Semilir angin pagi menjelang siang tepian telaga itu, Â terdengar riuh nyanyian katak yang saling bersahutan, sesekali saling berkejaran, melompat bahkan saling menindih dan mereka pun sedang asik memperjuangkan hidupnya hingga terus beranak pinak.
Selintas terlihat hilir mudik sang burung kurwok orang desa menamainya, sesekali mengintip lalu bersembunyi dikerumunan sabana yang bercampur rumput liar tepian telaga itu. Aku pun bergegas mendekat, mencoba memotret secara lebih dalam lagi. Ternyata burung dengan nama latin koreo padi itu terlihat berasa nyaman hidup berbaur dengan endemik yang lain ditelaga itu.
Hamparan hutan pinus mengepung jelas telaga itu, seiring mentari yang mulai berhasil menembus menjadi penghangat ekosistem yang ada.
Capung-capung dengan beragam jenis, silih berganti mengepakan sayapnya walau kecil, nampak seperti pelangi saat tersorot sinar mentari yang terus memberikan kehangatan tubuh mereka.
Nampak riang saling bersahutan walau aku tak berhasil mendengar, ngomong apa mereka?? tapi aku tetap meyakini bahwa capung-capung itu pun sibuk mulai dari saling menyapa satu sama lain, dan sesekali mereka pun turun kepermukaan air telaga itu, dan byuur...lirih dan saling mencipratkan air telaga itu kemudian hinggap didedaunan dan ranting-ranting yang membentang.
Capung pun ngga mau kalah dalam berjuang, dalam kehangatan mentari mereka pun sesekali saling berkoloni dan saling berkejaran hingga mataku pun tak terelakan melihat capung itu sesekali menindih, menggigit dan menempelkan tubuhnya dan menggerak-gerakan penuh kelembutan.
Disela-sela kesibukan ekosistem yang ada, aku pun menyempatkan bermain air dan sesekali kubasuh wajahku hingga berasa beerrrr....adem dan sedikit ku isap pelan, dan ngga jadi (saya sedang ngabubu-READ) kehidupan telaga itu dan sedang berpuasa. Itulah petanda air itu bersih dan jauh dari pencemaran, keberadaan capung-capung berterbangan di atas telaga itulah petanda air itu bisa langsung dikonsumsi.
Bukan polisi hutan ataupun penjaga keamanan, suasana kembali riuh saat terdengan suara kutilang...kutilang...kutilang... ternyata kerumunan burung yang sedikit berjambul itu mulai menampakan eksistensinya sebagai burung yang rame pemecah kesunyian kampung tepian telaga itu.
Kutilang-pun satu diantara endemik burung lokal yang terus berkembang biak, dan riuh bersahutan petanda mereka sedang birahi dan sedang berjuang satu sama lain agar terus dinilai ada, menjadi penghuni hutan tepian telaga itu, sesekali mataku pun tak luput binatang melata yang terus merayap masuk ketengah savana hingga keujung telaga, dan mereka semua berbaur berantai menjalani kehidupan sebagai ekosistem yang jelas alamiah menjadi kodrat Tuhan kita.
Aku yang belum sampai melakukan dan membuat cerita dengan semua endemik hutan, selain sedikit takut, banyak asyiknya, bukan karena sedang berpuasa, tapi karena aku yang belum cukup pintar menyelami dunia keanekaragaman hayati (kehati) hutan khususnya lereng selatan gunung slamet itu, yang saat ini sedang dibangun proses eksplorasi PLTPB (pembangkit listrik tenaga panas bumi) yang semoga berhasil dihentikan dengan lebih menitikberatkan harus menjaga meng-konservasi hutan lindung dengan segala kearifan yang ada.
Cerita ini nyata, dan hasil dari belajar pengamatan sekaligus eksplorasi kondisi ekosistem hutan gunung slamet yang sedang dibabat ribuan hektar untuk kepentingan mereka (katanya).