Bumi gonjang ganjing, menandakan zaman yang semakin terlihat jelas bahwa ketidakpastian itu terus menghantui negeri antah brantah ini. Negeri yang konon katanya gemah ripah loh jinawi, makin hari makin ditinggal pergi. Hendak kemana-kah kita?
Manusia baru, kehidupan yang serba baru, tapi akankah bumi pertiwi akan terus terbarukan, karena nyatanya bumi ini semakin tua. Segala yang ada bukan semakin berkembang, dan beranak pinang, melainkan semakin punah, habis, ini-kah hidup dan kehidupan sejatinya?
Membudayakan tradisi mengaji bagi kalangan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim saat ini, lambat laun tak bergaung hebat, pasalnya, sekarang kita sudah jarang melihat anak-anak remaja di desa-desa,kampung-kampung dipelosok negeri ini membawa kitab suci Al-qur’an, kemana mereka hendak pergi, kemushola/langgar, mulai punah bahkan boleh dibilang budaya mengaji bagi mereka berganti budaya menonton televisi.
Tak perlu ditutup-tutupi, bahwa gerakan yang 3 hari yang lalu digelar serentak mulai dari Papua sampai ke Nangroe Aceh Darussalam, merupakan gerakan yang cukup mengakar, saya beserta anak-didik dampingan juga ikut merasa terpanggil, dan berbaur bersama masyarakat di lingkungan ponpes sebuah kampung pinggir hutan gunung slamet, tepatnya di grumbul kejubug desa sokawera kecamatan cilongok.
Nusantara Mengaji yang kita ikuti di ponpes dikampung terpencil itu, diinisiasi oleh salah satu team Rumangsa Erma, dengan nama lengkap Siti Mukaromah salah satu Anggota DPR RI komisi VI, dengan motor penggerak Mohamad Toha yang saat itu juga diberi anugerah anak laki-laki ke-2, selamat semoga anaknya nanti benar-benar merasakan manfaat atas gerakan Nusantara Mengaji dan semoga gerakan Nusantara Mengaji mampu menjadi benteng baru dalam mengembalikan tradisi mengaji bagi generasi bangsa.
24 jam waktu untuk menyelesaikan target khataman 300.000 yang terbagi dipenjuru Indonesia, ketika lantunan ayat suci Al-Qur’an dikumandangkan dengan target 40 khataman, suasana hening, menangis dan disertai guyuran hujan pun terus berjalan, mulai dari orang tua, ibu-ibu, sampai anak-anak pesantren pun penuh khidmat melantuntan kalam-kalam Allah SWT, hingga pada batas waktu mengaji habis, dan mereka melebihi target dari 40 khataman, dan semoga budaya mengaji menjadi gerakan yang mampu membangkitkan dan sekaligus pemicu masyarakat Indonesia untuk bisa mengambil saripati atas pembacaan ayat-ayat Tuhan baik yang tersurat maupun tersirat di bumi nusantara ini.
Indonesia yang jelas-jelas Bhineka Tunggal Ika, mari kita saling terbuka atas perbedaan satu sama lain, bukan untuk saling jatuh menjatuhkan, apalagi merasa paling benar, karena moment mengaji bagi masyarakat muslim, ternyata mampu menjadi semangat baru, bahwa tradisi mengaji merupakan kearifan lokal yang perlu dikembangkan.
Ketika mengaji pun tak kenal organisasi, apakah itu ormas Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah bahkan ormas-ormas yang lain. Tapi, paling tidak gerakan Nusantara Mengaji bisa mampu menengarahi berbagai gonjang-ganjing yang terjadi akhir-akhir ini.
Tradisis mengaji, semoga menjadi benteng mencegah radikalisme, dan oknum-oknum yang tidak bertangunggjawab yang selalu ingin mengadu domba masyarakat Indonesia.
Dan dengan mengaji kita mampu bermuhasabah diri, menjalahi hidup dan kehidupan lebih tentram, dan tentunya semoga masyarakat Indonesia pada khususnya selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.