditengah-tengah kami menggantikan posisi Inda, lalu mulai membuka buku catatan yang diselipi beberapa lembar kertas HVS. Jika Inda menerangkanmelalui sudut pandang letak gografis dan sarana, Veni lebih kepada angka.

“Dari data yang teman-teman dapat, di sana terdapat Hutan Negara seluas kurang lebihnya 219 hektar. Sementara luas Hutan Rakyat 22 hektar,” lalu ia membuka selebaran yang diselipkan di halaman buku catatannya dan melanjutkan, “Penduduk di Pesawahan saat ini ada 317 jiwa dengan 97 kepala keluarga. Mayoritas beternak kambing dan sebagai petani. Sementara sebagian besar anak-anak muda, baik laki-laki maupun perempuan pergi ke luar kota untuk bekerja. Beberapa ada yang ke Kalimantan. Mungkin sampai di sini. Terima kasih...” ia hendak kembali ke tempat duduk, tapi Kang Adib menyetopnya.

“Jangan duduk dulu... Mungkin ada yang mau bertanya?” Katanya.

Arif, salah satu anak yang paling sering bertanya itu langsung mengangkat tangan.

“Mbak Peni, aku dan teman-teman memang sudah sebulan berada di sana. Tapi kami belum pernah mendata jumlah rumah yang ada. Mungkin kalian punya catatannya?”

“Oh... ada, ada. Mmm... ada 86 rumah, lalu masih ada dua rumah lagi yang sedang dibangun. Jadi kemungkinan jadi 89 rumah, eh 88 rumah” jelasnya agak gugup. Lalu Kang Adib mempersilakannya untuk segera duduk. Kini giliran Roif yang maju ke depan.

Saat dia sedang siap mempresentasikan, Kang Adib bertanya dengan memasang ekspresi bingung.

“Kamu mau ngapain berdiri di situ?” Candanya dengan muka serius. Roif mendadak seperti orang ling-lung hingga membuat semua yang ada di situ tertawa. Seperti biasa, untuk mencairkan suasana agar tidak menjenuhkan, beliau kadang sengaja membuat joke.

“Mau memberikan laporan, Kang,” ia menjawab dengan senyum yang tidak meyakinkan terbentuk di bawah kumisnya yang tipis. Dari seluruh penghuni asrama, dia adalah satu-satunya yang berkumis. Bukan karena sudah tua, tapi hormon kelaki-lakiannya nampaknya lebih tertarik untuk berkumpul di bagian tersebut.

“Gitu, ya? Monggo...,” beliau mempersilakan sambil terkekeh.

Setelah menggaruk-garuk kepalanya, Roif mulai bicara.

“Terima kasih, Kang. Hehe... Jadi, dari data yang sudah berhasil teman-teman kumpulkan. Kali ini saya akan melaporkan dari sisi pendidikan yang ada di sana. Saat ini, ada 15 warga yang belum pernah makan bangku sekolahan, ini nyata. Jangan terkejut, teman-teman” ia sering menjelaskan sesuatu dengan gaya bahasanya sendiri. Tangannya terus bergerak-gerak seperti orang sedang pengajian, ”Lalu yang sedang berjuang, maksudnya sedang sekolah, untuk kalangan merah putih alias SD ada 48 biji, Paud 24 benih,” ia menghentikan gerakan bibirnya yang licin itu karena mendadak ada yang mengangkat tangan. Namanya Yuli. Itu dia, dia adalah tipe penanya paling kritis yang saya kenal di situ.

“Kalau setiap kamu bicara bahasanya aneh begitu, apa teman yang lain paham? Coba terangkan seadanya saja. Karena menurut saya hanya akan menyita waktu. Cukup itu saja, maaf, looo...” protesnya. Semantara Kang Adib hanya senyum-senyum mendengarkan.

Roif mengangguk, lalu melanjutkan lagi tanpa merubah sama sekali bahasanya, “Matur tengkyu, mbak. Nah, dari benih dan biji tersebut tadi, yang sudah mulai tumbuh menjadi biru ada 2 tunas. Tapi sayangnya, yang sudah ke level abu-abu ternyata nihil. Oya, dengarkan ini. Saya dan teman-teman menemukan rekor tertinggi dari semua angka yang ada,” ia membolak-balik bukunya yang lusuh kecoklatan seperti habis dikubur. Aku yang sebagai timnya juga ikut penasaran sama seperti yang lain. Ada rekor apa sih? Ah, ono-ono wae cah iki.

“Dan angka tertinggi diraih oleh yang terjangkit penuh olehphytophthora infestans! Ada 108 tanaman yang gagal panen!” Suaranya meninggi seperti demonstran yang sedang menuntut kenaikan harga kentang disebabkan masuknya kentang impor dari China. Yang disebut dengan angka besar tadi maksudnya adalah yang drop out dari bangku sekolah. Roif dikalangan teman-teman B. School memang dikenal sebagai anak yang paling suka bicara dengan gaya bahasa yang penuh dengan keanehan dan kadang ketidaknyambungan namun bisa memeriahkan forum. Bukan hanya bisa membuat kami tertawa dan mengikuti instruksinya, ia juga akan membuat para mahasiswa mengikuti suaranya. Mengikuti teriakannya yang menyala-nyala dalam kepulan asap dan percikan bara.

Setelah laporan dari tim kami selesai, Kang Adib menatap kami semua sambil berkata.

“Baik. Setelah mendengar laporan dan keterangan dari teman-teman semua, saya ingin kalian melakukan sesuatu di kampung itu.”

ЖжЖ

Jangan Garfield

Siangitu aku merasa kegerahan mungkin karena belum cukup beradaptasi dengan udara di Baturraden yang sebenarnya agak dingin dan sejuk. Beberapa teman sudah maklum karena habitat asalku ada di tempat yang menurut beberapa orang “sangat dingin”. Untuk mendapatkan kesegaran, aku harus sering minum air putih yang sudah didiamkan beberapa menit hingga beberapa jam dalam lemari es. Jika sedang ingin minum teh, kopi, hingga susu, aku biasa membekukannya terlebih dahulu agar lebih segar. Keuntungannya adalah lebih awet, bukan karena membeku lalu bisa diminum sedikit-sedikit tapi teman-teman kurang menyukai seleraku sehingga malas untuk meminta.

Sambil duduk santai di gazebo berbahan dasar bambu yang terletak disebelah barat auditorium, aku mengamati para mas-mas dan mbakyu-mbakyu yang sedang sibuk keluar masuk dapur. Mereka adalah suruhan dari para leader yang terjadwal pada hari itu. Tugas leader adalah memimpin semua penghuni B. School dari segala aktifitas, mulai dari bersih-bersih, mencuci piring, memasak, hingga jadi imam sholat. Jika ada ketidakberesan selama sehari itu, maka semua konsekwensinya harus ditanggung para leader yang memimpin. Kebetulan siang ini mereka sedang sibuk di dapur untuk persiapan makan siang, untuk urusan masakan aku lebih berharap pada satu anak yang berpostur agak tinggi yang sedang keluar masuk dapur. Namanya Syukur. Meski dari golongan kaum maskulin, tapi kepiawaiannya dalam memasak tak bisa diragukan, bahkan banyak yang memfavoritkan dia sebagai kokinya B. School. Jadi, aku maklum saja kalau anaknya agak feminis dan paling betah kalau diajak curhat. Aku lebih suka menyebutnya dengan istilah berbagi.

Di bagian lain, terletak di dalam kamar dengan angka nomor 1 yang ditempel di depan pintu yang ditutup rapat ada suara berisik hingga dua pasang jendelanya bergetar-getar. Siapa lagi pelakunya kalau bukan anak dari Kebumen yang biasa dipanggil Diwan. Hampir setiap hari, jika waktu sedang kondusif dan sedang tidak ada tamu, maka yang dia pegang adalah stik pemukul Drum. Dengan memasang headset yang rapat menutup dua lubang kupingnya, gerakan tangannya mengikuti dentuman yang didengarnya. Musik favoritnya Avenged Sevenfold yang sangat berisik. Aku bukanlah penyuka musik rock, tapi aku lebih cenderung ke slow rock dan lagu pop. Jika sedang moody, aku juga mendengarkan lagu dangdut yang sudah tidak alami itu, namanya Dangdut Koplo.

Mendengar ada suara di gazebo sebelah utara, aku mendongakkan kepala untuk melihat siapa saja yang ada di sana. Oh, ternyata ada Veni, teman yang pernah satu tim denganku saat di Pesawahan. Dia termasuk anak yang paling ceria, sesuai dengan nama akun sosialnya yang diakhiri nama “yang cellalue ceriyya.” Pantaslah kalau tubuhnya selalu subur berkembang tidak seperti sosok yang sedang bersamanya. Anak yang bertubuh kurus itu adalah Alya. Tubuhnya kecil dan kurus, tapi dia juga tipe ceria meski kapasitasnya masih kalah jauh dengan Veni. Aku bahkan pernah bosan mendengar Veni sering tertawa hehehe didepanku. Sementara, Alya senyumnya cenderung irit karena watak dasarnya memangkalem, sederhana, tenang dan nampak dewasa. Sifatnya yang elegan dan mudah akrab dengan siapa saja membuatku suka dengan gayanya.

Tak lama menunggu, suara dentang piring dan gelas yang beradu sudah terdengar dan menggoda perutku yang sudah mulai lapar. Melihat kuda-kudaku yang siap menyambut makan siang, sang koki datang menghampiriku dan mengajak aku duduk lagi.

“Nasinya belum matang, bro. Aku juga sudah lapar,” katanya sambil merebahkan diri di atas alas bambu. Lalu ia bangkit dan bersandar pada tiang yang masih dari bambu. Aku tahu, dia biasanya akan curhat. Kalau beruntung akan berbagi pengetahuan atau pengalaman karena dia senior yang sudah hampir tiga tahun di B. School dan pernah menjabat sebagai lurah. Kalian belum aku beri tahu kalau sistem struktur di tempat kami merupakan replikasi dari pemerintahan sebuah desa. Makanya tak ada istilah ketua kelas, ketua kamar atau asrama. Yang ada adalah lurah, sekdes, kepala desa dan sebagainya sesuai dengan nama belakangnya, “Mbangun Desa.” Aturan tersebut dibuat untuk melatih kami saat sudah terjun di desanya masing-masing.

“Mad, kamu sudah kepikiran apa yang akan dilakukan di Pesawahan?” Tanyanya.

“Belum. Soalnya aku belum tahu benar kultur masyarakatnya seperti apa. Paling baru sekedar perkiraan saja. Belum berani menyimpulkan. Kalau kamu?” Aku balik bertanya.

“ Kalau dilihat dari persoalannya. Mungkin bisa dimulai dari membangun sekolah kali, ya? Kan, disana tidak ada sekolah sama sekali. Iya, kan?” Usulnya sungguh luar biasa, aku sampai tertawa. Dia juga tertawa. Kami sama-sama sadar bahwa itu tidak mungkin. Kemudian kami mulai ngelantur membicarakan sarana yang belum ada di kampung tersebut.

“WC umum juga bisa. Kalau posyandu atau klinik, Casrono mungkin bisa diandalkan,” sambungku ketika melihat anak yang sedang dibicarakan terlihat keluar dari kamar, lalu menuju kran untuk mengambil air wudlu.

“Jual bensin juga bisa. Aldo mungkin bisa diandalkan,” kali ini Syukur menyebut nama anak bertubuh lebaryang tengah asyik mendengkur di kamar. Kami berdua ngakak.

Soal dua nama yang baru disebut, Casrono adalah makhluk paling higienis dari tanah Brebes yang hidup berdampingan dengan kami. Semantara Aldo, dia punya jabatan sebagai manajer Emdeha, nama prodak sandal buatan kami yang hasil dari penjualan digunakan untuk biaya operasional sekolah kami semua, termasuk logistik. Dia juga masih satu habitat dengan Rono.

“Entah apa yang akan dilakukan, kita tunggu saja instruksi dari Kang Adib dan Kang Is. Kadang nggak enak juga, ya. Selalu minta diarahkan oleh beliau,” kalimat asing yang meluncur dari bibirnya belum mampu aku mengerti sepenuhnya. Yang aku tahu, bukankah mereka adalah pembimbing? Kang Adib sebagai pendiri sekaligus sebagai tutor, sedangkan Kang Is secara formal menjabat sebagai kepala sekolah. Sudah beberapa hari ini Kang Is belum kembali ke B. School karena ada acara di Semarang. Biasanya menyangkut soal guru karena beliau termasuk guru yang berprestasi.

ЖжЖ

Akhirnya momen yang kami tunggu tiba juga, yaitu makan siang. Komah yang tengah sibuk membagikan sayur segera mempercepat temponya yang kadang lambat, geraknya lembut seperti orangnya.

“Sabar, donk. Jangan kesusu, nati juga kebagian semua,” ia menatap tajam ke arah Beni yang sudah ketahuan betapa laparnya dia. Aku memang sempat heran ketika berada di sini, kenapa perutku mudah sekali lapar sama seperti yang lain. Tapi setelah diselidiki tanpa bersusah payah, masalahnya sangat sederhana. Porsi makannya memang tidak seberapa, bahkan jika diukur menurut kapasitas perut kami, porsinya bisa dibilang hanya setengah. Untuk beberapa waktu, kadang hanya seperempat porsi. Tapi jika sedang beruntung, kami bisa merasa sangat kenyang, hal itu hanya bisa ditemui saat di asrama sedang diadakan sebuah acara atau saat ada kiriman makanan dari relawan. Menyangkut rasa lapar, adikku si Roif yang absurd itu sampai membuat status di akun sosialnya: “Aku selalu kencoten (kelaparan) di sini.”

Ketika wabah lapar menyerang, aku jadi ingat kata-kata Kang Is yang pernah mengatakan bahwa ketika kita lapar perutnya, jika jiwa kita diberi makan maka rasa lapar itu akan terlupakan, bahkan bisa membuat kita merasa kenyang. Manusia sekarang, selalu yang dipikirkan soal mengisi perut hingga melupakan jiwanya yang kosong. Padahal yang terpenting dari segala soal makanan adalah memberi jiwa kita makanan. Makanan yang bergizi. Yang mampu membuat jiwa kita berkembang menjadi lebih sehat, karena banyak makan hanya akan membuat hati dan jiwa mengeras.

“Banyak orang hebat yang sedikit makan. Dengan merasa lapar, maka kita jadi mengerti dan ikut merasakan bagaimana rasanya jadi orang yang kelaparan. Masih banyak dari saudara kita yang masih kekurangan makanan. Kita masih beruntung besok mau makan sayur jenis apa, sementara masih ada orang yang berpikir besok apa yang bisa dimakan, adakah yang bisa dimakan. Nabi kita sudah memberikan contoh bahwa makan sedikit itu baik. Satu porsi bisa untuk dua orang, dua porsi bisa untuk empat orang, dan empat porsi bisa untuk delapan orang. Jangan takut kelaparan, lah. Kalian, kan masih bisa makan sehari tiga kali, mbok? Nanti lama-lama juga akan terbiasa.” Katanya di suatu waktu.

Kini, semua piring sudah terisi lengkap dan sama rata. Menu hari ini adalah oseng tempe yang diiris kecil-kecil dengan campuran kecambah. Aku paling suka kecambah, karena merupakan gudangnya protein apalagi kalau masih mentah atau setengah matang.

Sebelum siap melahap makan siang bersama, aku mengajukan pertanyaan kepada anak-anak cewek yang biasa makan lebih sedikit ketimbang para cowok.

“Ada yang nasinya kebanyakan? Piringku siap menampung,” kataku dengan tatapan mengintimidasi agar ada yang merasa malu melihat porsinya seimbang denganku. Ketika aku berhasil mendapat jarahan dari teman cewek yang baik hati lagi pemurah, beberapa teman cowok yang lain kadang ikutan ingin mendapat bagian dengan mengicar piring yang lain.

Dari beberapa kaum wanita yang ada di situ, masih ada satu lagi yang paling spesial dan jadi hiburan kami. Sudah tidak diragukan lagi, saat kami sedang makan dia akan datang dengan langkah yang anggun dan elegan. Meski makannya paling sedikit, tapi ia terlihat gemuk dan kian hari kian terlihat gemuk saja. Makhluk ciptaaan Tuhan yang cantik itu bernama kokom. Dia memiliki ekor yang indah karena dia adalah kucing. Bulunya lembut berwarna pirang kombinasi warna putih dan hitam, seperti bule dari Amerika Serikat yang memakai busana motif polkadot. Yang kami tunggu dari betina manja ini adalah isi di perutnya. Dia sedang hamil dan tidak ada yang tahu siapa yang menghamilinya, karena yang saya tahu tiap malam kadang sampai ada tiga kucing jantan yang berusaha menggoda.. Akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa kokom diam-diam memiliki tiga ekor suami.

ЖжЖ

Bapakku pernah bercerita ketika aku masih berada di dalam perut Ibu, untuk memenuhi permintaan Ibu yang sedang ngidam, Bapak sampai rela jalan kaki selama dua jam hanya untuk memenuhi keinginannya. Hebat sekali bapakku itu. Lalu ketika sudah sampai pasar, ternyata pesanan yang diinginkan Ibu memang susah didapat. Lalu beliau menanyakan kepada orang-orang dimana tempat penjual makanan yang dinamakan Mie Ayam berada. Sambil terus terbayang Ibu yang sedang mengandung calon anak pertamanya, Ayah terus melangkahkan kakinya mengikuti apa kata orang yang ditanya meski beberapa jawaban orang yang ditanya itu hanya asal nebak saja. Hari mulai gelap, dirumah, Ibu sudah mulai khawatir dengan suaminya yang belum juga pulang. Ketika adzan maghrib hampir berkumandang, Bapak akhirnya pulang dengan membawa plastik warna hitam yang ada mie di dalamnya. Dengan bahagianya Ibu segera membuka bungkusan tersebut, benar, ada mienya, tapi yang Ibu inginkan berupa potongan daging ayam justru benda-benda bulat yang disebut bakso. Lalu Bapak mengatakan bahwa ada hal aneh yang terjadi dengan mie ayam. Selain saat itu penjual mie ayam belum sebanyak sekarang, tapi penjual yang biasanya menyediakan salah satu menu favoritku sekarang itu justru pada tutup, padahal pada hari-hari biasa, dua sejoli ini sering makan mie ayam di tempat tersebut. Kadang berpindah-pindah tempat tanpa harus repot mencari, apalagi bertanya pada orang-orang. Akhirnya, mie ayam itu harus digantikan bakso dan Ibu menikmatinya. Kata Ibu, melihat Bapak pulang saja rasanya sudah sangat senang.

ЖжЖ

Beda orang, mungkin beda juga model ngidamnya seekor kucing. Semakin buncit perutnya, kokom nampak jadi lebih agresif dan gampang marah. Aku yang kadang membelai saat dia mendekat pun jadi antipati karena dia tak segan untuk mencakar jika merasa tidak nyaman. Yang lebih parah ketika calon ibu kucing itu mengacak-acak makan siang kami yang sudah ditata rapidi atas meja dan tinggal dinikmati, padahal saat itu ada menu spesial berupa daging ayam Kentucky dan krupuk udang. Karena perubahan itu, ketika dia akan memasuki kamar aku harus mengusir dan menutup pintu karena merasa terganggu dan merasa malas berurusan dengannya. Kokom yang kadang mengeong ingin dibukakan pintu, saat itu hanya diam dan pergi mencari tempat yang lain. Pergi sana, dasar nakal! Mau jadi seperti apa anakmu nanti, hush, hush!

Berlalunya waktu, akhirnya waktu yang kami tunggu tiba. Kokom melahirkan! Kami sangat bahagia dan berebut ingin melihat seperti apa bentuk anaknya. Dengan beralas kaos warna putih yang sepertinya milik Kang Is, Kokom dan ketiga bayinya yang sangat lucu-lucu itu tengah berkenalan satu sama lain. Ah, lihat itu. Ekornya normal semua sama seperti ibunya. Aku paling senang ketika melihat ekor ketiganya tidak ada yang cacat atau pendek seperti kucing pada umumnya. Hal yang paling saya suka dari kucing salah satunya adalah ekor, ketika ekornya panjang apalagi berbulu tebal, maka makin menariklah dia. Bagi para perempuan dari kalangan manusia, mungkin bisa diibaratkan lambang kecantikan.

“Itu, yang satu itu mirip Garfield!” Kata anak berkaca mata minus yang tiba-tiba sudah berada dibelakangku, jari telunjuknya yang panjang menunjuk ke arah bayi Kokom yang warna bulunya mirip tokoh kucing animasi tivi. Tidak diragukan lagi, disamping anak yang bernama Elma itu muncullah kembarannya, namanya Indah.

“Uh... imut bangettt,” puji Indah dengan tatapan bagai seorang ibu muda yang ingin mengadopsi seorang anak.

Sambil cekikikan, Duo Brebes yang sama-sama manis itu paling betah melihat gerak-gerik tiga bayi lucu yang sekarang sudah punya rumah hasil kerja kerasa Rono yang terbuat dari kardus bekas minyak goreng. Mereka berdua, Elma dan Indah sebetulnya tidak ada ikatan persaudaraan sedarah, tapi karena terlalu akrab, mereka lebih mirip dua paket saudara kembar siam. Di mana ada Elma, di situ ada Indah dan sebaliknya. Ibarat kepala dan ekor akan selalu bersama ke manapun perginya.

Karena aku juga suka dengan karakter bandel yang baernama Garfield, akhirnya aku memutuskan untuk memberi salah satu kucing unyu tersebut dengan nama ke Barat-baratan. Tapi, memberi nama ternyata tidaklah mudah, karena aku harus berseteru dulu dengan Rono yang sudah berjasa membuatkan rumah. Belum lagi dukungan dari anak yang lucu dan menggemaskan bernama Aura sudah berhasil dikantongi.

“Jangan ikut campur, aku sudah memberi nama ketiganya sekaligus,” katanya. Aura juga bilang begitu.

“Iya, namanya udah ada. Om udah nggak boleh kasih nama,” katanya lugu. Hihhh.. ingin aku cubit pipi anak ini.

“Yah, paling namanya tidak bagus,” aku memprotes. Kalau dia yang memberi nama, sudah aku tebak pasti aku tidak suka, dan ternyata benar.

“Namanya, Upin, Ipin dan Apin.”

Lihat, memberi nama saja harus pinjam dari tetangga. Aku kecewa…

ЖжЖ

Rencana Menjelang Ramadhan

Siang itu, dengan berbekal karung dan clurit, aku dan Aweng menuju ke hutan untuk sebuah misi kehewanan. Hari itu aku akan ngarit untuk yang pertamakalinya sepanjang hidupku. Meski belum pernah memutilasi rumput yang tak berdaya, setidaknya aku sudah tahu bagaimana caranya menggunakan senjata yang kini sedang berada dalam genggaman. Asramaku yang terletak di pinggiran desa dan dekat dengan hutan membuat kami harus belajar bagaimana caranya memelihara kambing, kelinci, dan marmut yang paling ditakuti oleh Doraemon. Kenapa pula aku bawa-bawa nama kucing favorit komah itu? ah, sudahlah tidak apa-apa.

Setelah menyeberang jalan raya yang sekarang sedang jadi jalur evakuasi jika gunung Slamet memuntahkan lava, diseberang jalan itu hutan tempat kami akan mencari rumput menyambut. Aweng yang berjalan di depan sejak tadi diam saja. Dia akan bicara jika ditanya, kalau tidak ditanya kadang hanya senyum-senyum saja. Itulah Aweng, anak bertubuh paling tinggi dan besar kelahiran Kebumen yang irit bicara.

“Masih jauh, Weng?”

“Udah sampai. Kita biasanya cari rumput di sini,” ia meletakkan karungnya dan mulai mencari lokasi yang tepat.

Melihat kondisi rumput yang sangat berbeda dengan rumput di tempat tinggalku, aku terdiam beberapa saat dan mulai cemas. Kepalaku menengok ke segala arah tapi bentuk rumputnya sama saja.

“Ini, rumputnya?” Tanyaku seperti orang yang tidak pernah melihat rumput. Aweng menoleh ke arahku sambil tersenyum seperti biasa.

“Iya, kenapa sih?” Tanyanya.

“Kok jarang banget, ya? Kalau di tempatku, ini mah bukan rumput,” kataku sambil menghalau nyamuk yang mulai mengerubuti kakiku. Melihat ekspresinya yang penuh tanda tanya, aku segera menjelaskan.

“Di tempatku, rumput kayak gini nggak buat makanan ternak, tapi cuman jadi hiasan tanah dan diinjak-injak. Berarti selama ini, yang kamu babat rumput yang seperti ini?” tanyaku heran sambil menghalau nyamuk yang mulai datang mengerubuti karena kebetulan darahku O.

“Iya. Lha emang rumput Dieng itu seperti apa, sih?” Ia nampak penasaran.

Sebagai orang yang belum beradaptasi dan masih gumunan (heran)aku menjelaskan kalau rumput di tempatku itu ya rumput yang tinggi-tinggi, yang bisa diikat seperti sayuran dan berakar tunggal alias tidak merambat ke mana-mana. Tingginya bisa sampai lutut orang dewasa, bahkan lebih, sedang disini sampai betis saja rasanya sudah berat. Sambil memotong rumput seadanya,aku masih merasa belum puas dan kurang semangat jika rumputnya seperti itu. setelah aku berkeliling, ternyata rumput yang saya inginkan memang susah, kalaupun ada memang tidak sebanyak yang ada di daerahku.

Tak seberapa lama, mataku menangkap beberapa rombongan rumput yang tumbuh teratur di tebing. Aku segara ke sana dan mulai memotongnya, tapi tiba-tiba Aweng terkejut dan menyuruhku untuk menghentikan pembabatan. Tak tahu aku sudah masuk kebun milik seseorang dan yang aku kira rumput ternyata jenis sayuran.

ЖжЖ

Aweng kembali ke asrama memanggul karung besar dengan isi rumput yang padat berisi, sedangkan aku kembali ke asrama dengan karung kecil dan terlihat keropos di dalamnya. Sambil mendengus-dengus karena lelah, kami meletakkan rumput itu disamping kandang dan mulai memberi kambing makan. Herbivora yang berjumlah tiga ekor itu langsung mengeluarkan kepalanya dan segera makan dengan lahap. Saat aku perhatikan, tubuh kambing-kambing itu ternyata kurus semua.

“Saat kami beli dua minggu lalu memang kurus, Mad. Mungkin sebentar lagi bisa gemuk,” jelas Aweng sambil mengusap keringat yang mengalir dari keningnya.

“Kok belinya yang kurus? Murah, ya?” Selidikku.

“Iya. Selain murah, rencananya kalau dirasa sudah lebih gemuk, akan kita jual lagi,” katanya sambil hendak meninggalkanku, “Aku mandi dulu, ya. Sebelum airnya dipakai sama yang lain,” lanjutnya kabur ke arah kamar. Soal mandi kami memang harus antri dengan yang lain. Selain antri kamar mandi, kami juga antri air. Jadi kalau air sudah dipakai untuk mandi, kadang kami harus menunggu air selanjutnya penuh baru bisa mandi.

Karena kandang kambing bersebelahan dengan gazebo, aku menyempatkan diri untuk istirahat di situ sekalian menyegarkan diri melalui semilir angin yang bertiup sambil menggaruk-garuk kaki yang gatal. Wow, ternyata gigitan nyamuk tadi meninggalkan bentol-bentol besar seperti bentolan orang terkena semacam alergi pada kulit. Jika teman-teman melihat bekas tusukan probosis nyamuk fersi aku dan Roif yang dramatis, mereka pasti akan heran dan bergidik ngeri, mereka sering mengira bahwa aku terkena ulat. Untuk beberapa kondisi justru kami bangga dan menunjukkan kepada teman-teman sebagai pengetahuan.

“Yang membuatku bentol-bentol begini namanya antikoagulan, atau bisa disebut dengan air liurnya Ibu nyamuk. Karena bapak nyamuk tidak akan menggigit,” kataku suatu waktu.

Rasa lelah yang dimanjakan oleh suasana alam yang nyaman membuatku merasa ngantuk. Ketika hampir mendekati kondisi delta, tiba-tiba aku merasa ada goncangan jejak kaki tengah menginjak alas tempatku terbaring menimbulkan suara gemeletak. Aku terbangun mendadak dan terduduk karena goncangan kecil itu, kebetulan kondisi alam bawah sadarku sedang melibatkan aku dalam mimpi sepintas dengan menjadikan aku sebagai orang yang hampir jatuh dari sepeda ditengah-tengah kobaran api yang membakar bambu sehingga mengeluarkan suara gemeletak hebat.

“Lho? Kok, malah bangun, Mad?” Entah siapa yang bertanya, aku masih agak shock. Kulihat ada dua anak cewek, yang satu bernama Utfi, dan yang memegang laptop namanya Anna. Keduanya dari Banyumas. Aku tahu kedatangan mereka ke sini tidak lain tidak bukan untuk mencari sinyal internet. Sinyal hot spot di gazebo ini memang lebih kuat sehingga menjadi tempat favorit kami untuk browsing dikala senggang.

Perkenalkan, Utfi adalah teman yang paling asik jika diajak ngobrol. Obrolannya tidak jauh-jauh dari kehidupan pribadinya. Menurutku dia adalah anak yang paling terbuka. Kalau dijahili juga susah marah malah banyak ketawanya, makanya aku dan beberapa teman akan dibuat betah jika sedang kumpul dengannya. Meski dia tergolong cantik, tapi soal penampilan sungguh amat sederhana karena tidak bisa dandan, apalagi narsis atau istilah sekarang, selfie. Foto-fotonya jarang ada yang bagus, seperti di ambil tanpa sengaja. Kalau Anna beda lagi, selain menggemari selfie, dia lebih suka ngobrol tentang kegiatan dan keadaan di sekitarnya. Pertamakali kenal dengannya dia terlihat jutek, namun setelah kenal lebih dekat ternyata orangnya asik dan suka bertanya. Jika Utfi suka download film drama Korea dan lagu slow, Anna lebih suka googling tentang bagaimana mengatasi jerawat membandel yang menimpanya.

“Mad, kamu tahu caranya ngilangin jerawat?” Sambil menekan jerawatnya, ia bertanya. Untuk pertanyaan ini dia sudah salah orang karena aku hampir tidak pernah jerawatan.

Tapi, ada saja pertanyaan lain.

“Kalau di daerahmu, sih. Harga kentang nyampe berapa?”

ЖжЖ

Adzan maghrib berkumandang, muadzinnya berupa sosok tinggi hitam bernama Fandi. Daya tarik suaranya saat itu adalah intonasinya yang masih acakadul tak beraturan sehingga memicu beberapa orang yang lemah imannya untuk tertawa. Sebelum masuk ke B. School hidupnya banyak dihabiskan di laut sehingga kurang mengenal apakah sholat menjadi batal jika auratnya terbuka.Di B. School siapapun boleh unjuk suara, bahkan yang paling tidak bisa harus mau sebagai bentuk pembelajaran. Maklum, beberapa anak yang belajar di sini memang masih miskin ilmu agama. Selain adzan, kami juga harus mau menjadi imam sholat meski harus melewati sentuhan tangan-tangan yang mendorongnya ke baris terdepan. Mungkin karena faktor grogi, sempat ada yang sampai tidak membaca fatihah dan langsung melompat ke surat al-Ikhlas.

“Yang namanya sedang belajar, salah itu ya sudah umum. Jadi jangan heran. Bedanya orang yang sedang belajar dan yang tidak belajar itu, jika orang sedang belajar, salahpun bisa dapat pahala karena sedang berjuang untuk benar,” kata Kang Is usai jama’ah sholat maghrib dan akan segera membaca al-Qur’an bersama-sama yang biasanya di pimpin oleh Kang Novi. Kalau Kang Is lebih fokus pada pendidikan dan character building, Kang Novi lebih pada keagamaan yang ada kaitan erat dengan ibadah. Melalui beliau, aku akhirnya banyak hafal beberapa do’a dan hukum agama.

Sementara kami membaca al-Qur’an, anak-anak lain yang berada di sebuah bangunan besar yang terletak di sebelah utara asrama terdengar sedang menyanyikan lagu-lagu rohani. Meski tetangga sebelah kami beda keyakinan, kami bersahabat dan jika memiliki acara, kami juga saling undang-mengundang. Kalau sedang tidak ada kesibukan, penduduk sebelah kadang main ke asrama kami dan kami main ke asrama mereka.

Rutinitas belajar membaca al-Qur’an berakhir menjelang isya’ dan dilanjutkan jama’ah isya’ lalu makan malam. Setelah makan, kami akan melakukan forum atau musyawarah.

ЖжЖ

“Yang muda!”

“Mbangun desa!”

“Yang muda!”

“Mbangun desa!”

“Yang tua!”

“Banguuun!”

Begitulah kami mengawali acara forum malam. Dengan berbekal buku dan pena, kami sudah siap mendiskusikan apa saja. Karena pada malam itu kami kedatangan empat murid baru dari Brebes, salah satu teman yang masih satu daerah dengan anak-anak baru itu disuruh memperkenalkan salam khas kami. Seorang anak bertubuh gempal berdiri.

“Selamat datang kepada teman-teman semua. Saya Pirman, kalau Rocky sudah kenal, donk. Kita kan masih satu kampung, ya..., “ ia menyebut nama salah satu anak baru yang segeramengangguk, “Jadi, yang dimaksud dengan yang muda mbangun desa itu, kita sebagai anak desa, setidaknya berterimakasihlah kepada desa. Jangan malah ditinggal pergi ke kota. Karena kita besarnya di desa, dengan sarana alamnya yang menyegarkan dan sedap dipandang mata, maka sudah seharusnya kita membangun desa agar lebih sejahtera. Sementara yang muda membangun desa, yang tua juga harus ikut. Ikut membantu, biar nggak tidur terus,” setelah dirasa cukup, Pirman kembali duduk, “Terima kasih,” tutupnya menampakkan senyum khasnya yang sesaat, lalu nyengir. Begitulah dia.

“Selain membangun desa, Pirman dan teman-teman di sini juga akan membangun sekolah,” Kang Adib tiba-tiba menyahut. Kami semua terkejut. Di ujung sana, Syukur mengangkat alisnya, mengatakan bahwa dugaan yang kami tertawakan ternyata terjadi.

“Lho? Kenapa pada bengong? Tadi saya bilang... kalian akan membangun sebuah sekolah. Di Pesawahan...” ulangnya meyakinkan.

Kang Is yang sejak tadi terlihat mengetik di meja terpisah ikut bergabung sambil menenteng notebooknya.

“Apa susahe sih, mbangun sekolahan. Kalian siap semua, kan? Terutama si Aweng dan Aldo Window yang tubuhnya besar seperi Hercules,” candanya dengan logat bahasa Banyumas campur Purbalingga.

“Sebentar lagi kan, puasa, Kang?” Sela Aldo yang memiliki kecenderungan memprotes.

“Ya iya. Emang kalau puasa kenapa, Do?” Kang Is balik bertanya.

“Kan lemes, Kang,” sanggahnya diiringi hehe. Ia nampak mulai berpikir kalau porsi sahurnya mesti ditambah.

“Tidak apa-apa, kan masih ada buka puasa. Dua hari lagi kita akan naik ke sana lagi untuk kerja bakti bareng warga, salah satunya memperbaiki jalan menuju sekolah yang akan didirikan. Sepuluh hari dari sekarang baru membangun sekolah. Gimana teman-teman, kalian siap?!” Kang Is berkata dengan penuh semangat, membuat animo kami meningkat, termasuk Aldo.

“Oke... Kita siap!” Serentak kamimengepalkan tangan ke udara. Sedang keempat anak baru tadi masih bingung. Mereka terdiam dengan berjuta-juta pertanyaan.

ЖжЖ

Kerja Bakti

Dengan mengendarai mini bus berplat merah yang selalu setia membawa kami ke manapun,kami serombongan siap merasakan jalan terjal yang menaik tajam. Meski pada awalnyamengeluhkan kondisi tersebut, namun lama-lama kami merasa terbiasa tinggal bagaimanaharus bisa berpegangan erat agar tidak terombang-ambing, tubruk sana-sini.

Hari masih pagi, beruntung sekali tidak berpapasan dengan mobil lain karena selain jalannya susah, lebarnya juga hanya cukup untuk satu mobil. Jadi kalau berpapasan, salah satu mesti ada yang mengalah dan harus keluar jalur menerobos semak-semak pinggir jalan. Sekitar beberapa belas meter di belakang kami, ada mobil pick-up hitam yang nampak kepayahan karena membawa batu yang akan digunakan untuk perbaikan jalan. Sambil mengamati melalui jendela belakang, kami semua berharap semoga mobil itu mampu naik hingga ke atas agar acara kerja baktinya tidak terulur dan mengalami hambatan.

Jalur maut terlewati, kini kami sudah berada di tepi telaga, begitu juga mobil pengangkut batu sudah terlihat muncul dari tikungan lalu beberapa orang yang semuanya sudah mengenakan baju baru berwarna putih dengan logo sebuah BUMN terkemuka memberhentikan mobil hitam itu untuk menurunkan muatannya. Empat orang itu memiliki lengan yang kekar dan berotot, sebuah identitas murni sebagai orang kampung yang hanya bisa makan jika ototnya bekerja. Selain mereka, beberapa pasukan putih juga mulai menampakkan dirinya di sepanjang jalan, kebanyakan para bapak-bapak dan ibu-ibu. Mereka tengah membersihkan gulma dan mencangkuli tanah disekitar jalan. Sangat susah dijumpai adanya remaja baik laki-laki maupun perempuan karena banyak yang pergi keluar kota untuk bekerja.

Sebelum ikut terjun bersama warga, kami terlebih dulu menuju ke sebuah rumah yang letaknya berada dikampung bagian bawah sekaligus untuk memarkirkan mobil. Seorang perempuan berusia limapuluhan yang sedang berjemur di pelataran rumahnya langsung menghampiri kami dan bersalaman. Beliau juga sudah memakai seragam warna putih sama seperti warga yang lain.

Pripun kabare. Biyunge?” Sapa Kang Is dan Kang Novi yang baru turun dari pintudepan.

Alhamdulillah maen. Gep pada melu kerja bakti pa?” (Baik. Mau pada ikut kerja bakti, ya?) tanyanya sebelum mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumahnya yang semi permanen dan nyaman.

Orang yang kami panggil Biyunge merupakan warga yang paling dekat sejak pertamakali kami datang. Rumahnya sudah terbuka bagi anak-anak B. School jika ada yang ingin istirahat, mandi atau makan. Untuk beberapa waktu juga dijadikan tempat untuk menginap. Tak lama berselang, Kang Ratno muncul bersama dengan Mbak Yuni. Mereka berdua adalah tuan rumah sekaligus guide yang selalu melayani kedatangan kami dengan sifat kekeluargaan dan sudah jadi bagian dari kami semua. Jika ada keluhan atau masalah yang menyangkut kampung Pesawahan,kami akan mendiskusikannya di rumah tersebut.

“Bagaimana, Kang? Semuanya lancar?” Tanya Kang Is.

“Sip pokoke. Persediaan batu, semen dan pasir juga dirasa sudah cukup,” jawab Kang Ratno sembari mengepulkan asap rokoknya.

Sementara mereka berbincang, di ruangan lain aku dan teman-teman sedang sibuk membuka baju masing-masing dan menggantinya dengan kaos warna putih yang sama.

ЖжЖ

Sistem kerja bakti dibagi dalam beberapa kelompok. Ada yang khusus membabat rumput liar, mengangkut batu, mencangkul, dan bagian konsumsi. Karena itu, kami pun harus terpencar-pencar sesuai dengan yang akan dikerjakan. Selain warga, beberapa pihak juga turut serta membantu, seperti dari militer dan beberapa organisasi kepemudaan.Kampung yang hampir tidak diperhatikan benar-benar sedang melakukan revolusi.

Sementara yang lain entah ke mana, aku dan Chamim berada dalam kelompok pengeruk tanah yang nantinya akan di dirikan sebuah MTs. Tanah yang sedang kami keruk merupakan tanah waqaf dan sebagian dibeli agar lebih luas. Dengan berbekal karung yang disobek, kami antri menunggu pencangkul menumpahkan tanahnya. Setelah penuh, lalu diangkut dengan mencengkeram empat sisi karung dan memindahkannya ke sisi tebing yang dibawahnya beberapa orang sedang sibuk meratakannya.

Dari beberapa pencangkul tanah, terlihat ada seorang anak yang tidak asing lagi bagiku. Meski lamban mencangkul tapi ia nampak semangat tidak sepertiku. Tadi aku termasuk pemegang cangkul, tapi karena ingin memegang pekerjaan yang lebih ringan akhirnya cangkul aku oper ke orang lain dan aku memilih memegang karung.

“Mim, itu Fidya, tuh,”aku menunjuk anak cewek berkaca matasedang mengisi karung yang digelar ditanah. Wah, hebat. Apa tangannya tidak takut kapalan, ya?

“Ayo kita ke sana,” ajak Chamim sambil menyeret karungnya. Oya, temanku yang satu ini berasal dari Kebumen. Bakatnya yang paling menonjol adalah musik. Dia pandai bermaingitar.

Ketika melihatku mendekat, serta merta diserahkannya pacul itu ke tanganku.

“Cowok yang harus macul. Sini karungnya.”

Oh, ternyata dia takut tangannya kapalan.

ЖжЖ

Di bawah pohon jengkol dengan tanpa satu buah pun yang tergantung, aku dan Chamim istirahat di situ sambil mengamati kambing yang sedang makan rumput. Jika diamati, ternyata kandangnya banyak yang kosong. Menurut Chamim, sengaja dibuatkan banyak kandang karena warga di sini rata-rata membuat kandang kambingnya berdempetan dengan rumah, ada juga yang di dalam rumah sehingga membuat udara tidak sehat karena bau kotorannya sampai ke halaman hingga ke dalam dapur dan tempat tidur.

Tapi namanya orang kampung, meski sudah dibuatkan kandang untuk mengkomunalkan kambing, tetap saja mereka enggan memindahkan kambing-kambingnya ke lokasi yang sudah dibuatkan. Selain alasannya jauh dari rumah, mereka sudah terbiasa hidup berdampingan dengan hewan peliharaan. Sedang kambing yang ada di situ merupakan bantuan dari pemerintah sebagai bentuk kepedulian sekaligus untuk meningkatkan ekonomi warga yang masih mayoritas miskin. Asset berupa kambing tersebut di kelola oleh warga dan pihak dari B. School melalui sistem bagi hasil. Namun, sesuatu akan membuat semua kambing itu lenyap dari kandangnya.

Saat kami tengah menikmati semilir angin yang menerpa sekujur tubuh, ada seseorangmendekat dan ikut bergabung. Dia Man Darsim, sang penjual cilok satu-satunya di Pesawahan. Hari ini beliau tidak menjajakan dagangan karena ikut kerja bakti. Baju putihnya yang masih baru juga sudah nampak ternoda oleh tanah.

“Mampir ke rumahku, Mad. Kamu belum pernah, kan? Kalau Chamim pernah beberapa kali,” ia mengajak sambil memegang pundakku agar lekas berdiri. Aku menurut dan kami menuju rumahnya yang berada paling dekat dengan lokasi di mana gedungakan didirikan.

Rumahnya sangat sederhana dan terletak di pinggiran kampung. Semua bahan bangunannya seratus persen terbuat kayu yang sudah berusia lama, didukung warna cat yanghampir hilang dansudah belang-belang. Jendelanya juga sudah banyak yang tanpa kaca. Ruangannya berantakan dengan tata letak meja kursi seadanya. Tak ada penghibur kepenatan semacam tivi, radio, apalagi DVD. Lantai tanahnya pun tidak karuan bentuknya karena tidak diratakan. Secara posisi rumah, agaknya sudah miring atau memang lantainya yang miring.

Rumah tersebut dihuni oleh lima kepala. Ketiga anaknya masih kecil-kecil dan yang terkecil baru masuk Paud. Saat aku datang, anak terkecilnya sedang menjalankan hobinya, yaitu menangis. Entah kenapa tiap hari si kecil yang bernama Mungin itu selalu menangis. Mencari ibunya sambil menangis, mencari kakaknya sambil menangis, hingga bermain juga sambil menangis. Luar biasa sekali anak ini.

Tak diragukan lagi, kami pun ditawari cilok yang terbuat dari tepung dan daging itu. Karena kami masih sungkan, beliau mengatakan bahwa itu sisa kemarin dan masih enak, akhirnya kami makan dan rasanya memang enak, lebih mirip rasa bakso ketimbang cilok yang biasa saya makan. Mungkin namanya cilok bakso. Cilok inilah yang telah mampu menghidupi keluarganya karena Man Darsim tidak punya pekerjaan selain berjualan dengan cara keliling kampung hingga keluar dari kampung. Peliharaan satu-satunya hanyalah beberapa ekor ayam.

“Jualan itu, yang paling susah kalau nyari pelanggan,” ia mulai membagi pengalamannya.

“Emang pelanggan itu penting ya, Man?” Tanyaku antara sudah tahu dan ingin lebih tahu.

“Penting sekali. Karena kalau sudah punya pelanggan, aku jadi tahu kapan waktunya dagang, tempatnya di mana, dan cilok yang saya buat harus berapa. Kalau tidak laku kan, eman-eman.”

Lalu cerita di undur ke masa lalu saat di manabeliau pertamakali jualan. Aku semakin penasaran dan siap mendengarkan. Tentunya sambil makan cilok gratis.

ЖжЖ

“Semoga suatu saat agar Pesawahan jadi kampung wisata bisa terlaksana,” kata salah satu teman saatkami tengah bersantai di tepi telaga, menonton para pekerja yang sedang membersihkan sisa-sisa rumput liar yang tumbuh subur di genangan air.

Dibagian lain, beberapa pekerja ada yang sedang menarik-narik gulungan tanah bercampur akar penyebab telaga dangkal. Saat itu air di telaga harus di surutkan dengan cara menjebol bibir telaga agar proses pembersihan dan pengerukan berjalan lancar. Sambil melihat sekitar, aku membayangkan akan seindah apa kalau telaganya sudah selesai diperbaiki dan sudah penuh dengan air sebagaimana mestinya. Lalu ada semacam gazebo yang dibangun di tepian sebagai tempat untuk istirahat dan memanjakan mata, karena di sisi sebelah utara ada perbukitan dan banyak pohon yang sangat indah menjulang tinggi seperti di luar negeri. Apalagi ketika ada kabut tipis, maka bukit-bukit dan pohon-pohon akan berubah menjadi siluet yang langka dan wajib diabadikan.

Matahari yang sudah condong ke barat menandakan siang kan segera berakhir. Deru mesin mobil mendekat dan berhenti untuk memasukkan kami yang harus turun lagi menuju asrama.

ЖжЖ

ABC

Sejak kegiatan kerja bakti itu, kini kami lebih fokus untuk melakukan sesuatu dan memikirkan berbagai macam kekurangan yang ada di kampung Pesawahan. Mulai dari pendidikan, kemiskinan, kesehatan, hingga sarana umum. Untuk menghemat waktu, kami mulai mendapat tugas baru selama tiga hari di kampung tersebut dengan cara membagi kami menjadi beberapa kelompok.

Adi, Yuli, Komah dan Anis bertugas sebagai pencari informasi terkait peserta didik baru, siapa tahu adayang tertarik dan mau mendaftar di MTs yang akan segera didirikan. Data anak-anak yang sudah lulus SD tapi belum melanjutkan sekolah juga sudah diserahkan oleh Inda yang pernah melakukan sensus beberapa hari yang lalu. Dalam kelompok itu, Adi adalah anak yang paling pendiam, hari-harinya banyak dihabiskan untuk menyendiri.

Kelompok selanjutnya bertugas mengajari warga membaca dan menulis karena masih banyak warga yang buta aksara. Mereka adalah dua kembar siam Elma dan Indah, Rocky, Warso, Nando dan Diwan. Untuk kelompok terakhir ada empat anak yang terpilih, mereka adalah Inda, Defi, Andri dan aku yang akan mengajari sekaligus memperkenalkan benda paling modern berupa komputer.Sementara yang lain bertugas seperti biasa,yaitu mengurus kambing dan sayuran yang ditanam di sekitar asrama. Tanggung jawab diserahkan kepada Roif dan Arif, Karena mereka berdua termasukberprestasi dalam mengurus kambing. Kalau Roif lebih ke bagian makanan, Ariflebih ke bagian pembersih kandang.

“Jangan lupa, dokumentasikan kegiatan kalian beserta laporannya. Saya doakan semoga kegiatan kalian di sana lancar,” pesan Kang Adib.

Di B. School setiap usai mengadakan suatu kegiatan memang harus menyerahkan bukti kegiatan melalui laporan. Laporan bisa bermacam-macam model tergantung si pembuat, asalkan jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika perlu, kami akan mencantumkan tanda tangan orang yang bersangkutan. Meski gayanya beda-beda, kadang ada yang mesti mengulang lagi dari awal jika tidak memenuhi syarat pembuatan laporan, seperti tempat, waktu dan siapa saja yang terlibat. Format ketikan harus sama, jika ada perbedaan bentuk tulisan, kadang hanya sebagai sisipan. Bukan hanya tulisan dan foto dokomentasi semata, bahkan aku pernah menyertakan foto narsisku di dalam laporan pada halaman tambahan.

ЖжЖ

Siangnya, kami berempat belas sudah berdesakan dalam mobil yang biasa mengantar. Hari itu yang jadi supirnya adalah Kang Is karena Kang Novi sedang ada urusan. Karena belum terbiasa, Kang Is harus ekstra hati-hati saat menyetir.

Dari dulu, ketika sedang dalam kendaraan aku paling suka kalau duduk di tepi jendela agar bisa melihat pemandangan di luar. Lalu ketika melihat hal yang asing, maka aku akan bertanya kepada Ibu.

“Itu pohon apa?” Tanyaku ketika ada pohon melintas.

“Itu namanya pohon kelapa,” Ibu menjawab dan siap menjawab lagi karena tahu aku akan bertanya lagi. Aku memang bertanya lagi.

“Pohon kelapa apa?”

“Kelapa muda, Nak,” jawabnya dengan sabar. Aku semakin ingin tahu kenapa kelapa juga mesti muda.

“Kenapa muda?”

“Muda karena hijau,” jawab Ibu sekenanya, sementara Bapak hanya tertawa mendengarkan.

“Hijau apa?”

Menurut riwayat, aku akan terus bertanya sampaitahu kenapa namanya seperti ini dan seperti itu, kenapa warnanya bisa hijau, merah dan biru. Ketika mobil berhenti dan melihat beberapaorang berdiri di pinggir jalan, aku bertanya lagi.

“Bu, yang pakai sarung itu namanya siapa?” Kalau pertanyaanku semakin susah dijawab dan tidak penting, Ibu akan menjawab.

“Namanya Senin… Selasa… Rabu…”

Lalu, saat aku menanyakan siapa nama supir busnya, Ibumenjawab.

“Pak Kamis.”

ЖжЖ

Saat sedang asyik bernostalgia bersama sang Ibu, tiba-tiba bau yang tadi tercium sangat menawan dan hampir aku minta sedikit, tiba-tiba berubah menjadi amat mematikan. Aku sangat mual mencium bau parfum yang entah bermerek apa tadi. Saat aku bukajendela lebih lebar agar bau menusuk itu bisa dinetralisir ternyata tidak mempan. Karena sudah tidak tahan sehingga air liurku seolah mengatakan bersiaplah untuk muntah, aku harus menasehati pemakainya. Tersangkanyasedang duduk dipojokan sambil berpegangan pada pintu.

“Diwan, parfum kamu bikin mual, sumpah,” kataku meski merasa tidak enak. Tapi ini sedang darurat. Rupanya teman yang lain juga ikut merasakan efek aroma tersebut.

“Masa, sih? Ini parfum mahal, lho. Bukan punyaku kali,” anak band itu membela sambil menciumi bajunya.

“Yeee… Ini mah baunya kamu,” Nando yang turut menjadi korban terus menutupi hidungnya. Intimidasisusulan juga datang dari Indah yang menyarankan agar setelah mandi dan mau pulang besok, parfumnya jangan sampai dipakai lagi. “Berbahaya,” katanya.

Sambil menutup hidung rapat-rapat, penderitaan itu pun berakhir saat kami sudah sampai di tujuan. Aku sampai sempoyongan karena kepala terasa amat pusing sebab menyalahkan parfum yang tidak berdosa itu.

“Hehe… sorry, bro,” kata Diwan yang telah sadar dan merasa bersalah akan baunya.

“Tidak apa-apa, parfumjuga harusmampu beradaptasi,” jawabku sambil tertawa menghibur diriku dan dirinya.

Setelah semua turun, tujuan utamaku adalah kamar mandi. Karena aku lupa bawa perlengkapan mandi dan malas meminta, akhirnya aku harus mandi asal badan jadi segar dan kembali normal. Mandi di rumahnya Kang Ratno, bagiku sudah merupakan bagian dari taman surga. Airnya mengalir cukup deras dan segar sekali, tidak seperti di B. School yang harus antri dan terbatas. Bentuk kamar mandinya sederhana tapi luas dan nyaman. Semuanya terbuat dari bambu dan jika melihat ke lubang yang ada di bawah, maka akan terlihat ikan-ikan mujahir yang siap menyantap jika ada yang buang sesuatu di situ. Suka citaku di dalam kamar mandi tidak berlangsung lama karena ada bunyi ketukan yang menyuruhku agar lekas keluar. Beberapa teman rupanya sudah ada yang mulai mengantri.

Setelah mandi, aku, Andri dan Anis mencoba untuk sholat ashar di masjid yang lokasinya berada di bagian atas sekalian jalan-jalan, karena sejak pertama ke sini aku hanya sholat di musholla tapi lebih banyak dilakukan di rumah Kang Ratno. Sesampai di sana, masjidnya ternyata berwujud musholla, bahkan ukuran dan bentuknya hampir sama, hanya namanya saja yang masjid. Kondisinya juga sudah memprihatinkan karena temboknya sudah lapuk sehingga banyak ditemui retakan dan lapisan yang sudah mengelupas, menurut warga katanya tidak lama lagi akan segera direnovasi. Di pelataran masjid yang lebarnya hanya satu meter itu ada bedug yang masih terawat dan kelihatannya belum lama berada di situ. Sementara di bagian depan samping pengimaman ada dampar kecil dan tiga buah al-Qur'an. Ketiganya sudah usang seperti jarang dibaca dan hanya ada satu yang masih memiliki sampul.

“Masjidnya mengenaskan sekali, bahkan untuk berwudlu saja harus di tempat lain karena tidak tersedia di sini,” kata Anis prihatin. Di desa dia, mushollanya memang sudah layak dan airnya melimpah. Ketika aku akan berwudlu, bahkan aku bisa mandi terlebih dahulu karena godaan airnya yang menyejukkan menarik tubuhku yang mudah merasa gerah.

Sepulang dari masjid kami segera kembali karena harus menyiapkan taktik sesuai misi tiap kelompok. Malam nanti, timku akan beraksi di rumah Pak Salman yang letaknya berada paling atas. Komputernya sudah ada di sana. Untuk para pencari calon murid tugasnya adalah keliling kampung dan bertamu ke beberapa orang yang namanya sudah di tertulis di atas HVS yang di print. Sementara yang kebagian mengajari Abcd sudah mempersiapkan blackboard kecil danbeberapa buah kapur.

ЖжЖ

Malamnya, sambil mengenakan jaketnya masing-masing dan beberapa ada yang meminjam milik teman, kami mulai berpencar. Sorot lampu senter yang menerangi jalan kami sangat membantu karena penerang jalan masih sedikit dan hanya terpasang di beberapa titik. Ini masih jam setengah delapan kurang, tapi suasana desa sudah sangat sepi seperti tidak ada kehidupan. Beberapa rumah yang kami lewati nampak sepi dan beberapa terlihat ada kelip-kelip cahaya seperti pantulan gambar dari televisi. Rumah Man Darsim sudah terlihat, di depan agak ke timur itulah rumah Pak Salman berdiri. Kami tidak tahu ada berapa warga yang ikut belajar bersama kami karena jumlah mereka tergantung minat. Ingin belajar membaca atau belajar komputer, faktorrumah yang dekat juga menjadi alasan tersendiri.

Kedatangan kami disambut oleh tuan rumah dan beberapa warga yang sudah menunggu, mereka menyalami kami satu persatu. Setelah kami duduk, warga lainnya datang menyusul dan ikut duduk melingkar seperti yang lain. Di sebelah kami, komputer sudah siap dinyalakan namun sebelumnya harus ada pembukaan.

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,” ucap Devi mengawali, “Mohon maaf Bapak-Ibu sekalian karena kami sudah mengganggu jam istirahat kalian.” Permohonan maafnya disambut dengan gelengan kepala beberapa orang.

Ah, mboten, Dik. Palah pada seneng. Sekali-sekali njajal ngileng komputer si kayangapa,” (Ah, tidak, Dik. Malah pada senang. Sekali-kali coba melihat komputer itu seperti apa) kata salah seorang warga diiringi anggukan kepala lainnya. Devi melanjutkan.

“Nah, ini yang namanya komputer, panjenengan sudah ada yang pernah lihat, kan?” tanyanya. Beberapa ada yang bilang pernah, dan kebanyakan bilang belum pernah.

Seorang kakek yang mengenakan jaket kulit hitam yang sudah tidak asing lagi menjawab, “Aku tah, lihatnya baru di sini,” kata Man Karsidi dengan gayanya yang kocak hingga menimbulkan tawa. Lalu Devi memanggil Man Karsidi ke depan untuk menyalakan komputernya tapi beliau tidak mau karena takut rusak.

“Ini, tombol untuk menyalakan ada di sini. Namanya CPU,” Devi menekan tombolnya dan terdengar suara berdengung, lalu menekan tombol monitor. Sedang aku menekan tombol kamera sebagai fotografer.

Kini giliran Andri yang mengajarkan cara menggunakan mouse dan keyboard, sedangkan Inda membantu mengarahkan. Beberapa orang, meski ragu dan malu akhirnya mulai berani maju ke depan untuk pertamakalinya menyentuh komputer. Yang berani maju ke depan adalah yang merasa sudah mampu membaca, sedang yang belum beruntung cukup memanjangkan lehernya untuk melihat. Saat disuruh menuliskan namanya di Microsoft Word reaksi mereka bermacam-macam. Ada yang sangat hati-hati saat menekan tuts, ada yang hanya dengan satu jari, dan ada yang jarinya mendadak jadi kaku. Itupun masih banyak yang salah.

Sebagai bahan tambahan, kami juga mengisinya dengan melatih yang lain untuk berlatih membaca. Ukuran font huruf diperbesar hingga pada angka 36 agar semuanya bisa melihat dengan jelas. Karena beberapa orang yang hadir ternyata ada yang masih belum mengenal alphabet bahkan huruf A, akhirnya Andri mengetik ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ.

Aku tidak menyangka bahwa mengajar orang-orang tua ternyata sangat susah karena mereka gampang sekali lupa. Dari kami berempat, Inda lah yang merasa paling prihatin melihat kondisi tersebut. Ketika sedang mengarahkan, raut mukanya memancarkan aura kesedihan tapi paling banyak mengajak mereka untuk bercanda. Dia juga tidak menyangka kalau ternyata di daerahnya masih banyak orang yang belum bisa membaca sama sekali. Jarak antara kampung Inda dan Pesawahan tidak begitu jauh, tidak sampai empat kilometer.

Melihat cara belajar mereka yang gampang-gampang susah, aku jadi ingat sebuah syair…

“Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu. Belajar setelah dewasa bagai mengukir di atas air.”

ЖжЖ

Puasa Hari Pertama

Pagi sekali, masih pukul empat aku sudah dibangunkan lebih awal oleh Rono yang saat itu jadi leadernya. Biasanya aku bangun jam lima, setengah jam tertinggal dari yang lain karena aku paling suka tidur larut malam. Jika tidak ada yang membangunkan, bahkan aku bisa saja bangun antara jam delapan sembilan menjelang siang. Sampai sekarang, salah satu masalahku adalah susah bangun sendiri, kadang dibangunkan juga masih susah.

“Mad, hari ini kita leader. Ayolah, bangun,” ia menarik tanganku kuat-kuat agar lekas bangkit. Selimutku juga sudah disingkirkan jauh-jauh agar tidak aku ambil lagi, dan tidur lagi.

Sadar bahwa hari ini aku yang bertanggung jawab selama satu hari, meski cuaca masih dingin aku mesti bangkit untuk menjalankan tugas. Dengan langkah malas, aku menuju ke aula untuk menyalakan lampu. Di ruang sebelah selatan yang dihuni oleh kaum hawa terlihat ada leader bernama Komah yang sedang membereskan gelas di atas meja kecil berbentuk elips yang biasa di jadikan Kang Adib dan Kang Is untuk duduk bersantai dan mengobrolkan apa saja yang mesti dibahas. Sebelum membangunkan semua penduduk asrama, kami biasanya akan memutar MP3 murottal atau sholawat dengan volume agak keras dan membuka semua pintu kamar agar seluruh penghuninya terbangun. Setelah jama’ah subuh, sebelum melakukan briefing seorang leader harus mengecek semua persediaan selama sehari ini, terutama yang berhubungan dengan perut. Yaitu logistic.

Sinar matahari sudah membentuk cahaya sunrise yang menjadi latar belakang gunung Slamet, kami semua sudah berkumpul di halaman depan, berdiri berderet sampai empat baris. Yang cewek sebelah kanan, dan cowok sebelah kiri, sedangkan ketiga leader berdiri di depan, berhadap-hadapan.

“Siapa yang belum ke sini?” Tanya Rono yang dikenal sebagai tokoh misterius karena mengaku bisa melihat aura makhluk astral yang menghuni B. School. Lantas semua yang sudah hadir saling tengok kanan kirinya untuk melihat siapa yang belum terlihat.

“Roif belum hadir,” jawab Beni. Lalu ada sahutan dari barisan paling ujung, “Masih di kamar mandi!” Serunya. Demi ketertiban, sebagai leader kami punya wewenang untuk memerintah siapa saja. Aku pun menyuruh anak paling ujung tersebut untuk segera memanggilkannya.

“Budi, tolong panggilkan. Briefing sudah akan dimulai,” kata Komah dengan lembut. Suaranya imut, mirip suara anak kecil yang belum akil baligh. Yang diperintah segera berlari menuju kearah adikku berada. Tak beberapa lama dia kembali diikuti oleh seorang anak yang datang sambil membawa selimut. Itulah kelebihan dia, yaitu suka dengan kehangatan.

Semua sudah kumpul, aku dan dua temanku mulai membagikan tugas untuk hari ini sampai malam nanti. Baru kemudian dilanjutkan dengan senam sebentar sebagai pemanasan karena setelah briefing, kami biasa jogging. Udara pagi yang masih segar dan terasa dingin sering memotivasi kami untuk adu berlari sampai jembatan. Tak jarang kami juga berpapasan dengan warga Ketenger sekitar B. School yang sedang jalan pagi. Karena hari itu aku leader, maka aku tidak bisa ikut lari pagi seperti yang lain karena harus mempersiapkan makan pagi. Untuk soal ini, yang pertamakali aku sambangi adalah Fidya karena dia punya jabatan sebagai bendahara sekaligus pemegang uang belanja. Setiap pagi, uang dalam dompet kusamnya lebih sering terpakai untuk urusan dapur dan air minum.

“Beli yang diperlukan aja. Soalnya uangnya sudah menipis,” ia menyerahkan selembar uang bergambar Ki Hajar Dewantara untuk ditukarkan bahanmakan pagi.

Hari ini yang aku tugaskan masak adalah Elma dan Indah yang sangat akur itu. Agar sedikit menghemat, Kang Is menyarankan untuk memasak pakis saja. “Aku yang nyari di hutan bareng Aweng kemarin. Kalian belum pernah masak ini, kan?” Kang Is menyerahkan tanaman jenis paku-pakuan yang diikat alang-alang kepada Elma.

Anak yang bisa dibilang pintar dan banyak tahu itu agak heran dengan bentuk sayuran yang tengah digenggamnya. Aku juga heran, bukan berarti belum pernah melihat, tapi aku baru tahu kalau tumbuhan yang banyak tumbuh di hutan dan semak-semak itu ternyata bisa dimakan. Melihat bentuknya yang panjang dan melingkar-lingkar seperti bukan makanan, aku langsung menebak kalau rasanya pasti tidaklah enak. Apalagi jarang ada yang mengkonsumsi. Sementara dua anak tersebut sedang memotong-motong pakisnya, aku harus membilas pakaian yang sudah direndam sejak tadi malam.

Melalui kran yang terpasang di depan dapur, dengan hati-hati aku mengucek-ucek rendaman agar busanya tidak muncrat mengenai pakaian yang baru saja aku kenakan. Air kran mengalir cukup kecil dan kadang tersendat-sendat membuatku harus sabar dan telaten agar cucian benar-benar bersih dan suci. Aku juga harus lebih sabar lagi karena ada suara dari dapur, “Siapa yang di luar?” Itu suaranya Indah.

“Aku! Kenapa, ya Ndah?” Tanyaku.

Ulah gitu mas “Airnya dimatiin dulu, atuh. Aku lagi nyuci panci!”

Lalu aku putar kran ke mode off agar yang di dalam bisa mengalir.

ЖжЖ

Ini dia sarapanku. Sayur pakis yang sudah dipotong kecil-kecil oleh sang amatiran. Baunya sedap karena bumbunya pas, kuahnya juga terlihat begitu menggoda bercampur lemak. Meski katanya sarapan berlemak itu kurang baik buat tubuh, untuk mengurangi tingkat kurang baiknya aku akan mengunyahnya lebih lama. Selain sunnah, menurut ilmu kedokteran juga bisa mengurangi efek negatif karena semakin lama kita mengunyah, maka enzyme yang dihasilkan juga akan lebih banyak.

Setelah semuanya berkumpul di meja makan, dengan mengucap bismillah masuklah sayur “jenis baru” itu ke mulutku. Benar, seperti yang aku duga ternyata rasanya sungguh tidak enak. Rasanya sangat pahit, sepahit pare. Yang masak juga memperlihatkan ekspresi yang sama. Karena dalam hukum Islam kita tidak boleh mencela makanan, meski pahit tetap aku nikmati seolah tidak pahit karena aku juga doyan sayur pare.

“Kok, pahit, ya?” Ujar Aldo tiba-tiba. Kejujurannya diiyakan oleh omnivora yang lain, yang belum tahu bagaimana perasaan orang yang memasak saat dibilang masakannya tidak enak. Aku memperhatikan Duo Brebes itu dengan kasihan. Mereka pasti sakit hati, pikirku.

Merasa sudah mengacaukan sarapan, Indah angkat bicara, “Maap teman-teman. Aku kira pakis itu rasanya memang pahit. Saya salah cara masaknya, donk,” ia juga nampak ogah memakan masakannya sendiri, begitu pun Elma.

“Namanya aja baru pertama kali, nggak apa-apa, lah… Ayo kita makan lagi, kasihan sudah dimasakin masa nggak dimakan. Ini bergizi, loh,” kata Kang Is sambil menyantapnya. Setelah makan beliau bercerita kalau ini masih mending dibanding dulu saat aku belum di B. School,juga dengan beberapa teman yang lain. Ketika keuangan sedang dalam kondisi kritis, untuk beli beras saja susah, akhirnya mereka harus sarapan tanpa nasi dan sayuran. Karena yang tersedia di dapur hanya kentang dan mie instant, akhirnya dua jenis makanan yang sangat tidak lazim jika dimasak bersama itu pun terjadi. Kentang rebus dilumatkan, lalu dicampur mie dan diaduk agar merata. Jadilah kentang rasa mie instant atau mie instant rasa kentang.

Kang Is melanjutkan, “Bersyukurlah karena kita masih boleh sarapan. Besok kita tidak akan pernah sarapan lagi karena kita akan berpuasa. Selamat menyambut bulan ramadhan untuk kalian semua. Semoga puasa nanti, kita diberikan kekuatan dan ridlo oleh Allah agar puasa dan kegiatan kita di Pesawahan lancar tanpa ada halangan,” katanya. Kami semua mengamini.

Ada enam anak yang terpilih beraktifitas membangun sekolah, mereka adalah Aweng, Andri, Aldo, Roif, Arif, dan Kang Is sendiri. Sedang aku sebagai tokoh figuran.

ЖжЖ

Hari yang ditunggu sudah tiba, kayu-kayu balok yang akan dijadikan bangunan sekolah sudah tertata didepan rumah Pak Salman yang sekaligus jadi toko. Bu Salman yang sangat baik mempersilakan kami bertujuh untuk mampir dulu, tapi kami menolak dengan alasan mumpung masih pagi. Mampirnya nanti siang saja sambil istirahat.

Dengan semangat pagi, kami, para lelaki jantan segera meletakkan balok dari pohon kelapa ke pundak masing-masing dan membawanya ke lokasi. Agar tidak terasa sakit di pundak, aku harus mengganjal balok tersebut dengan karung yang dilipat. Salah satu warga Pesawahan yang dimintai bantuan adalah Kang Ratno yang punya tubuh kekar. Di antara mereka semua, yang postur dan bentuk tubuhnya paling meragukan adalah aku dan Arif karena tubuh kami memang tergolong minimalis. Meski sempoyongan dan meringis menahan beban, aku terus berupaya untuk terus melangkah sambil berusaha mensugesti mentalku, “Ayo maju terus, maju terus… kamu pasti bisa, Mad.Jangan melihat depan, lihat saja langkah kakimu toh nanti tiba-tiba sudah sampai di sana.”

Jarak yang kami tempuh tidaklah dekat. Awalnya aku mengira kalau kayunya akan dibawa ke tempat yangyang tanahnya dulu kami ratakan pasca kerja bakti. Ketika tempat itu kami lewati, aku terbengong dan bertanya kepada Andri.

“Lho? Bukannya tempat sekolahnya di situ?” Tunjukku. Sambil memperlambat langkahnya, Andri menjawab.

“Rencananya iya, tapi kemungkinan sekolah yang dekat ini akan dibangun setahun lagi karena tahun ajaran baru sudah dekat,” ia menjawab dengan nafas yang tersenggal-senggal, aku pun mengurungkan pertanyaan berikutnya dan ikut saja ke mana yang lain melangkah. Sekitar tujuhpuluhan meter kemudian baru kayu itu aku turunkan. Lokasinya tepat di tepi telaga, sangat strategis.

Rencananya di situ akan dibangun tiga ruang yang masing-masing berjarak tiga meter. Bagian bawah, yaitu alasnya juga sudah di semen agar tiang penyangga tidak mudah keropos karena bersentuhan langsung dengan tanah. Kata Kang Ratno, model sekolahnya akan di desain menyerupai saung atau gazebo agar nampak alami, menyesuaikan alamnya yang masih asri dan banyak pohon menjulang tinggi. Tepat di atas kami, beberapa pohon pinus tumbuh besar dan menjatuhkan daun-daunnya yang telah mengering.

Roif memunguti daun yang gugur tersebut dan mulai bicara dengan teori gambarannya.

“Ini kalau dijadikan kerajinan bagusnya apa ya? Kalau gambaranku sih, kayaknya bisa dijadikan lukisan abstrak, lalu di pigura,” katanya sambil memutar-muat daunnya.

Aldo yang suka bicara sekenanya dan kadang tidak masuk akal menyahut, “Itu aja, dibikin kayak orang-orangan, lalu dikasih baterai biar bisa gerak-gerak. Buat nakutin anak kecil bagus, tuh. Haha..” mendengar ucapannya, aku kadang prihatin karena obrolannya sering tak jauh dari keisengan dan hal yang tidak nyata. Kalau nyata, kadang hyperbola. Tapi soal bekerja, dia juaranya.

“Ayo, angkut lagi. Masih banyak,” kata Kang Is yang sudah melangkah lagi. Uh.. ingin rasanya aku mengeluh panjang hari ini. Pundak terasa sakit, perut mulai kosong, tenggorokan kering dan kaki sudah mulai terasa lemas. Kalau bukan karena melihat semangat mereka, mungkin aku sudah memilih untuk tidur saja dan menunggu buka puasa seperti yang sering aku lakukan saat masih di rumah. Arif yang aku kira tenaganya pas-pasan juga sudah meruntuhkan hipotesisku yang mengatakan bahwa dia akan menyerah dan banyak istirahat. Kekuatan ototnya tidak kalah jika disandingkan dengan Aweng dan Aldo yang punya postur tubuh raksasa.

Menjelang siang, bahan yang kami angkut sudah berbeda dan lebih ringan tergantung berapa jumlah yang dibawa. Ada yang membawa genteng dan kayu-kayu kecil yang biasa dijadikan rangka atap dan bambu. Hal ini kami lakukan agar stamina tidak mudah terkuras, tidak banyak istirahat, dan tetap mampu bekerja. Sementara balok yang berat itu diserahkan kepada Kang Ratno karena dia masih mampu. Meskicuaca cerah, kami tidaklah merasa begitu gerah karena tiupan semilir angin pegununganyang segar terus berhembus menerpa tubuh kami.

Menjelang sore antara jam tiga, kami sudah berhenti bekerja dan beristirahat di rumah Kang Ratno. Selama dua minggu mereka berenam menginap di rumah tersebut, sementara aku harus dipulangkan setelah empat hari bekerja karena tidak betah dan mengeluh sering merasa pusing.

ЖжЖ

Erisa

Dengan menutup sekujur tubuh dengan selimut tebal yang mirip wol, kedua mataku tak berkedip memelototi layar televisi. Dari celah dinding triplek bercampur papan kayu yang tidak dicat, sinar mentari masuk menampakkan cahaya panjang berkelip-kelip seperti mutiarakecil yang berterbangan bersama udara. Ingin rasanya aku bangkit untuk bisa menikmati cahaya mentari pagi, tapi berhubung berita di tivi sedang menarik, maka aku urungkan dulu.

“Mad, jangan tidur lagi,” suara Ibu terdengar dari arah dapur diiringi suara sesuatu yang sedang digoreng.

“Nggak, Bu,” jawabku singkat sebagai penanda bahwa aku masih sadar.

Beginilah saat aku sedang berada di rumah. Jam limaharus sudah bangun untuk sholat subuh. Orang tuaku paling kuatir kalau aku sampai tidak sholat sehingga mereka akan terus menggedor-gedor pintu kamar yang terkunci sampai aku bangun dan membuka pintu. Setelah itubaru mereka bisa tenang.

Karena ingin menghangatkan badan dan menyerap vitamin D, aku matikan tivi, melipat selimut, membuka jendela dan keluar untuk berjemur. Rumahku menghadap timur sehingga sangat ideal sekali untuk berjemur dan menghangatkan kamar. Karena letaknya berada di tepi jalan dan tak ada bangunan penghalang, gunung Prau yang menjulang nampak terlihat sempurna. Lebaran sudah seminggu berlalu, namun suasananya masih sangat terasa.

Aku lihat disamping gudang ada Bapak yang sedang sibuk dengan tangki penyemprot tanaman yang sudah di bongkar bagian atasnya. Aku mendekat untuk melihat. Nampaknya sedang rusak.

“Macet lagi, Mad. Pasti klepnya sudah minta diganti lagi,” jawabnya saat aku bertanya.

“Umur tangkinya udah berapa tahun ya, Pak?” Aku memperhatikan modelnya yang sudah bisa disebut klasik.

Masih sambil mengutak-atik, Bapak menjawab tanpa mengalihkan pandangan fokusnya ,”Kalau usia kamu dengan tank ini masih lebih tua tanknya. Ini dulu Bapak beli saat mau menikah dengan ibumu,” katanya sedikit mengenang masa lalu saat mereka masih muda.

Mengingat usia, saat ini aku sudah 25 tahun. Aku merasa sudah sangat tua meski sebenarnya masih muda. Aku merasa tua karena aku sekarang hidup berdampingan dengan anak-anak B. School yang usianya masih belasan tahun. Meski sudah tua, nyatanya SD saja aku belum lulus dan baru kelas lima sebagai murid di PKBM yang didirikan oleh Kang Is dan teman-temannya.

“Jadi berangkat ke Purwokerto hari ini?” Beliau menatapku sesaat karena air di dalam tangki sudah menyembur keluar melalui sprayer. “Wes didi iki,” (Udah jadi nih) selanya.

“Insha Allah, Pak. Ini tinggal nunggu Roif yang katanya mau jemput ke sini. Mungkin sebentar lagi,” jawabku menghormat ke arah matahari karena silau.

Lalu Ibu muncul, sepertinya beliau juga ingin menghangatkan diri atau istilah di tempatku kareng. Huruf “e” diucapkan seperti “e”nya lele.

“Untuk sementara jangan bawa motor dulu. Purwokerto kan jauh, Ibu takut ada apa-apa di jalan,” katanya khawatir.

“Nggak kok, Bu. Aku juga kan belum punya SIM,” kataku sambil tertawa.

Bapak menimpali, “Bikinnya kalau udah lulus SD aja gimana?” tawarnya sambil tertawa juga.

“Betul, itu. Nggak sopan, tuh. SD belum lulus kok udah berani bikin SIM,” canda ibuku disambut tawa kami semua.

Saat sedang asyiknya bercanda dengan mereka, dari kejauhan Roif datang sambil mengendarai motor bebek yang sudah dimodifikasi menyerupai moto cross. “Bruuuummm…”

ЖжЖ

Setelah memakai pakaian yang rapi ala style masa kini, aku dan Roif sudah siap berangkat.

“Jangan lupa. Di manapun, dengan siapapun dan kapanpun berbuat baiklah. Niscaya segala urusan akan dimudahkan oleh Allah,” pesan mereka saat melepas kepergian kami.

Lalu aku segera duduk di jok yang sudah berlubang sehingga jika ada tekanan, air yang berada di dalam jok akan merembes keluar membasahi celana, apalagi aku memangku kardus berisi kentang dan buah carica untuk dibawa ke B. School membuat beban bertambah sehingga semakin basahlah celanaku.Setelah bersalaman dengan kedua orang tua yang rela menyekolahkan anaknya yang sudah tua, kami langsung meluncur. Tujuan pertama adalah ke rumah Roif, lalu mencariseorang teman yang mau jadi relawan untuk mengantarkan kami sampai jalan raya yang berjarak dua kilometer dari kampung.

Dengan diantar oleh seorang teman yang bernama Turman, kami berdua turun di pinggir jalan, tepat di depan sebuah toko obat-obatan pertanian.

Tengkyu, bro… Nggak nongkrong dulu di sini?” Candaku saat Turman hendak pergi.

“Aku mau ngobat, nih… udah dulu, ya. Hati-hati di jalan,” ia menyalami kami.

“Oke. Kamu juga hati-hati. Byeee…”

“Yiuukkk,” sahutnya sambilberlalu. Dia adalah teman terkeren dan paling perhatian dengan kami. Ketika kami sedang di rumah, dialah satu-satunya teman yang mengajak untuk tidur dan main bersama.

Sambil meletakkan kardus dan tas milik Roif yang selalu diisi beban berat, aku memandang ke pintu toko di sudut belakang di mana pemiliknya biasa di dalam. Tak seberapa lama, muncullah seorang wanita cantik berjilbab yang segera memanggilku dengan panggilan, “Mas… Udah pada di sini, tah?” Tanyanya menampakkan senyumnya yang sungguh menawan.

“Baru aja, kok. Hari ini adek sendiri?” Aku mengintip ke ruangan dalam yang nampak sepi, karena kalau tidak dengan bapaknya, kadang dengan adiknya. Kalau tidak dengan keduanya, kadang dengan pembeli.

“Tadi sama Bapak, tapi lagi ke Wonosobo buat ambil obat lagi,” katanya sambil tersenyum sehingga gigi gingsulnya yang menggemaskan terlihat. “Ayo masuk, Mas, If,” ajaknya.

Sudah beberapa kali, aku mengajak Roif saat bertemu dengannya. Kalau dia sedang tidak bisa, aku akan mengajak yang lain. Alasannya agar tidak ada orang ketiga yang disebut dengan nama setan. Sederhana sekali, tapi bagi kami itu tidaklah sederhana. Apalagi Erisa, nama kekasihku, anak jebolan pesantren. Aku juga pernah nyantri meski sering sekali pulang dan masih banyak main ketimbang mengajinya.

Erisa adalah seorang anak manusia yang saat itu usianya sudah 22 tahun, untuk ukuran orang kampung usia 22 sudah bisa dikategorikan sudah tua dan seharusnya sudah punya seorang anak. Dia juga kaum drop out sama sepertiku. Kalau aku D.O dari Sekolah Dasar, Erisa D.O dari bangku kuliah karena tidak punya biaya. Akhirnya ia harus membantu orang tua yang sudah menumpuk hutangnya.

Melihat kondisi dia yang amat jauh denganku, ibuku yang mudah khawatir itu sempat menasehati saat aku masih menjadi teman Erisa.

“Kalian boleh akur, tapi jangan sampai saling jatuh cinta. Kamu, kan SD belum lulus, sedang dia sudah pernah kuliah. Dia juga anak orang kaya, kamu anak orang miskin.Hati-hati, loh… Jaga perasaan kamu, jangan sampai pacaran dengan Risa,” katanya saat aku ijin untuk pergi main dengannya. Tapi di lain waktu, Ibu juga mengatakan.

“Kalau kamu yakin dan mantap dengan Risa, tidak masalah. Dia anaknya dikenal sebagai anak baik dan nurut sama orang tua. Jarang sekali ada cewek yang seperti Risa.”

Di waktu yang lain lagi… “Pentingkan sekolah saja dulu. Toh kalau sudah saatnya kamu juga akan mendapatkan jodoh. Kamu, kan nggak jelek dan nggak bodo-bodo amat,Mad. Ibu yakin meski sudah usia 30-an, kamu tetap laku,” katanya yakin.

Mengingat statusku yang belum kelar SD, aku pun awalnya sadar diri. Meski terbilang akrab dengan Risa, bukan berarti aku mengharap lebih, aku hanya merasa senang berteman dengannya. Dia baik, lucu, alim, dan pastinya cantik. Wajar kalau banyak cowok yang berusaha merebut hatinya dan banyak pula yang ditolak dengan halus, tapi tetap saja menyakitkan. Namun, dengan berlalunya waktu tak mampu juga aku kalau sekedar pada taraf mengagumi. Akhirnya aku putuskan untuk memilikinya, apapun jawaban dia yang penting aku sudah berani mengungkapkan. Seandainya dia menolak, aku justru sudah lebih siap ke bagian penolakan tersebut.

“Aku juga sebenarnya memendam perasaan yang sama,Mad…” Itulah jawaban dia. Aku… aku seperti sedang bermimpi, tidak menyangka seorang anak SD cintanya diterima oleh anak kuliahan. Sejak saat itu, kami pun jadian.

Nasibnya punya kekasih bertampang bak model majalah muslimah membuatku harus tahan dengan berbagai macam pujian dan isu miring dari orang sekitar. Ada yang bilang beruntung, merasa iri, memprediksi tidak akan tahan lama, dan sebagainya. Soal pujian, aku tidak akan ambil pusing, tapi jika berhubungan dengan berita yang menjelek-jelekkan sang kekasih, maka aku butuh saksi terselubung. Kebetulan Risa punya teman curhat yang dekat juga denganku, dari dialah aku mengorek-orek kebenaran sebuah informasi.

“Apa benar yang dikatakan oleh Sendi, Ki?” Tanyaku saat kami sedang berada di dalamkamar.

“Haha...” Syauki tertawa dulu, “Jangan mudah percaya. Sen bilang begitu karena dia pernah ditolak olehnya.”

“Kalau kata Ridlo? Dia ngomongnya serius banget, aku jadi cemas,” aku terus bertanya karena malam itu aku melakukan pertemuan dengan Syauki intinya untuk membahas hal ini.

“Sudah, jangan percaya. Ridlo itu sudah suka dengan dia sejak lama, tapi sampai sekarang belum berani bilang,” jelasnya meyakinkan.

Aku tetap belum tenang, apalagi saat Syauki mengatakan, “Aku juga sempat pernah suka dengan dia, tapi itu dulu……”

ЖжЖ

Kopi susu yang dibuatkan oleh Risa sudah tinggal seperempat gelas, sambil membicarakan pengalaman masing-masing, kami bertiga tertawa bersahut-sahutan. Bahkan saat mendengarkan cerita Roifketika pertama kali datang ke B. School, Risa tertawa sampai matanya berair, kulit mukanya yang putih menjadi kemerah-merahan. Sebenarnya bukan soal ceritanya yang sangat lucu, tapi dari caranya bicara dan istilah yang di gunakanlah yang membuat kami tertawa sampai perutnya sakit.

Tak terasa jam di hapeku sudah memunculkan angka 12 siang, kami tidak bisa lebih lama lagi berada di tempat ini. Risa yang masih kangen pun berusaha menahan kami agar jangan terburu-buru.

“Ya udah… Satu jam lagi, ya? Nanti kalau udah jam satu, kami akan langsung cabut,” kataku dengan saaangat hati-hati agar tidak menyinggung perasaanya. Meski nampak keberatan, Risa mengangguk juga. Ia juga menyatakan permintaan maafnya karena sudah terpaksa menahan kami berdua. Kalau saja bukan karena waktu yang semakin menyempit, sampai malam pun aku sama sekali tidak keberatan. Bahkan aku tidak menyangka kalau waktu terasa begitu singkat, tapi begitulah rasanya saat seseorang yang sedang jatuh cinta dipertemukan.

Mungkin karena sudah kehabisan obrolan, waktu yang amat sangat terbatasitu dimanfaatkan Risa untuk menceritakan perihal ekonominya yang belum menentu. Dia mengatakan kalau saat ini bisnisnya bisa dibilang sedang lancar karena tiap hari banyak pembeli yang datang, bahkan sampai banyak yang memesan melalui hapenya. Si pemesan akan SMS dua hari sebelum datang ke toko, karena jika stok yang diminta sedang tidak tersedia, bapaknya akan mencarinya di agen terdekat agar saat pemesan datang, tinggal bayar dan pulang dengan hati senang.

Mayoritas penduduk Dieng merupakan petani kentang yang masih sangat tergantung dengan obat kimia seperti pestisida. Obat jenis organik yang mulai diperkenalkan nyatanya masih belum diminati karena hasil panennya kurang memuaskan. Efeknya juga masih kalah dibanding dengan yang berbahan kimiawi. Makanya dengan berjualan obat pertanian, Risa mencoba untuk membangkitkan ekonominya yang tengah terpuruk. Meski sedang terpuruk, karena dia dulu termasuk anak orang kaya, gaya hidup masa lalunya masih tetap melekat seperti caranya berpakaian, cara dan apa yang dimakan, termasuk cemilannya. Saat mendengar ceritanya, aku berharap di B. School bisa lebih serius dalam belajar, lalu melunasi hutang-hutang orang tuanya, membuatkan rumah untuk berdua, dan jika dia masih mau, aku akan membantu dia untuk melanjutkan kuliahnya.

“Udah jam satu, nih. Ntar kalau kelamaan disini, ongkosnya bisa lebih mahal, lo…” Ia mengingatkan aku yang hampir melupakan waktu. Karena jika aku sampai terminal di bawah jam empat sore, maka satu duanya kendaraan yang masih tersedia adalah taksi dan ojeg yang sekali antar bisa makan dana sampai limapuluh ribu. Beda sekali dengan angkudes yang dengan sepuluh ribu sudah bisa membuat sopirnya tersenyum.

“Makasih, Dek, udah pengertian ma Mamaz… hehe…” candaku sambil meluruskan punggung yang ternyata terasa pegal, lalu menggerakkan leher dan lengan hingga terdengar suara gemeretak tulang.

“Hati-hati, Mas. Semoga kalian tidak ketinggalan angkot lagi, hihi… “ sahutnya sambil mengajak bersalaman.

“Semoga ndak lah, Dek. Kita pergi dulu, ya?” Aku melepas pegangan tangannya yang putih tapi kasar itu. Berat rasanya meninggalkan dia sendirian, tapi saat kami baru keluar dari pintu, ayahnya sudah berada di luar hendak masuk.

“Kok, udah, Mas?” Beliau bertanya dengan mimik stagnan, tanpa senyum, tanpa mrengut. Kata Risa karakter ayahnya memang seperti itu. Katanya aku tidak boleh salah sangka dengan keorosinilan raut mukanya yang demikian. Tapi bagaimanapun memang susah di tebak.

Mpun, Pak. Sampun dangu,” kurang lebih artinya aku sudah lama berada di sini. Kami harus pamit. Kami pun bersalaman, beliau hanya diam tanpa ucapan “hati-hati” seperti kebanyakan orang. Sebelumnya, Risa juga sudah bilang kalau ayahnya itu pendiam, makanya jangan tertipu dengan sifat pendiamnya. Sebenarnya beliau baik dan memang begitulah karakternya. Tapi tanpa adanya dua kata yang diulang dua kali tersebut membuatku merasa kurang di mata beliau. Aku jadi galau.

ЖжЖ

Hutan dan Desa

“Selamat datang kepada semua teman-teman. Terima kasih kalian masih mau kembali ke B. School tanpa ada halangan. Apa ada yang merasa berhalangan?” Tanya Kang Is saat kami melakukan forum pertama pasca tradisi pulang kampung.

Serentak kami menjawab, “Alhamdulillah tidak, Kang.”

“Bagus kalau memang begitu,” sahutnya, lalu melanjutkan, “Sengaja aku suruh kalian kembali lebih awal karena kegiatan kita di bulan ini tidaklah sedikit. Untuk sekolah yang sudah kita bangun meski ala kadarnya baru satu ruang kelas yang sudah berdiri, itupun belum selesai dan tinggal finishingnya saja. Untuk dua ruang yang belum dibangun, rencananya akan dilanjutkan lain waktu saja karena bahannya kurang dan mengingat ajaran baru ini, anak-anak yang sudah mendaftar semuanya lulusan SD. Jadi otomatis yang akan digunakan hanya satu ruang untuk kelas satu saja.”

Dengan jaket baru yang aku kenakan, aku mendengarkan beliau bicara sambil mencatat. Beberapa teman yang lain juga memakai jaket dan baju yang baru pula meski nampaknya berharga murah. Secara strata sosial ekonomi, kami bukanlah anak orang kaya. Rata-rata pekerjaan orang tua murid B. School adalah para pekerja kasar yang penghasilannya tidak seberapa termasuk aku dan Roif. Inilah B. School, tempatnya anak kurang mampu yang kesulitan melanjutkan sekolah karena persoalan biaya.

“Meski sekolah yang ada belum sepenuhnya rampung, ini ada kabar baik,” Kang Is mempersilakan kami untuk menunggu apa kabar baiknya. “Kabar baiknya adalah, ada 24 calon pengajar yang sudah mendaftar seleksi di MTs PAKIS.”

Pakis? Bukankah itu nama sayuran yang gagal dimasak kemarin lusa itu? Ternyata yang memberikan nama tersebut Kang Adib. Beliau sengaja memberi nama unik tersebut untuk sekolah baru ini dikarenakan di lingkungan sekolahan banyak pohon pakis yang tumbuh. Beliau juga tahu kalau tanaman pakis bisa dimakan karena pernah disuguhi sayur tersebut oleh warga Pesawahan. Lalu Kang Is memberikan penjelasan kenapa namanya PAKIS, ternyata memiliki makna tersendiri.

“P-nya Piety, A-nya Achievement, K-nya Knowledge, I-nya Integrity, dan S-nya Sincerity. Jangan dikira ini singkatan dari nama saya. Pak Is,” kata beliau sambil tertawa.

Mendengar suara tawa kami, Kang Adib yang sejak tadi duduk di luar aula menjadi tertarik dan ikut bergabung. Melihat kedatangan beliau, Kang Is mempersilahkan Kang Adib untuk memberikan wejangan mungkin ada yang ingin disampaikan.

Assalamu’alaikum, teman-teman semua…” beliau membuka pembicaraan, lalu menatap ke arahku, “Kita semua sudah salaman dan saling memaafkan satu sama lain, kecuali bagi yang merasa tidak punya salah sama saya,” katanya menyindir. Sejak datang aku memang belum menjabat tangan beliau karena beliau kemarin sedang kurang sehat sehingga aku merasa kurang sopan jika harus masuk ke dalam kamarnya. Ah, sungguh tak enak sekali rasanya. Mau langsung salaman di situ, sudah pasti semua yang hadir akan tertawa. Jadi, sudahlah. Beliau pasti sudah telebih dahulumemaafkan saya meski melalui jalur non formal, pikirku saat itu.

“Sekolah tersebut tidak akan berdiri tanpa kerja keras kalian,” lanjutnya, ”Saya ucapkan terima kasih untuk yang sudah berkegiatan di Pesawahan. Dari yang ikut kerja bakti, sensus ke rumah penduduk, mencari murid baru, dan sebagainya. Sekolah ini sengaja kita dirikan kan, salah satunya untuk mencetak calon-calon kader pembangun desa yang mampu mengetahui kondisi suatu masyarakat secara rinci dan luas. Bagi anak-anak yang baru,” beliau menunujuk ke arah anak yang belum lama berada di B. School, “Sekolah ini tidaklah gratis, tapi mengharuskan kalian bagaimana caranya agar produktif. Jika kalian merasa punya bakat atau skill, bisa dikembangkan di sini. Ada yang bakat melukis seperti Roif, bermain musik seperti Diwan, Chamim dan Budi, komputer seperti Syukur, menulis puisi seperti Rono, menulis seperti Madras, dan yang lainnya. Jika kalian ada yang merasa memiliki kecenderungan yang sama dengan salah satu dari mereka, belajarlah, bertanyalah pada mereka.”

“Kami juga punya usaha jualan sandal buatan sendiri dan menjualnya sendiri. Jualannya ada yang keliling, di depan kampus, di pinggir jalan, hingga ke kantoran.” Glek, aku baru tahu kalau sandal yang menumpuk dalam plastik itu harus dijual dengan cara seperti itu. Aku tidak menyangka kalau teman-teman yang sudah lebih lama ada di sini ternyata sudah pernah jualan sandal layaknya pedagang asongan. Tujuannya ternyata sangat sepele, bukan untuk mengumpulkan uang tapi untuk biaya makan dan biaya operasional sekolah. Jika sedang ada acara yangmelibatkan orang-orang penting semacam pejabat dan kalangan militer, maka sandal-sandal itu akan ditata di atas sebuah rak dan diinformasikan kepada hadirin siapa yang mau beli. Harganya sangat terjangkau karena meski murah, sandalnya awet.

“Kalau ada yang bakat jadi pedagang atau pengusaha, kalian bisa menghubungi Aldo sebagai manajernya. Kalau dari anakcewek, ada Yuli yang pandai mengelola organisasi, ada Anna yang pandai mengatur waktu, Elma yang bisa menulis cerpen, Alya yang pintar ngaji, Fidya yang bisa mengelola keuangan dan teman lain yang kecenderungannya belum terlihat. Saya yakin kalian semua yang di sini memiliki potensi pribadi yang bisa dikembangkan.”

Setelah memperkenalkan kami lebih jauh, berhubung kami semua baru pulang dan baru kembali, Kang Adib menanyai kami satu persatu soal berapa jumlah uang yang saat ini kami pegang. “Harus transparan. Kita di sini kan semuanya keluarga. Saya hanya ingin tahu, kalau baru dari rumah itu uang saku kalian berapa.”

Sesuai arah jarum jam, satu persatu dari kami menyebutkan total jumlah uang yang kami punya saat itu. Jawabannya macam-macam.Yang terbanyak sampai pada angka 200 ribu, sedang jumlah terkecilnya ada yang 20 ribu, 15 ribu, hingga enam belas ribu rupiah. Pantas saja meski baru lebaran, jarang terlihat ada yang punya sandal baru. Meskipun ada, sebagian besar masih membawa sandal lama meski kondisinya sudah tipis dan umurnya sudah tidak lama lagi.

ЖжЖ

Siang itu situasi di asrama sedang sangat sibuk. Anak-anak banyak yang mengemasi barang ke dalam tas dan kardusnya masing-masing. Yang merasa punya lemari, lemarinya ikut diangkut keluar kamar. Sementara yang lain sedang sibuk seperti sedang terjadi kebakaran, aku hanya tiduran santai sambil memperhatikan. Pakaianku, kardusku, bukuku juga berpendirian sama. Hari ini semua penghuni kamar 5, 6 dan 7harus direlokasi ke penampungan yang berada di kantor dengan platangka 8. Kedatangan anak-anak dari luaryang ingin mengikuti acara katanya banyak, maka agar tamu-tamu tersebut merasa nyaman menginap, kami harus diungsikan untuk beberapa hari sampai acara selesai dan mereka pulang.

Makin lama ruangan dalam kamar semakin luas saja, tandanya kantor sudah makin sempit. Agar tidak kehabisan tempat, aku segera membawa tasku untuk menandai batas wilayah kekuasaan. Tentu tempatnya harus strategis karena aku juga akan membawa lemari kebanggaan yang terbuat dari bambu dan kardus.

Setelah semua kamar kosong, pekerjaan berikutnya tentu menyapu hingga bersih, untuk Rono dan Arif, mereka sampai mengepelnya. Begitulah dua orang ini, mereka sama-sama suka dengan kebersihan sehingga aku yang sekamar dengannya tidak perlu menyapu karena sudah ada spesialisnya. Aku akan menyapu saat mereka sedang pulang saja.

Tak berapa lama mulai banyak mobil berdatangan dan berjejer di halaman depan. Isinya berhamburan dan mulai jalan-jalan…

ЖжЖ

“Orang yang mampu bertahan hidup adalah orang yang survive, yang masih punya semangat hidup dan yang bisa memperbaiki persoalan hidupnya agar menjadi lebih baik. Kalian harus berani berubah, harus mencari solusi perbaikan. Dengan belajar dan bertemu banyak orang maka bisa menjadikan kita lebih terbuka untuklebih tahu kondisi teman-teman atau orang-orang yang memiliki keinginan tapi belum bisa mewujudkannya hingga akhirnya, kita bisa menjadi manusia yang lebih manusiawi, being humanize,” dengan berapi-api, Kang Is memberikan pengarahan kepada kami semua yang saat itu dari 32 anak menjadi 50-an anak. Ada sekitar 20-an anak yang hadir dan rela menginap untuk belajar bersama dengan kami. Saat itu hadir juga beberapa tokoh yang sekaligus sebagai narasumber. Mereka semua mendengar dengan serius, kadang berbincang dengan yang duduk di sampingnya.

“Orang menulis itu biasa, seperti yang baru kalian tulis ini, dan semua tulisan kalian isinya baik. Tapi yang patut dipertanyakan dari sebuah tulisan, kira-kira penulisnya sadar apa tidak dengan yang telah ditulis? Kan banyak, orang yang kalau menulis isinya baik sekali, tapi ternyata perilakunya beda jauh dengan apa yang ditulis. Apabila kita sadar dengan apa yang kita tulis dan kita katakan, maka mari kita lakukan, biar tidak menjadi tulisan saja. Dalam berpendapat juga kita tidak perlu saling menyalahkan, karena kita sama-sama sedang berjuang agar kedepannya semua jadi jauh lebih baik.”

Sementara beliau bicara, aku yang saat itu ditugaskan sebagai notulen terus fokus mendengar dan mencatat. Ada teori yang menyinggung sebuah tulisan, sambil menulis aku jadi berpikir apakah yang selama ini aku tulis itu benar dan jika benar, apakah aku sadar? Sadar bukan hanya tahu bagus tidaknya sebuah tulisan yang aku buat, tapi yang terpenting apakah aku mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari?

Seorang anak ada yang mengangkat tangan, “Pak, bagaimana caranya menulis dengan baik?” Tanya anak berpostur krempeng bernama Iro. Ketika sudah akrab, aku memanggilnya Iro Sableng.

Tahu ada yang bertanya, Kang Is tersenyum senang. Bagi seorang pembicara, pertanyaan merupakan tanda bahwa pendengar, audience punya minat dan yang terpenting sang speaker memang diperhatikan.

“Pertanyaan bagus, Mas Iro,” jempolnya tertuju kepenanya, “Menulis bisa dijadikan sarana untuk mencurahkan ide. Ada yang sifatnya untuk dikonsumsi sendiri seperti diary, ada juga yang berupa pesan atau informasi untuk bisa dibaca orang lain. Oya, yang penulisan yang kamu maksudkan itu yang bagaimana?”

Meski agak bingung, Iro menjawab.

“Yang mirip cerpen atau novel, Pak. Kalau surat cinta, kan sudah tidak musimnya lagi,” celetuknya mengundang tawa.

“Kalau yang itu tinggal tulis saja. Tulisan kan bisa disebut juga dengan curahan hati yang diwujudkan melalui sebuah tulisan. Jadi, intinya tulisan adalah hal yang dimulai dari yang kita pikirkan, rasakan dan kita lihat. Sebagai contoh saat kamu ingin menulis cerpen tapi belum dapat ide, bisa dimulai dengan jalan-jalan. Lihatlah sekeliling, carilah inspirasi,” jelasnya. “Ada pertanyaan lagi?”

Satu anak lagi yang angkat tangan. Namanya Gino, ketika sudah akrab aku memanggilnya Ginosaurus.

“Aku masih kurang tahu bagaimana caranya mencari inspirasi. Mungkin Bapak Is punya tips dan triknya?” Gaya rambutnya yang belah tengah disingkapkan, sangat cocok dengan model wajahnya yang amat pribumi.

Dengan segera Kang Is menjawab, “Ambil contoh di jalan raya. Kalau seseorang yang sedang mencari inspirasi, ketika melihat seorang ibu membawa bayi dia akan lebih teliti lagi. Apakah muka anaknya mirip? Kalau tidak mirip itu anak siapa? Di mana mereka tinggal, punya suami atau tidak? Dan masih banyak lagi yang bisa digali. Ini hanya sebagai contoh. Masih banyak objek lain yang akan lebih menarik jika diceritakan. Ada pertanyaan terakhir? Karena sudah semakin sore, kita akan segera break dan diskusi akan dilanjutkan sehabis isya’.”

Ada yang angkat tangan lagi dan langsung bertanya.

“Bagaimana agar tulisan menjadi banyak seperti cerpen atau novel? Saya juga pernah menulis cerita, tapi sangat singkat.” Kali ini yang bertanya bernama Samsul, setelah akrab aku memanggilnya Sam karena panggilannya memang itu.

“Ambil contoh saat pagi hari, kita bangun tidur, melihat jam, melihat jendela, mendengar suara daun tertiup angin, kokok ayam, air yang dingin, cahaya matahari, dan masih banyak lagi. Dalam sebuah novel, setiap sisi akan lebih bagus jika di tuliskan agar yang membaca jadi tahu kondisi saat ada tokoh yang di ceritakan. Karena novel atau cerpen itu bukan film dan bukan komik yang kondisinya sudah dijelaskan melalui media gambar.”

Selesai acara aku harus segera menyalin tulisan tangan yang hanya aku yang mampu membacanya ke dalam laptop. Setelah mendapatkan lokasi yang nyaman di pojokan penampungan, aku segera mencolokkan kabel charger laptop ke terminal karena baterainya sudah rusak dan bisa mati tanpa peringatan low terlebih dahulu. Setelah menekan tombol power, aku tersentak kaget karena ada aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuh. Penyakit kambuhan benda canggih itu kumat lagi.

ЖжЖ

Kang Adib menyarankan agar aku menulis yang penting-penting saja. Tapi tetap saja aku menulis begitu banyak, bahkan semua kata-kata para pembicara yang datang hampir semuanya penting dan layak dicatat. Maka, ketika acara tengah berlangsung, aku akan mencatat seperti orang kerasukan jin wartawan. Aku hanya berharap laptopnya segera normal agar aku bisa mengetik nantinya.

“Ingat, setelah acara selesai. Semua yang kamu tulis harus sudah selesai diketik dan serahkan kepada saya.” Pesan Kang Adib ketika melihatku sedang jalan-jalan sambil menenteng buku catatan.

Aku mengangguk dan dengan mantap menjawab, “Baiklah, Kang. Pasti akan selesai.”

Acara mulai, aku harus sudah duduk manis dibangku terdepan agar tidak melewatkan informasi manis yang akan dibawakan oleh seorang pembicara dari Dinas Kehutanan. Karena aku notulen amatir, hal yang membuat aku senewen adalah manakala si pembicara bicaranya sangat cepat secepat debat Caleg dan terdengar pelan sepelan bisikan orang yang sedang membicarakan tetangga. Untung yang kali ini tempo bicaranya standar, namun tegas dan jelas. Aku beruntung.

“Jadilah kalian pemuda penggerak desa dengan melihat potensi dan kegiatan yang bisa dilakukan. Seperti membuat permainan edukatif untuk anak-anak dan sebagainya yang sifatnya pendidikan SDM. Tapi dengan memanfaatkan SDA atau potensi yang ada. Jangan pernah menyerah, masih banyak proses, waktu, dan cara agar tahu bagaimana menggerakkan desa, karena desa adalah paru-parunya kota. Kenapa bisa disebut begitu? Karena kota tidak akan ada apa-apanya jika tidak mendapatkan suplay dari hasil desa. Meski orang yang berasal dari kampung, saya juga pernah menjadi ketua Lembaga Perlindungan Anak di Cilacap dan pernah menjadi sekretaris Ibu Bupati. Prinsipnya, adik-adik sekalian jangan minder, jangan kecil hati. Karena kita pun bisa jauh lebih majudan pintar daripada orang-orang kota. Prinsipnya ya itu, jangan minder dan kecil hati,” sabdanya.

Meski terus mencatat, aku agaknya memberontak. Menurutku justru anak-anak desa itu tidak minderan, kalau lebih mundur dan lebih bodoh, agaknya aku setuju.

“Pada zaman dulu, semua perahu dibuat dari kayu, itu artinya hutan sudah ada sejak zaman dulu sekali. Karena sekarang temanya hutan Jawa, adik-adik sekalian juga harus mengenal pulau Jawa. Pulau Jawaadalah pulau terbesarke-13 di dunia. Kalau yang terbesar pertama ada di Denmark, Green Land. Sedang Papua beradadi urutan ke-3, disusul oleh Kalimantan yang berada di 10 besar pulau terbesar di dunia. Pulau jawa juga menjadi pulau yang terpadat didunia dengan 136 juta orang penduduk, jadi tiap Km/segi pulau ini diisi lebih dari 1000 orang.Pulau Jawa terbentuk dari dari aktivitas vulkanik, sehingga pulau inidikelilingi oleh gunung-gunung yang sebagian masih aktif. Pada masa kerajaan, gunung Tambora pernah mengalami sebuah letusan hebat hingga memusnahkan satu kerajaan. Danau Toba juga memiliki peringkat sebagai danau vulkanik terbesar dunia. Keuntungandari efek vulkanik ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan tanah tersubur di dunia. Itu artinya dengan potensi tersebut,jika tanah bisa dikelola dengan baik pasti elemen-elemen lain juga akan terangkat. Seperti sandang, pangan, papan, sosial dan sebagainya. Sampai di sini, ada yang ingin tanya?” Orang muda yang menjabat sebagai ADM dan bernama Mas Wawan itu menunggu.

Dari arah tengah Firman mengangkat tangan. “Ya, silahkan,” kata Mas Wawan.

“Jika Indonesia bisa disebut sebagai pulau vulkanik, artinya ada pulau yang paling rentan, ya, Pak?” tanyanya singkat dan dipenuhi rasa ingin tahu.

“Bagus! Tentu saja ada. Selain sebagai pulau yang subur, ternyata pulau Jawa juga termasuk pulau paling rentan. Jika ada salah urus sedikit saja maka akan mudah rusak. Apalagi jika kerusakannya parah, pasti dampaknya juga akan lebih besar. Meski rentan, ternyata penduduk Indonesia lebih suka berada di pulau Jawa, karena 60% orang Indonesia itu berada di pulau Jawa hingga kata orang luar negeri, orang Indonesia itu hebat-hebat karena berani hidup di tanah vulkanis yang masih aktif.”

ЖжЖ

Dwilogi Kabar Buruk

Tak ada yang tahu betul kapan saatnya bagi seseorang untuk berperan didalam keinginan sejatinya. Ketika kecil, mayoritas orang ingin menjadi dokter, guru, astronot atau pilot saat sudah dewasa. Tapijalur masa depannya justru menjadikan orang tersebut sebagai petani, PNS, hingga polisi. Saat ini, meski sudah dewasa dan hidup dengan anak-anak yang menjelang dewasa, nyatanya aku belum tahu akan jadi seperti apa nantinya. Karena ketika masih kecil, aku sendiri tidak tahu atau mungkin sudah lupa akan bercita-cita jadi apa.

“Kamu teruskan profesi petani Ayah dan Ibu,” kata Ayah.

“Jadilah professor!” kata temanku saat aku berhasil membuat mobil-mobilan yang bisa berbelok sendiri.

“Dia adalah penulis.” Roif selalu bilang begitu saat memperkenalkan aku dengan temannya. Bukan sebab aku sudah menelurkan sebuah buku, tapi karena dia sering belajar menulis denganku.

Tadi adalah kata-kata “audience” yang mampu membuat seseorang yang masih belum berpedirian menjadi galau memikirkan masa depannya. Kini, dengan belajar bersama anak-anak B. School, aku hanya bisa berharap pada tugas yang akan diberikan. Bukan karena apa, tapi mungkin dengan berbagai tugas dan aktifitas baru, aku akan menemukan titik citaku di situ. Dari hal tersebut, kadang aku harus mengamati beberapa teman yang jejak hidupnya bisa dijadikan referensi sebuah perubahan dalam kehidupan. Perubahan kecil kadang dirasa tidaklah begitu penting, tapi dengan perubahan kecil yang kadang disepelekan itulah justru hal-hal besar akan datang.

Lihatlah Beni, anak yatim itu saat pertamakali datang adalah anak paling pendiam jika disuruh bicara. Jika sedang ngobrol kalimatnya putus-putus dan awalannya selalu diulang-ulang seperti orang gagap. Karena kekurangannya itu, saat ada forum dia sering ditunjuk sebagai pembicara. Entah bercerita, menyampaikan laporan, hingga sampai pada memimpin forum. Sekarang meski kalimatnya masih patah-patah tapi tak ada yang menyangka kalau sebelumnya cara bicaranya amatlah buruk. Tapi beruntung, bakat melukisnya yang menonjol bisa menutupi sedikit kekurangannya yang masih tersisa.

Kemudian ada Aldo, anak bertubuh besar itu saat pertamakali datang adalah sosok yang paling dijauhi dan paling tidak dipercaya oleh teman-teman. Alasannya karena prilakunya yang aneh dan suka sekali berbohong. Jika memuji teman juga tidak tanggung-tanggung dan terlalu jujur. Suaranya juga keras sehingga teman-teman yang lain bisa dibuat iri karena tidak dipuji. Suara kerasnya juga akan membuat beberapa orang merasa terganggu. Apapun akan dia bicarakan, meskipun itu hal yang sangat tidak penting sekalipun.Namun dengan beriringnya waktu, sedikit demi sedikit, dia mulai terlihat lebih normal ketimbang dulu. Karakternya yang aktif dan eksploratif membuatnya menjadikan dia sebagai informan.

Yang lebih parah adalah anak-anak yang pernah mengatasnamakan dirinya sebagai para Clurut. Urusan kegiatan sehari-haridan tugas, mereka cenderung malas dan jarang terlihat. Hari-hari mereka lebih banyakyang terbuang sia-sia di dalam kamar karena terjangkitpenyakit para remaja berupa SMS-an, membahas wanita, dan ngobrol tanpa tema. Tapi jangan tanya soal makanan, fantastic four itu akan langsung terlihat begitu ada aroma lezat yang masuk melewati lubang hidungnya. Oknum tersebut adalah Diwan, Leppi, Adi, dan Jefri.

Kalau soal mengantuk saat sedang ada forum, ambassadornya tidak lain adalah Anna. Meski sudah tidur siang, dia tetap tidak bisa lepas dari gangguan hypersomnia yang sudah lama bersemayam di kedua bola matanya. Berkali-kali dibangunkan, berkali-kali dia tertidur kembali.

Ada juga anak yang paling sering telat dan terlalu rilek jika sedang mengerjakan tugas. Bahkan Veni pernah memberikan gelar lelet padanya. Siapa lagi kalau bukan aku. Dengan stempel tersebut, aku harus bisa berubah, bagaimana caranya agar keleletan yang sudah dipelihara selama bertahun-tahun itu bisa diimpotensikan, digugurkan, lalu dibuang.

ЖжЖ

Jika saja keringat bisa menggantikan pupuk tanaman, pasti semua petani akan berlomba-lomba memproduksi keringat sebanyak-banyaknya agar tanaman jadi subur ijo royo-royo. Di samping Budi yang terengah-engah karena terik siangsedang begitu panas, ada sosok anak kurus yang sedang berteduh di bawah pohon cemara sambil mengasah sebilah clurit. Meski kurus, Bekti yang oleh keluarganya di panggil dengan nama Gedor ini memperlihatkan otot tangannya yang kuat.

Tak jauh dari kedua anak itu, beberapa anak lainnya juga sedang menjemurkan diri dibawah terik dengan kesibukannya masing-masing. Karena hari minggu, kami semua punya kegiatan ekstrakulikuler yaitu kerja bakti membersihkan halaman asmara, eh asrama. Soal bersih-bersih, kami juga punya spesialis sendiri-sendiri. Yang ototya kuat seperti Budi, Roif dan Arif lebih suka memegang cangkul. Ada Bekti, Andri dan Aweng yang lebih nyaman kalau memotong rumput halaman. Sedangkan Yuli, Alya, Indah dan teman cewek lainnya bertugas mencabuti rumput yang tumbuh di sekitar halaman, tanaman, dan sela-sela batu paving.

Karena aku suka jalan-jalan, yang aku lakukan adalah mengumpulkan rumput dan membawanya ke belakang asrama dan menumpuknya di sana hingga membukit, dibantu dua mantan Geng Clurut yang sudah resmi dibubarkan melalui konferensi rahasia seminggu yang lalu, Leppi dan Adi.Sementara sisanya, Jefri dan Diwan sedang membersihkan aula bersama Komah dan Elma. Melewati dapur, bukan Sukur namanya kalau tidak terlihat di dapur, dia terlihat sedang menyirami lantai dapur diiringi suara prabot yang sedang dicuci. Terlihat juga di situ adaRocy, Feri dan Trio O. Mereka adalah RonO, TusrO, dan WarsO.

Tak lengkap jika tidak ada si Ujang. Di bawah naungan teras kamar, ia nampak santai tapi langsung bergerak jika ada yang membutuhkan. Dialah motor Impressa tua yang penuh jasa. Meski sudah butut, tapi masih mampu berjalan meski terkadang menggeram lemah. Dalam berbagai aktifitas yang harus dilakukan agak jauh atau memang jauh dari tempat kami, si Ujang itu selalu setia menemani. Motor tersebut ada berkat hasil gadai seorang teman. Dalam kesederhanaanya, ia sangatlah dibutuhkan. Jika rumput yang lokasinya dekat mulai sepi, maka yang bertugas mengarit akan menunggangnya untuk mencari rumput di tempat lain. Membeli air galon, pergi ke pasar, dan kegiatan di luar, besi tua itu pasti ikut serta.

Di antara banyaknya orang, yang paling perhatian dan suka merawat adalah Arif. Anak yang sulit menyebut huruf f itu paling teliti kalau si Ujang sedang ada masalah. Seperti saat kaca spionnya hampir copot, berbagai cara dia lakukan agar kaca mata-mata itu tetap kukuh menempel di kedua stang. Dari di selotip, di lem, hingga diikat karet. Jika ada orang yang memakai harus ijin dulu karena kedekatannya itulah dia dilantik sebagai penanggungjawab si Ujang. Yang mau pinjam juga alasannya harus jelas dan keadaannya juga harus penting. Karena kalau tidak maka jawabannya…

“Jalan kaki aja… Ujang butuh istirahat.”

ЖжЖ

Seperti biasa, jika waktu sedang senggang, para penghuni B. School lebih suka menghabiskan waktu di gazebo. Aku paling suka kalau ngobrol sambil membawa sebuah buku bacaan. Beberapa teman seperti Budi, Rono dan Adi juga kadang betah berlama-lama sambil mengamati tiap lembar kertas yang ada kalimatnya itu.

“Aku akan budidaya cacing. Pasti menarik dan banyak hal yang bisa dilakukan,” ucap Budi mendadak seperti biasanya. Melihat ekspresi kami yang berisi tanda tanya, dia lantas melanjutkan.

“Kalian tahu tidak? Cacing itu lambang kesuburan. Dari bekas tanahnya bisa dijadikan pupuk organik. Lalu cacingnya bisa diproses untuk pakan ternak organik berbahan dasar cacing. Kalau bukan itu ya bisa dijual utuk dibuat obat. Jadi keuntungan lainnya, tanaman juga akan tumbuh dengan baik menggunakan pupuk tersebut. Bagaimana?”

Aku yang tidak tahu hanya manggut-manggut. Itu kalau Budi. Beda juga dengan Bekti.

“Aku ingin jualan apa saja asal yang dijual masih jarang yang jual. Mad, kamu punya pohon rica-rica, kan?” tanyanya.

“Bukan rica-rica, tapi carica. Aku punya. Kenapa?”

“Iya, itu. Kalau sekilonya berapa? Panennya berapa bulan?” tanyanya lagi. Kadang pertanyaannya melatih kesabaran karena punya mata rantai.

“Kadang seribu, kalau lagi mahal bisa lima ribu. Panennya bisa seminggu sekali. Hebat, kan?” Aku mulai tergoda untuk memamerkan buah khas tempatku berasal.

“Itu yang dalam kaleng atau masih utuh?”

“Kamu maunya yang mana?” aku mulai sebal.

“Yang belum diolah. Masih berbentuk buah.” Sambil bertanya, mukanya kian mendekat saja. Ia sangat antusias.

“Kalau yang masih buah ya segitu harganya. Kalau yang udah dibungkus baru lebih mahal.”

“Itu buatnya gimana, sih? Katanya tidak pakai pengawet?”

“Iya betul,” jawabku singkat.

“Bisanya tidak pakai pengawet pakai apa?” “Mirip pepaya, ya?” “Kok bisa kecil-kecil gitu, sih?” dan pertanyaan lainnya. Akhirnya ditutup dengan…

“Lain kali aku ingin mencoba jualan di rumahku.. Kita bisa kerja sama , brooo. Do’akan aku semoga terlaksana.”

“Amiiin…”

Itulah Bekti, anak yang selalu ingin mencoba bisnis baru sehingga sulit ditebak di mana dia akan mendarat.

ЖжЖ

“Forum malam ini katanya akan ada dua kabar kurang menyenangkan, ya?” Fa’i bertanya dengan muka cemas karena motif mukanya memang demikian. Sementara beberapa anak mulai berhambur keluar kamar menuju arah aula.

“Ha? Masa, sih?” aku justru tidak mengendus adanya kabar itu. “Aku malah ndak tau jah, Fa’. Nanti kita juga akan tahu kabarnya apa. Ayo,” kami meringsut keluar dan ikut bergabung dengan yang lain.

Biasanya soal informasi, Yuli lebih apdet daripada aku. Maka aku duduk di sebelahnya dan mengajaknya berbisik.

“Nanti juga kamu tahu. Aku juga belum tahu,” bisiknya.

Setelah semua berkumpul, Andri mulai membuka forum. Katanya salah satu kabar buruk akan disampaikan oleh anak tinggi kurus dan memiliki rambut yang berdiri alias jabrik tersebut. Sambil mendengar pembukaan seperti menanyakan kabar, hal apa saja yang sudah dilakukan dan sebagainya, mata kami terus memandang komat-kamit mulutnya menanti kabar apa yang akan meluncur malam ini. Jika diperhatikan, semua yang hadir saling tebak menebak, ada apa gerangan.

“Tadi saya ke Pesawahan sebentar untuk melihat keadaan kambing kita yang ada di sana, yang kita pasrahkan kepada warga. Coba tebak, Mad. Kira-kira apa yang terjadi?” dia menunjukku. Semuanya mata langsung memandang ke arah yang ditanya.

Setelah berpikir sebentar, “Mungkin kambingnya ada yang mati?” tebakku tidak yakin. Karena tebakannya salah, Andry menunjuk Diwan. Anak berambutkriting absolut itu juga tidak tahu.

Dengan berat kata, Andri menjawab pertanyaannya sendiri.

“Semua kambing yang ada di kandang sudah tidak ada.”

Para hadirin-hadirot terkejut.

ЖжЖ

Kami semua tidak menyangka dan tidak habis pikir kenapa kambing-kambing yang tidak berdosa itu bisa musnah tanpa bekas dari tempat tinggalnya. Berbagai spekulasi dan dugaan mulai bermunculan sehingga membuat forum malam itu benar-benar meriah suasananya. Semua menjadi semakin antusias dan ingin ambil bagian dalam berpendapat. Dari kekhawatiran teman-teman yang terpancar, yang bisa aku lakukan hanya tetap bersikap tenang. Aku punya pandangan tersendiri mengenai suatu masalah. Semakin banyak masalah, maka hidup akan semakin keren dan menantang selama masalah itu bukan hasil perbuatanku, tapi masalah yang lebih bersifat tekanan dan tuntutan hidup. Dalam menghadapi masalah, aku biasa menerima dengansistem keep calm dan tanpa berlebihan. Aku hanya ingin tahu, masalah itu akan membuatku seperti apa dan bagaimana. Apakah akan membuatku tersungkur, duduk, berdiri, atau terbang.

“Mungkin karena ada oknum tertentu yang menyebabkan demikian?” kata Inda, diiyakan oleh Komah. Sedangkan Aldo membantah.

“Bukan. Tapi kalian tahu sendiri kalau ada beberapa warga yang kurang suka dengan program dan kegiatan kita di sana.”

Budi juga ambil suara, biasanya lebih mudah diterima khalayak, “Begini, kawan-kawan. Warga kampung tersebut masih memiliki ketergantungan dengan ekonomi. Jadi yang mereka tahu, kalau kerja harus dapat uang, mereka mengira kalau rumput yang mereka cari harus ada bayarannya sedangkan kita tidak memberi mereka uang sepeserpun dari jasa mencarikan rumput untuk kambing. Lalu mereka emosi dan melampiaskannya dengan cara menjarah semua kambing-kambing tersebut.”

“Pasti ada profokatornya. Ada satu orang yang sudah kita curigai.” Kata Priman tiba-tiba. Aku mengangguk dan sepintas senyuman sinis manusia tersangka itu melintas di kepala.

Ketika sedang membahas dan mencari titik permasalahan, Kang Is datang sambil tersenyum. Kemudian beliau duduk di tempat biasa.

“Itu tantangan sekaligus pembelajaran untuk kalian,” katanya. “Bagaimana cara menghadapi dan membimbing masyarakat dengan baik dan tepat. Rupanya setelah beberapa bulan, kita masih saja belum mengetahui benar karakter masyarakat di sana, ya? Karena itu masih ada banyak hal yang harus kita gali.”

Benar, agar mampu memahami suatu hal secara menyeluruh memang tidak butuh waktu sebentar, lalu sudah merasa puas. Bukannya aku menjelek-jelekkan masyarakat tersebut, tapi memang begitu adanya. Mereka memang masih primitif dan agaknya materialis juga, selain itu masih gampang dipengaruhi. Wajar, karena menyangkut pendidikanmereka tertinggal. Terlintas singkat kata orang saat dulu aku bertekad untuk tidak sekolah: kamu akan mudah ditipu orang.

ЖжЖ

“Kita sudah berperoses di sana, oleh karenanya harus tetap dilanjutkan. Bagaimana?”

“Siap, Kang,” jawab kami serempak.

Soal tugas atau kegiatan apapun, baik Kang Is ataupun Kang Adib selalu mempertanyakan apakah kami siap atau belum. Kalau siap ya dilaksanakan, kalau tidak siap ya tidak masalah. Kalau tidak siap, biasanya siswa akan disuruh memilih sendiri kiranya tugas macam apa yang mampu dilakukan. Mau berkelompok atau sendiri tergantung kemauan dan kapasitas anak itu pribadi.

Kini, Kang Is sudah siap untuk menginformasikan desas-desus yang kata beberapa orang dianggap sebagai kabar buruk ke-2. “Ini bukan kabar buruk, sebenarnya kabar baik,” jelasnya membuat penasaran saja.

Dalam beberapa even, tutor memang sengaja membuat kami penasaran dengan kalimat yang terkadang tidak terduga sama sekali. Kalau menurut Kang Beta, teman kami yang jago menghipnosis orang baik di tempat umum atau klinik terapinya, kalimat yang menimbulkan pertanyaan disebut dengan simple deletion. Karena dari kata-katanya ada kalimat yang dihilangkan, dikurangi, atau disembunyikan.

“Kita ambil saja dari sudut pandang yang menguntungkan. Hal seburuk apapun, jika kita mau melihat dari perspektif positif pasti hal itu juga akan positif. Kabar baiknya menyangkut sekolah yang sudah kita bangun.”

Ah, simple deletion lagi. Kata Kang Beta itu melanggar etika berbicara di depan publik. Aku benar-benar sudah tidak sabar menanti “kabar baik” tersebut. Sementara Yuli yang duduk di sebelahku nampaknya sudah tahu. Dia senyum-senyum sendiri, tandanya tidak ada gejolak di otaknya yang merupakan tanda penasaran. Tidak seperti aku dan lainnya yang tegang.

Kang Is terdiam beberapa saat untuk melihat respon kami semua.

“Semua calon guru yang sudah mendaftar seleksi di MTs PAKIS, semuanya telah mengundurkan diri.”

Para hadirin-hadirot terkejut lagi.

ЖжЖ

Menu Spesial #1

Sudah seminggu ini Roif tidak terlihat karena sedang pulang ke rumah. Beberapa kali aku SMS tapi jarang sekali terkirim, beberapa teman yang lain juga sampai mencoba menghubungi tapi kata operator, kalau nomornya tidak aktif ya berada di luar jangkauan. Aku bingung dan galau menderaku.

Alya yang melihatku seperti orang kehilangan arah jadi ingin tahu, “Kenapa, kok cemas amat, Mad?” tanyanya melambatkan langkah, menunggu jawaban.

“Aku lagi pengen cuci baju,” jawabku ngambang. Tapi memang itu alasannya.

“Lho? Tinggal cuci aja, jangan malah bingung. Huuu… ana-ana bae ko, lah,” (ada-ada saja kamu ini) usulnya sambil menuju dapur. Aku tahu dia berniat untuk masak siang, tapi dia juga tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Rencananya Roif akan datang hari ini, tapi dihubungi saja susah. Yang membuatku cemas karena aku sudah tidak ada baju yang bersih, odol habis, sampo apalagi, sabun mandi pun sudah tipis dan patah menjadi dua bagian. Aku juga kasihan dengan Beni yang sudah merasa tertipu karena mau meminjamkan uang kepadaku sehari yang lalu. Dia mau meminjamkan uang sepuluh ribu terakhirnya karena aku mengatakan akan dikembalikan hari ini. Kulihat sang seniman itu sedang duduk khusyuk sambil menggambar kepala harimau di atas selembar kertas HVS.

“Maaf, Ben. Kalau tidak datang hari ini, mungkin besok,” kataku merasa bersalah.

“Tidak apa-apa. Selama masih bisa makan ini. Iya, mbok?”

Makan? Aku juga sudah merasakan lapar yang lumayan. Tapi tahukah kalian kalau hari ini sudah tidak ada bahan makanan yang tersisa selain empat bungkus mie instan? Untuk lebih memperjelas dugaan, aku kembali ke dapur. Alya masih berada di situ, di tempat pencucian piring.

“Sudah tidak ada apa-apa? Beras gimana?” tanyaku sambil membuka wadah yang biasa dijadikan tempat penyimpanan yang memang sudah kosong. Kulkas juga mlompong, tapi di atasnya ada tiga bungkus mie instant tergeletak menggoda.

Alya berdiri meluruskan punggungnya yang pegal karena lama membungkuk habis mencuci. “Aku tidak tahu akan masak apa. Mie tiga bungkus mana cukup untuk semua, ya?” dia bingung. Tapi bukan bingung soal perutnya, melainkan perut teman-temannya. Salah satu hal kenapa dia lebih kurus dari yang lain karena dia jarang makan. Kalaupun makan hanya sedikit dan terkadang aku minta dibagi.

Tak berapa lama Aweng masuk, ikut nimbrung. Dia bilang sudah keliling kamar mencari anak yang mau patungan membeli beras, tapi mayoritas penduduk sedang tidak punya uang. Kalaupun ada hanya beberapa perak. Dia menunjukkan beberapa receh dan lembar uang yang semuanya berjumlah empat ribu rupiah.

“Cuman segini, tok. Haha…” tunjuknya sambil tertawa. Memang terdengar lucu, tapi begitulah adanya.

Beberapa orang, dalam situasi tertentu akan mengalami hal tertentu. Ada yang sifatnya bawaan, dan ada juga yang tidak. Sedang aku punya sedikit warisan dari Ibu,jika sedang lapar, maka kepala akan pusing. Aku mulai pusing dan mual.

ЖжЖ

Nando dan Chamim terlihat di pintu gerbang sambil membawakan rumput untuk kambing, dilihat dari kondisinyamereka terlihat kelelahan dan pastinya kelaparan. Aku kadang tertawa sendiri melihat kenyataan yang terbilang langka ini. Rasa lapar massal dalam satu asrama.

“Udah ada yang masak, Mas?” pertanyaan Nando sudah kutebak dua detik sebelumnya.

“Logistik sedang tidak ada. Kita tunggu keajaiban saja,” kataku memandang jarum jam yang terpendek sudah hampir mendekati angka tiga.

“Ha? Habis sama sekali?” ia terbelalak tak percaya, “Mau makan apa aku siang ini?” galaunya meningkat, karena soal makanan porsi Nando terbilang banyak. Dia langsung menelusuri tiap kamar untuk meminjam uang, tapi sekarang kami sedang kompak tak beruang.

Beberapa anak ada yang menunggu keajaiban dengan tidur-tiduran, ada yang sedang memikirkan tugas, mengetik, diskusi, dan aku membaca buku sambil tiduran di gazebo. Untuk menjaga pening kepala, entah sudah berapa gelas air yang kuminum untuk mengganjal kekosongan di perut. Biasanya masih ada sisa sayuran yang bisa dipetik dan dimasak bersama mi, tapi semua sayuran yang ditanam hanya tinggal batangnya saja, kalaupun berdaun, daunnya sudah meranggas tua dan berlubang-lubang dimakan ulat.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring penuh semangat yang memanggil dari arah kamar. Aku melongok, ada Warso yang melambaikan tangan agar aku segera mendekat ke arahnya.

“Apakah ada makanan?” batinku seraya bergegas menuju ke arah orang kelaparan tersebut.

“Roif SMS, Roif SMS!” seru Beni seperti orang ketiban rejeki satu miliar sambil menunjukkan hapeku. Ada kotak masuk yang belum dibuka: “1 pesan dari Roip diterima”.

Setelah hape Made in China itu sudah berada di genggamanku, kami semua mulai tegang. Karena momen seperti itu selalu ada hubungannya dengan logistik ataupun oleh-oleh. Biasanya anak yang baru pulang akan membawa sesuatu berupa bahan makanan seperti beras, sayuran, bumbu, buah, hingga makanan ringan.

Maap BrO, aKu BeLum BisA daTaNg hAri Ini.

Kata SMS itu. Kami semua lemas.

Tak berapa lama ada pesan masuk lagi, masih dari Roif:

SorI, sAlAh KiRim. SmS TaDi buAT tMnKu, Aku sEkaRAng Lgi Di TerMiNAL. JeMpUT aKu BrOOo…

Wajah-wajah yang tadinya terlihat kusam menjadi lebih cerah.

ЖжЖ

“Brummm… brummm…” suara si Ujang meraung-raung lalu semua bodinya bergetar-getar menimbulkan suara gemeletak seperti ada bagian tubuhnya yang mau copot. Maklum, motor tua kebanyakan seperti itu.

“Aku cabut dulu,” kata Diwan yang hendak menjemput Roif di terminal yang letaknya berada di bagian atas, sekitar dua kilometer jauhnya.

Sambil berdiri di depan kamar, aku mengangkat tangan dan berpesan, “Jangan lama-lama, uwis kencot kieh” (sudah lapar, nih) diiyakan oleh para pendengar. Kini, soal perut semua penghuni B. School sedang berharap pada anak Dieng berkumis tipis itu.

Aku mulai berpikir-pikir, kira-kira makanan model apa yang dia bawa. Semoga saja dia bawa beras atau makanan karbohidrat lainnya yang bisa mengganjal perut. Tapi semua orang sudah tidak perlu ragu kalau dia akan membawa makanan andalan, yaitu kentang dan buah carica kadang dengan dukungan berupa biskuit wafer atau krispi. Masing-masing anak biasa membawa oleh-oleh tergantung makanan jenis apa yang dipunya. Kalau anak Kebumen yang jadi andalannya adalah gesek (seperti “e”nya enak). Gesek adalah ikan laut yang dibelah menjadi dua, lalu dikeringkan atau bahasa nasionalnya disebut dengan nama ikan asin. Sedang anak yang wilayah Banyumas, mereka biasa membawa buah jambu, terkadang mangga. Sementara untuk mayoritas brebes yang merupakan penduduk mayoritas B. School lebih sering membawa cemilan seperti keripik pisang, peyek, dan entah apa namanya yang jelas itu cemilan.

“Brummm…” Terdengar kembali suara si Ujang yang nampaknya sudah kembali, aku segera keluar kamar untuk menyambut kedatangannya dan menanyakan apa yang dibawa.

“Seperti biasa, kentang sama carica,” jawabnya sambil menurunkan kardus yang sudah tak berbentuk balok lagi karena pesok.

“Hari ini kita lagi krisis berat, If. Semuanya belum ada yang makan siang. Tidak ada beras,” jelasku saat mengikuti dia ke dapur sambil membawakan kardus yang satunya.

“Waduh? Kalau begitu ayo kita bikin sesuatu.”

“Mau masak kentang langsung? Oke, kita rebus semua kentang ini.”

Kubuka kardusnya dan benda-benda bulat yang mengagumkan itu bergelindingan, ingin rasanya kukunyah mentah-mentah.

Ketika sedang sibuk mengupas, Yuli datang dan ikut membantu. Sementara Roif sedang memanaskan air agar nanti tidak perlu menunggu lama matang.

“Terima kasih, If. Karena kamu datang kita jadi bisa makan,” kata Yuli yang bahasanya cenderung formal dan sedikit basa-basinya.

Sekarang, semua kentang yang sudah dikupas sudah berada dalam air yang mendidih dan tinggal menunggu matangnya saja. Sesekali aku membuka tutup panci dan menekan ubi tersebut dengan garpu untuk mengecek. Lalu Yuli mencoba menghitung dan mengira-ngira apakah semua ubi itu akan cukup untuk dua puluh lima orang saat ini? Sambil menunggu, kami berpikir bagaimana agar kentang itu bisa cukup untuk semuanya.

“Apa kita campur saja dengan mi?” usul Yuli meminta persetujuan.

“Tidak mungkin bisa, Yul. Gimana caranya? Di aduk-aduk jadi satu biar mirip mi dan baksonya gitu?” aku protes. Bayangkan akan seperti apa rasanya, baru terbayang saja rasanya sudah aneh, tapi mungkin bisa dicoba. Aku berubah pikiran dan setuju dengan usulnya. Ini darurat.

Ketika melihat aku dan Yuli membuka bungkus mi, tiba-tiba Roif punya ide.

Idenya: setelah kentangnya matang, lalu dihancurkan dan dilumatkan. Sambil menunggu kentang dilumatkan, Yuli memasak mi yang nantinya akan disiramkan kelumatan kentang. Setelah kedua macam makanan yang tak lazim dicampur itu tercampur, kemudian tinggal di aduk-aduk jadi satu dan siap dihidangkan.

ЖжЖ

Menu Spesial #2

Seperti biasa, tiap malam kami mengadakan forum. Apapun bisa dibahas mulai dari masalah personal hingga impersonal. Dan malam ini, kami akan ditanya satu persatu tentang hobi dan mata pelajaran apa yang paling dikuasai. Secara acak Kang Adib dan Kang Is mulai menanyai kami satu persatu. Harus dijawab apa adanya, tanpa ada yang ditutupi dan harus jelas.

“Dimulai dari yang di ujung kanan dulu. Ayo, An,” kang Is menunjuk Anna.

Anna berdiri dan mengatakan kalau…, “Kalau aku hobinya baca buku, SMS, dan internetan. Kalau pelajaran yang paling aku bisa mungkin Bahasa Jawa, Kang,” katanya.

“Jangan ada istilah ‘mungkin’ dan ‘kayaknya’, ya… Harus yang benar- benar dikuasai. Semua paham, teman-teman?” jelas kang Adib. Setelah melihat kami mengangguk, beliau melanjutkan pertanyaannnya, “Buku apa yang kamu baca?”

“Tentang interpreneur. Kadang novel remaja,” jawabnya. Lalu dia dipersilahkan duduk.

Setelah Anna, kini yang ditunjuk adalah aku yang duduk di arah jam 12 darinya.

“Aku juga punya hobi baca buku, Kang,” kataku. Untuk menghemat pertanyaan, aku melanjutkan, “Yang biasa aku baca biasanya psikolog dan majalah. Kalau mata pelajaran, mungkin bahasa Indonesia.”

Ah, aku lupa. Aku mengatakan ‘mungkin’. Mendengar kesalahanku, Kang Adib bereaksi. Seperti biasa beliau akan tersenyum dulu sebelum mengatakan sesuatu.

“Mad, kamu ke sini,” tangannya yang intimidatif itu melambai ke arahku menyuruh agar mendekat. Dengan tetap tenang tapi cemas aku pindah tempat dan sudah berdiri di sebelahnya. Lalu beliau merogoh saku dan menyerahkan beberapa lembar uang kepadaku. Aku bingung. Tapi pasti akan senang kalau uang itu buatku.

“Kamu tahu kenapa aku kasih uang?” tanyanya.

“Tidak tahu, kang,” jawabku.

“Beliin teh, gula dan cemilan seperti biasanya.”

Oh, aku kira itu hadiah kejutan karena aku mengatakan ‘mungkin’ secara tidak sengaja. Akhirnya dengan dipinjami motor milik istri beliau yang kedua spionnya berbunyi kemerincing kalau mesin dinyalakan, aku langsung pergi mencari toko yang masih buka karena malam ini sudah jam sepuluh lebih.

Setelah agak jauh, untungnya masih ada toko yang buka.

“Pak, gula yang seperempat ada?” tanyaku. Pemilik toko bilang ada. Syukurlah… entah kenapa kalau disuruh beli sesuatu oleh orang lain, salah satu hal yang kutakuti adalah manakala pesanan atau titipannya tidak ada. Betapa kecewanya orang yang sudah memberikan amanah, karena aku juga sering kecewaketika titip minta dibelikan sesuatu tapi tidak ada. Apalagi kalau yang disuruh terlihat enggan mencari atau malas usaha sedikit dengan mencari di toko yang lain.

Setelah dapat gulanya, didekatku tergantung beberapa kopi. Serta merta aku bilang, “Pak, kalau kopi yang tanpa gulanya ada?” Pemilik toko bilang ada. Ia menunjukkan jarinya kearah dibagian bawah. Lalu aku mengambil satu. Kemudian cemilan juga sudah selesai di kemas plastik warna hitam, aku harus segera kembali ke asrama karenasudah ditunggu.

Dengan hati-hati aku memacu kendaraan tersebut karena tiba-tiba gerimis turun dan nampaknya akan ada hujan malam ini. Pasti nikmat sekali hujan-hujan begini sambil minum kopi, pikirku ketika sudah mendekati pintu gerbang.

Bergegas aku masuk kembali ke aula, lalu menyerahkan bungkusan plastik tadike Kang Adib.

“Lho? Mana tehnya? Kok isinya kopi?” tanya beliau ketika membuka isinya. Aku pucat.

Melihat aku yang pucat dan merasa sangat bersalah, sambil menggeleng kecil, Syukur berbisik, “Tidak apa-apa.” Dia senior, dan aku percaya kata-katanya. Sungguh, soal kesalahan karena lupa dan sebagainya sebenarnya aku merasakan malu yang teramat, tapi bagaimana lagi, lupa dan salah memang sulit dihindari.

Sementara pembahasan dilanjutkan, Elma dan Indah menuju dapur untuk membuatkan kami semua kopi. Bersamaan itu ternyata ada satu anak yang sedang berdiri dan aku kurang memperhatikan, mungkin sekarang sedang jatah dia yang ditanya.

“Ayo, Lep. Katanya kamu hobi nyanyi...” bujuk Kang Is menggoda dan disambung kang Adib, “Kita cuman ingin mendengar kamu nyanyi. Siapa tahu suara kamu indah dan bisa menghibur semua teman-teman biar tidak pada ngantuk, atau malah bikin semua tertidur?” ledeknya. Kami semua tertawa, begitu juga Leppi ikut menertawakan diri.

“Ntar aja, Kang. Masih malu…” katanya dan langsungduduk.

“Baik. Janji, ya… nanti setelah forum ini selesai, kamu nyanyi.”

Leppi mengangguk pasrah. Ia langsung berpikir, kira-kira lagu apa yang nanti akan dibawakan sebagai penutup.

Sambil menikmati kopi satu gelas untuk dua orang, pertanyaan masih dilanjutkan dan kini sudah sampai pada anak terakhir yang harus berdiri.

“Hobiku jalan-jalan. Kadang main ke hutan dan sawah,” kata Arif, “Kalau pelajaran, aku lebih suka dan menonjolnya di PAI. Pendidikan agama Islam, Kang.” Lalu dia duduk. Untung sekali tidak ada pertanyaan tambahan seperti yang lain. Bukannya bermasalah, tapi kadang akan membuat semua tertawa karena kedua “Kang” tersebut untuk beberapa waktu akan mengerjai kami.

Setelah semua selesai, Kang Is mengatakan kalau masih ada yang kurang.

“Belum ada IPS, matematika, dan biologi. Ini malah ada yang dobel-dobel, ya… Madras sama dengan Inda dan Pirman, sama-sama di Bahasa Indonesia. Lalu bekti dan Budi di IPA, kalau yang masih meragukan juga Bahasa Inggrisnya mana? Bahasa Arab?” kata beliau.

Kami memang belum diberi tahu tentang tujuan pembahasan tersebut, tapi jika disandingkan dengan mundurnya para calon pengajar di MTs PAKIS, kemungkinan yang harus mengajar di sana adalah kami sendiri.

“Betul. Kalian akan mengajar di MTs,” kata Kang Is akhirnya.

Ternyata bisik-bisik dugaan kami benar. Tidak ada cara lain selain kami sendiri yang mengajar. Karena sekolah dan muridnya sudah ada hanya tinggal menunggu tanggal mainnya. Kulihat teman-teman sangat antusias dengan kesempatan tersebut karena ini merupakan pengalaman baru yang luar biasa. Masih SMA tapi sudah mengajar, tapi ada yang merasa lebih luar biasa lagi. Siapa lagi kalau bukan aku? Anak belum lulus SD tapi sudah ditunjuk untuk mengajar di MTs. Lulusan Taman kanak-kanak.

Jam sebelas kurang sedikit forum selesai dan akan dilanjutkan besok sekaligus membagi jenis mata pelajaran apa yang akan dipegang oleh masing-masing orang. Dan tepat dengan janjinya, Leppi berdiri. Meski awalnya ragu, akhirnya dia mampu membuat semua perut yang hadir di situ kejang-kejang.

Gambang suling, kepenak unine… tulat-tulit kepenak unine… unine….” Lagunya bersambung dan tidak ada lanjutannya.

“Saya tidak bisa nyanyi, Kang. Cuman hobi,” katanya polos.

ЖжЖ

Pagi itu, irama cuaca terasa kurang begitu memenuhi tuntutan banyak orang. Dikala burung seharusnya berkicau, justru beberapa masih berada dalam kehangatan lembabnya sarang. Tak jauh beda dengan para khalifah terpilih dimuka bumi. Rumput yang dituntut kering oleh para pemilik ternak pun, nampak masih basah kuyup. Beberapa wujud orang nampak diintimidasi oleh perasaan enggan untuk sekedar melihat pekarangan rumahnya, karena melodi not alto yang monoton masih mengetuk-ngetuk atap rumahnya, menandakan sisa-sisa hujan semalam masih menyisakan gerimis yang belum surut juga.

Dalam suasana yang melenakan itu, kulihat Kang Is sedang duduk bersandar pada kursi kayu di teras depan kamarnya. Meski cuaca terasa dingin rambutnya masih basah dan bauwangi shampoo masih bisa tercium radius dua meter. Didepannya ada meja kayu yang sudah menumpu segelas teh hangat mengepul, asbak dan sebuah laptop kecil, atau lebih aslinya bernama notebook, ya, itu dia namanya.

“Mad, hari ini kamu yang berangkat?” tanyanya ketika melihatku sedangmondar-mandir membawa tas, dan tentu sudah rapi, karena aku juga sudah mandi.

“Iya, kang,” jawabku sembari menggaruk kepala yang tidak gatal, tandanya sedang bingung. “Jas hujan ditaruh dimana itu, anak-anak, ya?”

“Sudah jam enam lebih sepuluh ini… itu, punyaku ada di situ pakai aja dulu, biar tidak telat,” telunjuknya menunjuk kearah sepasang mantel yang nampak tergantung di pojokan arah kanannya, lalu kembali menatap layar dan mengetik lagi.

Akusegera menuju barang itu “Makasih, kang,” ucapku sambil berlalu menuju suara mesin sepeda motor Impressa butut yang sudah dihidupkan sejak tadi agar mesinnya stabil sebelum dijalankan. Sementara Fa’I sedang sibuk mondar-mandir dari kamar ke kamar untuk meminta bantuan tambahan dana transport karena si Ujang kehabisan bensin. Sudah beberapa kali, saat hendak mengajar kami harus patungan agar kebutuhan Ujang di perjalanan tercukupi.

Setelah uangnya cukup, perlahan kami berdua melaju meninggalkan zona nyaman menembus rintik-rintik kecil yang belum surut juga. Terpaan angin membuat mata kadang harus menyipit karena air langit bisa memedihkan indera penglihatan dan meleburkan pandangan karena tidak adanya helm yang dipakai.

Diatas aspal yang halus nan basah itu, raungan lembut mesin tua memecah kesepian pagi. Dibeberapa rumah yang dilewati, cahaya lampu luar yang belum padam seolah menjadi wakil kecil dari bagian cahaya matahari yang telat dan belum juga bersinar sesuai kehendak mayoritas penghuni bumi. Beberapa pengendara lain yang menerima tuntutan profesi juga nampak berlalu lalang, tak terkecuali rombongan pedagang sayur yang sepagi ini baru berangkat mungkin karena pasar juga telat bangun lebih pagi atau terkendala cuaca. Maklum, beberapa hari ini hujan sedang sering sekali turun karena memang sedang musimnya bagi ‘mereka’ untuk turut berperan serta, mengikuti seleksisesuai peraturan yang berlaku di kalangan makhluk Tuhan yang disebut alam.

Kini, jalanan yang beraspal bagus telah menurun kualitasnya menjadi lebih liar dan jelek. Menjadi atau memang awalnya bebatuan dan tanah. Dibeberapa bagian hanya sedikit aspal yang masih bertahan, itupun sudah jarang dijamah tiap-tiap roda yang melintas. Belum lagi, kini jalur kian menanjak dan benar-benar berupa tatanan bebatuan yang belum pernah tersentuh aspal. Raungan si tua renta nan butut itupun berubah menjadi jeritan lemah bak jasad rapuh yang sedang dicabut ruhnya karena kebanyakan dosa dimasa hidupnya. Tapi, anggapan seperti itu sepertinya kurang tepat karena ‘si tua’ itu hidupnya selalu berjasa dan masih sangat dibutuhkan. Apalagijalur perjalanan kian menanjak seperti anak-anak tangga para kurcaci yang telah lama ditinggalkan. Kini persepsinya beralih ke alam petualang. Lolongan sakaratul maut itu tersingkir oleh semangat hidup yang menyala-nyala, menjadi bak lolongan singa gunung yang sedang berusaha mengejar mangsa yang lari menuju puncak.

Hujan makin terasa berat menghujam kepala dan semakin deras mengguyur. Jalan terjal nan meninggi itupun terasa semakin berat dilalui dan kadang licin membuat roda bergeser ke kanan ke kiri mengikuti tekstur bebatuan yang kurang tertata rapi, kami harus total berhati-hati. Tangan Fa’I pastilah terasa kian pegal dan linu memegang stir yang susah dikendalikan karena kendaraan bisa saja bermanuver diluar kehendak dan bisa jatuh seperti Rocy dan Komah dua hari lalu. Akhirnya kendaraan renta itu menyerah. Tak mampu lagi berjalan dan akhirnya mati.

“Hati-hati, Mad,” seru fa’I panik karena saat aku turun dari jok, si Hitam oleng dan hampir saja ambruk.

“Kita dorooong. Hehehe…kataku sambil meringis geli karena ada beberapa orang yang saat menderita justru tertawa. Aku salah satunya.

“Sepatuku basah lagi, deh. Untung kamu pakai sandal.” Fa’I menyaksikan sepatunya yang bersuara “cepyuk-cepyuk” karena air hujan masuk dan sudah memenuhi sela-sela kulit kakinya.

Hujan masih pasang surut seperti spray yang disemprotkan dengan intensitas yang tidak stabil, dan kini, setelah dipaksakan, raungan semangat kembali terdengar, mengalahkan suara gemericik di antaragulma dan pepohonan yang rimbun. Lalu, di bawah sebuah pohon yang rindang, kami berhenti dan memarkirkan mesin itu dengan hati-hati.

Di dekat pohon jengkol itu kandang kambingnya masih kukuh berdiri, tapi tidak berpenghuni. Setelah mengunci stang, langkah kakiku harus menelusuri jalan setapak menuju sebuah gazebo yang mirip gubuk musyawarah para rakyat di era kolonial. Berukuran sekitar lima meter persegiditopang sembilan kaki yang terbuat dari batang pohon kelapa yang di cor di bagian bawahnya. Sederhana tapi indah. Inilah yang disebut dengan moderen.

Melihat kami datang, keempat belas peserta didik tak berseragam yang ternyata sudah lebih awal berada di situ segera menyalami kami, mereka bersalaman sembari mencium tangan, seperti santri bersalaman dengan kiyainya. Aku bisa saja menarik tanganku dengan cepat sebelum di sun tapi tak apalah, meski ini asing bagiku toh lama-lama juga akan biasa. Aku sudah lama tak berhadapan dengan yang namanya sekolah, jadi kurang tahu bagaimana caranya seorang murid bersalaman dengan gurunya. Aku jadi guru?

ЖжЖ

Fa’I selesai mengajarkan fisika, kini giliranku yang akan mengajarkan bahasa Indonesia. Setelah memperhatikan cara dia mengajar, aku yang notabenenya sangat amatir sedikit-sedikit bisa mencerna dan sudah punya perencanaan penyampaian. Berbekal modul lusuh, aku membuka kelas.

“Assalamu’alaikum…. Perkenalkan nama saya Madras. Nah, kali ini kita akan belajar bersama. Belajar bahasa Indonesia,” aku sedikit grogi tapi jangan sampai mempermalukan diri sendiri. Sambil berpikir kata apa lagi yang akan aku luncurkan, aku iseng membuka-buka modul seolah sedang mencari halaman. Anak-anak menunggu sambil terus memperhatikanku dengan aneh. Ada juga yang bisik-bisik mulai membicarakanku.

“Kita ke halaman empat, teman-teman,” lanjutku menegakkan wajah, “Mau di dikte atau ditulis di papan tulis?” tanyaku.

“Spidolnya habis, Mas. Suka buat mainan soalnya,” jawab seorang anak yang selalu mengenakan peci putih dan selalu bersih itu. Namanya Puji. Serta merta suasana kelas menjadi agak gaduh, beberap dari mereka mulai saling tunjuk “kamu.”

“Kamu kemarin oret-oret tas.”

“Kamu tadi pagi pegang spidol itu, kan?”

“Kamu yang gambar anak punk di papan itu.”

“Kamu… kamu… kamu…”

Karena pelaku vandalism sudah banyak yang ketahuan, aku harus menenangkan anak-anak lugu yang sudah mending mau melanjutkan sekolah lagi. Apalagi cuaca mendung dan gerimis tidak menghalangi langkah mereka. Aku tetap salut.

“Eh, eh, eh… Sudah jangan ribut. Kita bisa beli lagi tapi jangan buat oret-oret lagi, soalnya itu buat ngajar. Oke?” leraiku. Meski tidak langsung, mereka mulai diam memperhatikan. Diam-diam, Puji yang duduknya paling dekat denganku mendekat dan berbisik.

“Maaf ya, Mas. Anak-anak sini memang susah diatur,” katanya mewakilkan. Dari semua murid yang semuanya hadir, nampaknya anak ini yang paling pengertian. Kalau dari murid perempuan, yang paling banyak diam dan serius memperhatikan saat kelas berlangsung namanya Tania. Bahkan kalau temannya ribut dan bicara sendiri, dia ikut merasakan apa yang dirasakan oleh gurunya.

Ketika suasana mulai terkendali, ada satu pertanyaan terlontar dari seorang bocah yang paling sering mengenakan baju kotak-kotak yang kerahnya sudah sobek di bagian belakangnya. Namanya Edi.

“Mas, rambutnya asli begitu, ya?” dia berani bertanya seperti itu pada gurunya? Hohoho… Tak apalah, kamu kan masih anak-anak, lagianpertanyan dia merupakan pertanyaan semua anak, sebab saat aku pertama kali mengajar ini, aku lupa memperhatikan rambutku yang ternyata sudah panjang dan warnanya merah. Katanya seperti bule habis kesetrum.

ЖжЖ

Aku merebahkan tubuh di alas berbahanbambu dengan lega karena dua mata pelajaran sudah selesai aku ajarkan meski apa adanya. Anak-anak sudah bubar dan mulai berpencar mencari kesibukannya, ada yang main air di telaga, mencari sayuran, dan ada yang cepat-cepat pulang karena harus mencari rumput untuk pakan kambingnya.

“Mas, jangan pada pulang dulu, ya?” kata anak bernama Ngato yang sedang berada di rawa telaga. Bersama dengan Santo, dia terlihat sedang memunguti sesuatu. Aku tidak tahu tanaman apa yang mereka cabuti. Aku hanya mengangguk sambil memperhatikan mereka dan bertanya-tanya, apa yang mereka ambil itu. Sepertinya sayuran.

“Ini namanya lobor, Mas… Enak kalau dimasak. Buat makan kakak-kakak di B. School,” kata Ngato menyerahkan sayur terbaru yang sudah diikat alang-alang. Aku tertarik dan melihat dengan teliti. Meski baru pertama kali melihat, sepertinya enak.

Setelah mereka pergi, aku segera membangunkan Fa’I yang sedang tidur. Angin semilir yang membuat suhu terasa dingin tapi segar memang sangat berpotensi menghipnosis seseorang agar lekas tidur.

“Sudah jam dua?” terkejut Fa’I melihat jam tangannya, ia langsung berdiri dan meregangkan tubuhnya. “Ayo kita ke rumah biyunge. Sholat dzuhur di sana,” lanjutnya setelah mengemasi buku dan memasukkannya kedalam tas.

Mendekati jam pulang, beruntung cuaca menjadi cerah. Biasanya mendung akan tiba setelah ashar lalu malamnya hujan. Jalan setapak yang sering disiram menjadikan medannya licin dan genangan air bercampur lumpur berceceran disepanjang jalan sehingga celana kami jadi bercak-bercak cokelat.

Demi keamanan, si Hitam cukup mengantar kami sampai diatas jalan yang berbelok dan menurun tajam, setelah itu kami jalan kaki melewati jalan berbatu yang tertata cukup rapi. Beberapa warga yang melihat kami banyak yang menyapa, meski ada sebagian kecil yang tidak peduli bahkan saat disapa pun mereka diam. Aku tidak mengerti kenapa, tapi kata Kang Adib, mau cuek atau tidak, sapalah siapa saja yang kalian temui.

Sampai di rumah biyunge aku langsung mandi sekaligus berwudlu, karena celanaku kotor, Fa’I sudah menyiapkan sarung dan meminjamkannya. Setelah ini harus cepat pulang karena cuaca sedang susah ditebak, nampak mendung sudah mulai nampak.

Ketika kami pamit pulang, mbak Yuni malah mencegah kami.

“Nanti dulu, aku tahu kalian pasti belum sarapan, kan?” tebaknya, kami mengangguk.

“Aku heran dengan kalian. Ngajar jauh-jauh kok bisa-bisanya tidak sarapan dulu,” lanjutnya dengan heran.

“Tunggu sebentar, ya? Tadi aku baru bikin masakan special, masih hangat,” lanjutnya lagi, “Itu nasinya di sebelah situ, ambil aja.”

Aku mengikuti instruksinya. Mengambil piring, nasi, sendok dan tinggal menunggu menu spesialnya. Tak berapa lama mbak Yuni kembali sambil membawa kerupuk yang baru dibelinya, lalu mengeluarkan beberapa sayuran dan lauk.

“Mad, coba yang ini. Pasti kamu belum pernah makan,” katanya sambil berlalu pergi.

Yang kulihat di mangkuk itu hanyalah kuah berlemak, tapi seperti ada sesuatu yang tenggelam dibawahnya hingga tidak terlihat. Saat ku aduk sedikit, ternyata di dalam ada isinya, warnanya hitam. Karena penasaran dan katanya enak aku langsung menciduk agak banyak dan tahulah aku apa nama makhluk yang sedang berada di hadapanku sekarang. Meski ragu, kubuka mulutku dan segera memasukkan makhluk tersebut tanpa dikunyah agar lebih cepat tertelan.

“Gimana? Enak, kan?” tanya Fa’I yang tampak begitu menikmati.

“He’em…” bahkan aku tak sempat berkata karena terus menelan makanan aneh tersebut. Aku sudah terlanjur ambil dan tidak mungkin dibuang, kecuali kalau ingin membuat sang tuan rumah kecewa berat.

“Ini nyarinya di air jernih, kok. Jadi jangan jijik, Mad. Haha…” Fa’I tahu kalau aku sebenarnya hendak muntah, tapi tetap berusaha menelan kecebong tersebut. Kulihat sudah ada yang jadi katak kecil, lengkap dengan keempat kakinya. Untuk memuaskan batin tuan rumah, aku telan semuanya.

ЖжЖ

Gosip Dewasa

Mungkin karena terlalu sibuk atau karena kepedulianku menurun, tak terasa sudah setengah bulan aku tidak pernah menghubungi Erisa. Dia marah dan mengatakan kalau aku sudah tidak sayang lagi padanya. Aku juga tidak tahu dan tak menyangka kalau sudah selama itu tidak memberinya kabar, bahkan nomorpun jarang ku aktifkan.

“Maaf, Dik. Aku lama tak punya pulsa, jadi hapenya jarang aktif,” kataku beralasan saat dia menelpon. Selesai ngobrol, mendadak pulsaku bertambah menjadi sepuluh ribu. Itulah gunanya punya kekasih bagi orang kehabisan pulsa.

Untuk meredam kemelut dihatinya, akhirnya aku mengambil kesempatan tersebut untuk ijin pulang. Tak diragukan lagi, saat aku pulang Roif sudah pasti ikut. Setelah mendapat ijin dari Kang Is dan Kang Adib, kami berdua pun cabut. Soal adikku ini, dia paling suka kalau membawa tas yang besar dan berat, beda sekali denganku yang lebih suka tas ukuran sedang dengan isi yang seadanya. Hanya beberapa helai pakaian dan dua buku.

Angkot warna kuning melaju membawa kami dan beberapa penumpang yang dipaksa berdesak-desakkan. Udara pengap mulai membaur bersama panas dan memicu munculnya keringat, bahkan punggung Roif sampai basah karena ulah keringatnya sendiri. Setengah jam kemudian tibalah kami di terminal, disambut oleh beberapa orang yang menawarkan tujuan tumpangan.

“Mas, Wonosobo sebelah sana. Melu (ikuti) aku,” kata seseorang yang entah pekerjaan apa itu namanya, yang bertugas mengumpulkan penumpang, lalu dapat bayaran. Sebenarnya aku dan Roif sudah tahu di bagian mana bus jurusan Wonosobo mangkal karena sudah dua kali pulang. Tapi karena orang tersebut jalannya berada di depan, mau tidak mau kami ikuti dia.

Di bus tua yang kursinya sudah banyak lubang dan berkarat itu kami masuk, lalu mencari tempat duduk paling depan, karena kebetulan masih kosong. Beberapa orang nampak lebih suka duduk dibagian belakang, mungkin karena jaraknya yang tidak begitu jauh dan agar gampang saat turunnya.

Tanpa menunggu lama, bus langsung berangkat.

Singkat cerita, setelah empat jam perjalanan,jam lima sore sampailah kami di Wonosobo. Jam lima itu sudah bisa dibilang jam telat.

“Semoga masih ada bus ke Dieng, Mad,” kata Roif khawatir.

“Entahlah. Kalaupun sudah nggak ada, kita menginap saja. Aku punya banyak tempat transit untuk istirahat lalu besok baru pulang,” sahutku tenang, tapi tetap saja cemas.

Singkat cerita lagi, sekitar belasan menit kemudian bus yang ditunggu datang, kami langsung menyetopnya dan naik. Auwh… sempit sekali. Bahkan aku dan Roif harus berdiri dihimpit orang-orang yang bau badannya, apalagi kebanyakan penumpang yang berdiri lengannya terangkat karena harus berpegangan sehingga bagian ketiaknya terbuka. Baunya sungguh menyanyat hidung, ingin rasanya turun tapi sudah kepalang tanggung, itupun kalau masih ada bus di belakang.

Masih belum puas, bus berhenti dan menaikkan penumpang lagi. Mereka, para penumpang kesorenan itu juga terpaksa naik kalau masih mau pulang. Karena ada kakek-kakek, aku dan Roif harus mengalah dan bergelayutan di pintu bersama dua orang lainnya dengan hanya satu tangan dan satu kaki yang berada di atas bus, sedang kaki yang satunya terayun-ayun di atas aspal. Udarapun berubah jadi segar.

“Luar biasa, ini sungguh tidak berperikemanusiaan,” candaku sambil meringis menahan beban tubuh yang kian terasa berat, karena lengah sedikit saja, aku bisa saja jatuh menggelinding dan jadi tontonan banyak orang. Sebisa mungkin tangan kiriku menggapai-gapai mencari pegangan karena tangan yang kanan sudah mulai pegal,bersamaan dengan itu bus berhenti lagi untuk menurunkan penumpang. Aku melemaskan tangan sesaat sebelum akhirnya bisa menginjakkan kedua kaki dengan tenang.

Lambat laun penumpang semakin berkurang dan akhirnya tinggal kami berdua.

“Mas turun di mana?” Tanya bang kernet menyodorkan tangan meminta bayaran.

“Dieng, Mas,” aku menyodorkan uang dua puluh ribu untuk dua penumpang terakhirnya, tapi ada kembalian sepuluh ribu.

“Kita cuman sampe Tieng aja, nggak sampe Dieng,” jelasnya. Aku dan Roif berpandangan kecewa.

“Kira-kira di belakang masih ada bus lagi nggak, ya?” Tanya Roif cemas.

“Kayaknya tah, masih ada satu. Kalian turun di depan puskesmas aja gimana? Kita mau muter ambil pesanan orang. Kalau nunggu di sana kan gampang, Mas,” jawabnya sambil menghitung uang yang sudah tertata tebal.

Setelah dipikir-pikir kami nurut dan akhirnya diturunkan, bus itu berputar arah dan pergi. Dalam hitungan detik, angin yang berhembus kencang membuat kami menggigil kedinginan, tapi tentu saja kami sudah menyiapkan penawarnya, yaitu jaket.

Beberapa menit penantian terus berjalan, tapi bus terakhir yang katanya akan lewat belum juga terlihat. Aku mulai menyusun plan B, yaitu menginap dirumah teman, tapi Roif tidak setuju. Dia memilih meminjam motor temannya lalu langsung pulang dan besok dikembalikan. Saat kami sedang melakukan debat antar saudara, tiba-tiba ada sorot lampu yang sudah tak asing lagi, itu sorot lampu bus yang kami tunggu selama hampir satu jam. Melihat lambaian kami bus itu berhenti. Dan tentu saja kami harus bergelayutan dengan satu kaki terayun-ayun kembali.

ЖжЖ

Sampai di rumah Roif, aku langsung merebahkan diri di atas kasur yang tebal dan empuk karena sejauh dua kilometer kami harus menambah perjalanan dengan cara jalan kaki. Jam setengah delapan ojek sudah pada pulang, jadi, tak ada pilihan lain.

Dari ruang sebelah, Mia, mbakyunya Roif nongol dengan senyumnya yang aneh seperti biasa. Biasanya ada saja masalah yang akan dia perbuat. Mengingatkanku saat masih kecil, jika bertemu dengan dia makan akan terjadi pertengkaran dan perebutan sesuatu.

“Wah… calon pengantin prianya sudah dataaang. Bu, sini. Masnya udah datang!” dengan volume suara yang tidak dikondisikan, ia memanggil bulekku agardatang ke ruang tamu. Tujuannya jelas, dia ingin minta dukungan dalam rangka meledekku. Yang dipanggil segera muncul dan mulai beraksi.

“Harusnya kamu pulang dua hari yang lalu,” ucapnya serius, “Erisa sama keluarganya baru datang ke rumah kamu, tahu.”

Meski kemungkinan tidak benar, tapi aku tetap saja terkejut dan tidak bisa mengabaikan informasi tersebut. Ada getaran aneh yang langsung berdesir diseluruh tubuh. Tapi aku pura-pura cuek meski sebenarnya berpikir, tapi lebih ke jalur andai-andai. Andai saja berita itu benar adanya,bagiku tidak jadi masalah.

“Kamu tidak percaya, ya? Yo wes… nggak papa. Kamu boleh nanya sama lik Amin dan lik Ihsan,” ia mencoba meyakinkan. Aku terpancing.

“Benarkah itu bulek? Jangang bohong lho…” selidikku bangkit duduk, lalu mengambil remote tivi dan menyalakannya.

“Ya iya donk… Dalam waktu dekat, mungkin sebulan lagi kalian harus sudah mbojo.”

ЖжЖ

Untuk menindaklanjuti info absurd tersebut, aku harus memastikannya langsung ke orangnya. Sebenarnya lewat SMS pun bisa, tapi aku harus bertemu. Katanya dia kangen.

Nah, paginya aku langsung menuju tempat bersemayamnya sang bidadari…

Saat aku datang, Erisa sedang berbincang dengan temannya, mereka nampak sedang asik membicarakan sesuatu, terkadang diselingi tawa. Aku mematung sebentar di samping pintu untuk sekedar menguping sedikit pembicaraan mereka.

“Masa, sih? Waktu kamu masih SD?” terdengar temannya bertanya, aku jadi tersinggung.

“Iya, lho, Mbak. Aku sama adikku tuh takuuut banget,” kata Risa sok imut. Aku membayangkan ekspresinya saat mengatakan itu: mata tertutup, kedua tangan mengepal dibawah dagunya. Aku paham dia.

Aku jadi penasaran tema nostalgia bergenre apa yang sedang dibahas dan segera mengetuk pintu yang sudah setengah terbuka. Secara bersamaan, kedua makhluk lembut itu nengok. Keduanya sama-sama terkejut, apalagi Risa yang tidak tahu kalau arjunanya akan datang.

“Eh, Mas? Kok sudah ada di sini?” sambutnya dengan senyum yang masih menawan.

“Hehe… ceritanya kan, kejutan, Dik,” sahutku mencari tempat duduk. Melihatku tengak-tengok tidak jelas, Frida, teman Risa bangkit dan mempersilakanku untuk duduk ditempatnya. Lalu dia pamit untuk pergi sebentar tapi Risa menahannya.

“Temenin, donk. Masa kita malah mau ditinggal?” cegahnya manja. Frida menurut, dia mencari tempat duduk paling jauh, mungkin agar tidak mengganggu. Lalu sibuk fesbukan.

Setelah menarik nafas panjang, seperti biasa wajib hukumnya untuk basa-basi terlebih dahulu. Aku menanyakan tentang ceritanya tadi ketika waktu masih kecil kenapa. Dia bilang, waktu masih kelas lima SD ketika sedang melewati jalanan sepi bersama adiknya, mereka pernah dihadang tiga orang penjahat. Mereka menyuruh dua anak kecil kakak beradik yang lucu itu agar menyerahkan harta bendanya.

“Tapi mereka nggak ngapa-ngapain, kan?” tanyaku cemas.

“Nggak sih, tapi waktu itu sedih bangeettt… Hape baruku diambil deh. Jahat banget ya? Sama anak kecil aja mau begitu,” ceritanya, aku tertawa karena merasa ada yang lucu. Entah lucu dibagian mananya aku sendiri kurang tahu.

Setelah suasana mencair, aku mulai menanyakan apakah benar dia pernah bertandang ke rumahku?

“Ha? Hahaha… Mas mau aja dikerjain. Ya nggak, donk. Aku ragu kita bisa menikah dalam waktu dekat,” kalimat terakhirnya sungguh dalam, dari air mukanya juga aku tahu kalau dia sebenarnya kecewa karena laki-lakinya belum juga mau melamarnya.Dia sudah dewasa dan ortunya juga sudah mendesaknya agar segera menikah, sudah bukan waktunya lagi pacaran.

“Mas sekolahnya masih berapa tahun lagi?” tanyanya dengan nada yang lemah, aku jadi tidak enak dan dengan berat hati aku mengatakan kalau minimal dua tahun lagi.

“Masih mau menunggu, Dik?”

pertanyannku dijawab dengan realistis.

“Entahlah… ortuku pasti keberatan, aku sedang terdesak. Kita jangan terlalu berharap dulu, Mas…”

Aku hanya mampu mengangkat alis dan tak tahu harus bilang apa.

ЖжЖ

Momen pulang yang kuharap akan membuat hatibahagia nan berbunga justru malah sebaliknya. Pertemuan dengan Erisa pagi tadi nyata-nyata malah membuatku galau. Kalau seorang wanita sudah bilang seperti itu, pastilah hubungan tersebut umurnya sudah tidak panjang lagi.

Aku jadi iri dengan kakak anak budeku yang sudah dipertemukan dengan wanita yang cinta mati padanya. Sudah beberapa kali disakiti, didapusi, dihina, bahkan diselingkuhi tapi tetap saja lengket dan tak mau dipisahkan. Ini nyata, bukan fiksi belaka.

Kisah roman itu mengingatkanku pada kata-kata indah yang di posting di sebuah fan page fesbuk yang aku like:

Wanita memang sulit jatuh cinta

Tapi bila sudah jatuh cinta maka rasa itu akan sulit hilang dari hatinya

Meski disakiti bertubi-tubi dia rela bertahan

Meski dibohongi berkali-kali tetap mau memaafkan.

“Bagaimana? Udah ketemu?” tanya Ibu saat sedang duduk bersama di ruang tengah, Bapak juga di situ.

“Udah, Bu. Cuman sebentar,” jawabku.

“Kuharap dia maumenunggudua tahun lagi. Kamu sudah membicarakan itu, kan?”

“Sudah, tapi mungkin kesetiaan dia memang tidak teruji oleh waktu…” kataku sambil tertawa, Bapak juga ikut tertawa dan menambahkan, “Tidak apa-apa. Aku tahu posisi dia seperti apa. Jadi, santailah…” nasehatnya dengan santai.

Aku memang terlihat santai, tapi dalam benankku aku masih belum mampu jika seandainya harus berpisah dengan dia. Aku sedang dilematis, antara mengikuti kemauan Erisa untuk menikah dengannya atau harus tetap melanjutkan sekolah dengan konsekwensi putus hubungan, lalu mendapat undangan pernikahannya. Kami memang belum ada rencana untuk putus, tapi mengingat kondisinya… ah, entahlah. Aku mulai berharap pada keajaiban, lalu Erisa sekonyong-konyong mengatakan, “Ortuku sudah siap mengundur keinginan memilik cucu. Aku akan menunggu meski tiga tahun lagi!”

Kemudian aku mengatakan, “Wah, hebat sekali mereka. Kita memang jodoh. Doakan aku, semoga selama dua tahun ini mampu mempersiapkan semuanya dengan sempurna!”

Tapi, aku sama sekali tidak yakin. Aku sudah punya rencana lain. Rencana mendadak.

Untuk meyakinkan diri, aku minta opini kedua orang tua. Aku bertanya, antara sekolah dan siap menikah, mana yang paling mereka harapkan? Mereka menjawab…

“Sekolah,” jawaban yang kompak. Aku setuju.

ЖжЖ

Sehari sebelum kembali lagi ke Purwokerto aku mengajak Roif untuk ikut aku ke tempat Erisa. Sudah beberapa kali aku mengajaknya agar mereka bisa saling kenal dengan baik. Kalau Roif sedang tidak bisa, maka aku akan mengajak saudara yang lain, kalau semua tidak ada yang bisa, aku akan sendiri.

Sampai di tujuan, kami pun ngobrol santai, berbagi cerita dan tawa. Tanpa mereka sadari, dalam pertemuan tersebut aku sebenarnya sedang menjalankan sebuah rencana tersembunyi dan hanya Tuhanlah yang tahu. Mungkin ketika itu mataku terlihat lebih eksploratif saat sedang memandang Erisa. Itu aku lakukan agar rencana ini berhasil.

Dalam pertemuan yang aku anggap sebagai yang terakhir ini, aku dapat menangkap apa yang sedang Erisa pikirkan dan rasakan meski tidak keseluruhan. Dia masih bimbang dan menganggap bahwa pertemuan ini hanyalah basa-basi, pertemuan yang tidak akan membawa efek positif berjangka panjang. Auranya telah berubah.

Tapi apa yang aku rencanakan juga ternyata memunculkan reaksi yang bagus. Aku berhasil menilai dia dari sudut yang berseberangan atau bahasa umumnya: merubah sudut pandang.

“Aku sudahtidak punya rasa dengan dia,” kataku saat sudah di rumah. Roif mendelik kaget.

“Hah? Wah… parah kau,” tuduhnya. “Memangnya kenapa? Ada wanita lain?” wajar dia curiga. Dia juga tak habis pikir kalau aku akan berhianat.

“Tentu saja, bro. Ada yang lebih lebih dan lebih dari dia. Hahaha…” jawabku apa adanya seolah tanpa beban. “Lebih cantik, lebih langsing, lebih pintar, lebih setia, dan lebih solehah!”

“Orang mana?” rupanya si kumis tipis penasaran.

“Aku belum tahu…”

ЖжЖ

Kembalinya Para Kambing

“Sepi sekali? Ke mana yang lain?” Aku terkejut saat kembali ke B. School. Ruang kosong dalam kamar nampaknya bertambah. Kardus-kardus yang merupakan lemari milik teman-teman banyak yang tidak terlihat, pakaian yang biasanya tergantung juga sudah sepi.

“Mungkin pindah kamar. Coba lihat di kamar sebelah,” ajak Roif. Kami menuju kamar sebelah dan ternyata sama. Sama-sama sepi dan banyak barang yang berkurang. Lalu ke kamar berikutnya dan masih sama. Lalu kami ke gudang, karena dulu di sana pernah dijadikan kamar, dan ternyata isinya tetap sama. Tidak kurang tidak lebih.

Apa yang terjadi? Apakah sebagian besar mereka pada pulang? Lalu kenapa semua barangnya dibawa? Apa tidak akan kembali lagi kesini? Berbagai pertanyaan dan kekagetan memenuhi kepala kami. Tak seberapa lama terdengar suara orang. Kupasang telinga tajam-tajam untuk mencari tahu dari mana sumber itu berasal.

“Sepertinya di kamar cewek masih ada orang,” kata Roif.

Untuk mencari jawaban, aku segera menuju kamar anak perempuan, di sana ada Anna dan Yuli yang sedang ngobrol. Kuketuk pintu perlahan.

“Siapa?” tanyanya, itu suara Yuli.

“Aku Madras. Buka pintunya, donk.”

“Tunggu sebentar,” balasnya diiringi suara gedebuk langkah kakinya.

Pintu terbuka, lalu aku menanyakan kenapa banyak barang milik teman-teman yang tidak ada. Bahkan tidak ada satupun anak laki-laki yang menampakkan lubang hidungnya.

“Itu karena nomormu susah dihubungi, makanya kamu tidak tahu,” jelasnya.

“Maaf, di rumahku sinyalnya minta ampun susah. Bukannya tidak aktif,” kataku beralasan. Aku mulai menduga kalau sebagian orang tidak pulang, melainkan pindah. Hal itu pernah dibahas beberapa minggu sebelumnya. Aku mulai ingat.

“Ya, ya, ya… aku baru ingat. Kapan mereka cabut ke Pesawahan?” tanyaku.

“Tadi pagi, sama Kang Is. Pake mobil Argowilis,” jawabnya menyebut nama mobil biru itu.

“Ok. Makasih…”

Aku langsung menuju kamar dan mempersiapkan barang yang akan dibawa. Yap, hari ini aku akan pindah seperti yang sudah di musyawarahkan bersama. Alasan kenapa sebagian dari kami harus pindah yaitu untuk menghemat waktu dan biaya mengajar di MTs dan agar tidak bolak-balik setiap hari.

Kini tugasku hanyalah menunggu jemputan datang.

ЖжЖ

Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba sudah nangkring di mulut jendela yang terbuka, sungguh contoh yang tidak terpuji. Pada saat sedang melihat ke bawah, kulihat ada Adi yang sedang bertapa, seluruh tubuhnya mengeluarkan cahaya pink. Kalau adegannya sudah absurd seperti itu, aku yakin pasti semua ini hanyalah rekayasa dunia mimpi. Meski sudah tahu sedang bermimpi, masih saja ada perasaan lain yang mengatakan bahwa itu nyata. Itu real. Untuk membuktikan bahwa itu hanya mimpi, aku melompat dari jendela yang tingginya hampir dua meter. Saat sedang meluncur ke bawah, tiba-tiba tanahnya menjadi semakin jauh, jauh dan jauh dari kakiku. Otomatis aku menjadi semakin lama di udara, tubuhku berputar-putar. Aku mulai ketakutan dan berteriak sekencang-kencangnya.

“Tolong bangunkan akuuuu!!!!”

Beruntung ketika tubuh lemahku hampir membentur tanah, ada yang mau membangunkan.

“Mimpi apa kamu, Mad? Kenapa guling-guling? Wahahahaha!!!” semua yang hadir tertawa, aku tahu ini lucu, makanya aku ikut tertawa dan berharap ada yang mau mempraktikkan semenarik apa aksi bawah sadarku. Rupanya aku menunggu hingga tertidur karena kelelahan.

“Nggak mau, ah. Aku kan bukan aktor,” jawab Rono tanpa dapat memahami betapa kecewanya orang yang mendengar kata-katanya.

“Ayo kita berangkat lagi. Barang yang belum dibawa jangan sampai lupa,” kata Kang Is yang sudah siap menyetir lagi.

Secepat mungkin aku langsung berdiri, mengambil handuk dan lari ke arah kamar mandi untuk mandi sekilat-kilatnya agar tidak sampai tertinggal. Dalam hitungan detik aku harus keluar lagi karena airnya tidak ada. Sudah dipakai mandi oleh Roif. Dia sedang mengibas-ngibaskan rambutnya yang mulai menggondrong, bau sabun menyeruak dari rambutnya. Anak itu pasti tidak menggunakan sampo untuk rambutnya, melainkan sabun mandi.

“Ya sudah. Aku mandi saja di Pesawahan yang banyak airnya,” pikirku sambil berkemas karena yang lain sudah mulai keluar kamar dan sebagian sudah berada di mobil, sedang yang sebagian lagi sudah stand by di Pesawahan.

Melalui jendela mobil, kulihat anak-anak yang harus tetap stay di B. School melambai. “Hati-hati, ya!”

ЖжЖ

Ah.. ini dia, tempat paling sejuk dan dingin nomor dua setelah tempat tinggalku. Teman-teman mulai menikmati tempat barunya karena mereka memang sering datang ke sini untuk mengajar, dan tak terasa ternyata sudah setahun lamanya.

Tidak semuanya menikmati perpindahan tersebut, apalagi yang sudah mendapatkan kenyamanan di Baturraden seperti Diwan dan Lepi. Mereka terlihat galau dan entah apa yang dipikirkan, tapi itu hanya awal, toh lama-lama semua menjadi betah.

Tanah yang bisa kami manfaatkan juga luas karena sebagian besar tanah di sini milik Negara dan kami diijinkan mengelolanya. Aku, Budi dan Roif mencoba berkeliling untuk mencari tanah garapan yang belum digunakan oleh warga sekitar.

“Aku akan menanam kentang di sini,” kata Roif.

“Kalau aku ingin mencoba memelihara ikan lele. Lihat airnya begitu deras, pasti prospeknya bagus,” Budi melupakan cacingnya. Tapi dia tepis anggapan miringku,”Dan budidaya cacing,” lanjutnya.

“Kalau kapri dan cesim pasti bagus juga. Tinggal mencari tempat yang pas,” aku tidak boleh tertinggal. Ibu juga sudah menyiapkan benihnya, setelah pulang nanti aku akan membawanya ke sini.

Setelah puas jalan-jalan, kami harus mandi. Tempat mandinya pun masih seperti dulu saat pertama kali datang, hanya saja sekarang sudah lebih baik, terutama penghalang auratnya yang transparan dan sobek-sobek sudah kami ganti dengan banner yang masih terlihat baru. Sebenarnya kami sudah punya kamar mandi permanen di gedung, tapi karena belum bisa dialiri air, untuk sementara kami harus mandi dan mencuci di sini dulu.

Tahu bahwa kami akan menetap di gedung, Man Karsidi dan Man Darsim sangat senang, beliau berdua jadi sering berkunjung untuk ngobrol dan bercanda, kadang numpang tidur siang ketika lelah dan suasana di rumahnya sedang ramai. Anak-anak kecil juga sering bermain di ruang tiga kelas yang belum disekat sehingga menjadi tempat yang luas untuk berlari-lari, kejar-kejaran. Meski awalnya cukup mengganggu, tapi lama-lama suara jerit dan teriakan mereka sudah menjadi hal biasa. Karena seringnya anak-anak kecil yang bermain di tempat kami, maka hal itu kami manfaatkan bagaimana agar mereka tidak sekedar bermain. Lalu di tunjuklah Devi dan Veni untuk mengajar anak-anak kecil mengaji setiap sore.

“Rukun Islam yang lima… sahadat sholat puasa… zakat bagi yang ada… haji bagi yang kaya… Siapa tidak sholat dor! Celaka di akhirat… siapa tidak zakat… oleh Allah dilaknat…”

ЖжЖ

“Horeee… akhirnya sekolah kita baru!” seru Ngatok dengan gaya khasnya. Bersama teman-temannya dia datang bergerombol dan menyalami kami satu persatu. Adil merata.

Sekarang anak-anak MTs sudah masuk ajaran baru kelas Vlll, yang terpenting lagi mereka semua sudah punya seragam warna biru dan hanya beberapa yang sudah punya seragam pramuka. Tak berselang lama datang rombongan susulan, mereka berjumlah delapan anak dan mukanya sangat asing, beberapa belum pernah aku lihat sebelumnya. Perkenalkan, mereka adalah murid baru di MTs PAKIS, dari delapan anak orang itu, hanya dua yang memakai seragam. Bahkan ada dua anak yang memakai baju koko plus peci hitam seperti seorang anak yang akan menyusul bapaknya pengajian di masjid.

Meski canggung dan malu-malu, mereka menghampiri kami dan bersalaman, lalu berhambur menuju ke kelas. Kulihat jam dinding menunjukkan angka 7 pagi, sebentar lagi masuk. Karena jatah mengajarku bukan hari ini, tugasku adalah membantu Fidya masak pagi.

“Aku mau nyuci beras dulu. Kamu cuci sayurnya,” katanya sambil menuangkan tiga gelas beras ke panci. Aku membuka kulkas karena sayurnya biasa berdiam di situ, tapi tidak ada. Lalu aku teringat kalau di daerah sini banyak tumbuhan yang bisa dijadikan sayur, akhirnya salah satu tujuan utama adalah telaga.

Hm… Sambil menikmati angin segar, bola mataku searching ke segala arah agar bisa menemukan sayur dengan cepat. Terlihat di pinggiran sebelah selatan ada banyak lobor, aku menuju ke sana untuk memetik tapi tanah yang aku injak ambles.

“Wah, bagaimana ini?” aku mulai bingung.

Masih ada Pakis, untuk mencarinya harus menembus gulma yang lebat-lebat dan akan memakan waktu lama. Jaraknya juga agak jauh berada di lereng bukit. Dalam kebingungan itu, mataku menangkap sesuatu yang amat menarik dan aku kenal betul dengannya. Setelah mengusik ular air yang mungkin sedang asik berjemur, dengan berpijak pada batu-batuan tanganku mulai menggapai dan memetik sayuran yang bernama selada itu. Ada banyak sekali selada yang tumbuh di bawah WC darurat. Dan WC itu biasa kami operasikan hanya ketika sedang malam saja karena lokasinya berada di sebelah jalan umum.

Melihatku mengambil sayuran di tempat itu, Firman terkejut, “Mad, itu kan…”

“Justru ini yang disebut dengan tanaman organik, Fir. Hasil pupuk kita pasti bergizi. Hahaha…”

Begitulah, pupuk tidak hanya sebatas pada kotoran kambing dan sapi saja, tapi manusia juga mampu melakukannya. Supaya Firman tidak jijik, maka aku jelaskan kalau tanaman hanya akan menghisap zat yang diperlukan dan bermanfaat saja. Bukan sebaliknya. Akhirnya penjelasan singkat itu membuat dia mengagguk. Aku harus segera mencuci seladanya dan membawa kedapur. Fidya sudah selesai meracik bumbunya.

Katanya, kalau masak selada jangan sampai terlalu matang, karena bisa pahit. Mungkin tergantung yang masak… entahlah…

ЖжЖ

Usai sarapan, Bekti, Arif, Budi dan Firman sudah mengenakan seragam kerjanya masing-masing, mereka akan membuat kolam lele. Soal peralatan seperti cangkul dan clurit, semuanya kami dapat dari peserta didik baru MTs PAKIS. Pendaftaran penerimaan murid baru tahun ini (dan tahun lalu) memang tidak memungut biaya satu perak pun, tapi di anjurkan untuk membayar dengan peralatan pertanian. Ah, bukan membayar, tapi kontribusi. Ini lebih tepat, mengingat begitu banyaknya lahan kosong, maka secara otomatis kami membutuhkan alat itu agar para pengajar bisa memanfaatkan lahan tersebut dan bisa beraktifitas diluar jam sekolah.

Sementara yang lain pergi, Diwan dan Jefri yang baru mengajar datang dan mencari sumber makanan karena mereka belum sarapan. Aku tidak terkejut ketika pindah ke tempat ini, sebagian besar orang menjadi mudah merasa lapar. Suhu di sini memang lebih dingin dari tubuh para penduduk baru. Untuk menormalkan suhu, secara otomatis tubuh akan membakar energi yang cukup besar dan akhirnya aku pun menjadi mudah lapar juga. Tandanya homeostatis, alias keseimbangan sistemtubuh kami masih bekerja.

“Yang masih nganggur, ayo ke sini!” terdengar Aldo berteriak, tidak teriak pun suaranya sudah keras dan besar seperti bentuknya.

Saat kami lihat, ternyata dia sedang sibuk sendirian menarik-narik tali yang terhubung pada leher seekor kambing. Dibelakang kambing tersebut, masih ada enam ekor lagi. Kami langsung ikut terjun mengurus sisanya.

“Akhirnya kita bisa beli kambing! Hay, Mbing. Selamat datang,” sambut Diwan sambil mengelus-elus. Si kambing terlihat senang, “Mbeeekkk.”

“Kalian akan makmur di sini. Tenang saja, Mbing. Rumputnya buanyak!” rayu Roif seperti berbicara pada kambing ajaib yang mampu mengerti bahasanya.

“Dan bebas beranak-pinak sesuka kalian,” kata Aldo dan aku sambung, “Dan… inilah pejantan tersebut,” kataku sambil menunjuk dia. Aldo merengut tapi tertawa, seperti tawa genderuwo.

“Kenapa mobilnya tidak masuk ke sini saja, Do?” tanyaku berusaha menggiring ke arah kandang. Sebelum menjawab, dia berusaha menuntaskan tawanya.

“Tidak muat... Sebenarnya muat, tapi supirnya tidak mau. Jalannya terlalu sempit,” jawabnya sambil menjaga pegangan agar tidak lepas karena kambing-kambing tersebut terus saja makan rumput disekitar jalan sehingga malas diajak ke kandang yang belum ada rumputnya.

Melihat kami kerepotan, siswa MTs yang baru istirahat ikut membantu membereskan bulu-bulu putih yang mulai berlarian tak tentu arah. Hebatnya anak-anak kampung itu bisa mengatasi masalah tersebut dengan mudah karena mereka memang sudah terbiasa berurusan dengan hewan ternak. Agar mereka puas dan senang, kami memberikan hadiah tepuk tangan.

ЖжЖ

Epilog

Malam menjelang, lingkungan di sekitar gedung itu berdiri sungguh gelap, tak ada cahaya selain cahaya kelip-kelip rumah penduduk yang timbul tenggelam dari balik dedaunan. Suara kodok dan serangga malam bersahut-sahutan mengeluarkan paduan nada terkerasnya, berlomba-lomba, berjam-jam tanpa henti. Desiran angin meraba daun-daun berbentuk jarum yang tersusun bergerombol seperti ekor burung merak hingga bergoyang-goyang, menimbulkan suara syuuussss…. Tepat di bawah ada cahaya berjalan mendekat ke arahnya, lalu sebuah biji berwarna cokelat yang sudah kering jatuh dan hampir menimpa kepala orang yang sedang lewat itu.

“Bahaya ini pinus. Hampir saja,” kataku bergegas agar tidak ada jatuh susulan.

Aku baru saja dari pancuran bersama dengan Rocy yang menemaniku mengambil air dengan membawa ketel, lalu kuserahkan kepada Roif untuk memasaknya. Tak lama kemudian terdengar suara si Ujang dari kejauhan, sorot lampunya lemah karena sudah beberapa hari ini penglihatannya sedang kurang baik sehingga ketika ada goncangan bisa mati sendiri.

Setelah si Ujang dikembalikan ke tempat semula, dua orang turun dan menuju tempat kami sambil menenteng jerigen berisi bensin. Lalu mereka berdua menuju ke samping gedung untuk menuangkan bensin tersebut ke sebuah diesel bernama jenset.

“Gluk gluk gluk!” mesin bunyi, maka lampu menyala… semua penduduk mulai melakukan aktifitasnya barang sesaat. Ada juga yang sudah tertidur.

Dalam belaian malam yang indah di pinggir hutan meski tanpa bintang dan bulan… teman-temanku yang hebat harus tetap berkarya dan mau membantu sesama… sekecil apapun itu cahaya… bintang tetap akan bersinar…

ЖжЖ

sebelum tercetak rapi :

mohon saran masukan, agar karya mad taufik dkk bermanfaat bagi dunia anak desa

judul yang belum ketemu yang pas, dan kapan moment yang tepat akan kami publikasikan

salam pembelajar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun