“Ini tidak main-main. Menentukan indikator kesejahteraan adalah kepentingan Desa Wulungsari.”
Pernyataan itu diungkapkan oleh salah satu peserta Sekolah Pembaharuan Desa di Wulungsari, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo saat berdiskusi tentang indikator kesejahteraan lokal. Diskusi sempat mengarah emosi antara seorang Kepala Dusun Mranggen dengan Anggi perserta dari unsur pemuda. Menurut Kepala Dusun Mrangen, kepemilikan mobil dan sepeda motor merupakan indikator utama untuk menentukan kesejahteraan. Ia berpendapat bahwa masyarakat miskin pun sudah memiliki sepeda motor dengan takaran harganya berkisar Rp 10.000.000. Sementara, menurut Anggi, indikator utama kemiskinan adalah pemilikan lahan atau rumah. Namun pernyataan ini disanggah kembali oleh Kepala Dusun. masing-masing saling mempertahankan, hingga nyaris tidak ada titik temu.
Perdebatan berujung dengan mendiskusikan kembali “Siapa orang yang sejahtera di desa Wulungsari?”
Ada yang berpendapat bahwa sejahtera itu ketika terpenuhinya sandang, pangan dan papan. Ada juga yang berpendapat bahwa sejahtera itu apabila pendidikan dan kesehatannya terjamin. Ada pula yang bertahan dengan pendapat bahwa keharmonisan hubungan antara suami-istri dalam rumah tangga juga bagian dari sejahtera. Dan, masih banyak lainnya.
Proses penentuan indikator kesejahteraan memang memakan waktu yang lama karena banyaknya perdebatan dan perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Hasilnya pun beragam. Setelah melalui proses diskusi cukup alot, peserta menemukan beberapa ukuran kesejahteraan rumah tangga antara lain: pendidikan, kesehatan, kepemilikan aset tanah dan kepemilikan/ukuran bangunan rumah.
Dari indikator tersebut peserta menurunkan pertanyaan-pertanyaan kunci yang nantinya akan digunakan sebagai alat untuk menggali informasi dari masyarakat. Dari situ dapat diketahui kondisi kesejahteraan yang sebenarnya dari masing-masing rumah tangga di Wulungsari. Tim Pembaharuan Desa berhasil merumuskan indiaktor lokal kesejahteraan dan merumuskannya ke dalam sebuah instrumen survei.
Tim bersepakat segera mengaplikasikannya dengan mengambil contoh sebanyak 44 rumah tangga. Masing-masing anggota menerima dua kuisioner. satu kuisioner ditujukan untuk keluarganya sendiri dan satunya lagi untuk tetangganya yang diambil secara acak.
Peserta merefleksikan proses pengumpulan data di lapangan yang dilakukan melalui wawancara tatap muka dengan responden. Beragam pembelajaran didapat dalam proses ini. Hibah misalnya, menyatakan dengan survei dan bertatap muka langsung dengan warga, ia menjadi tahu karakter dan tanggapan responden terhadap insiaitif survei. Responden yang berkarakter terbuka lebih mudah mendapatkan informasi/jawaban. Tetapi bagi yang tertutup agak sulit menggali jawaban yang pasti. Bahkan ada yang bertanya, setelah pendataan “Apa nanti akan ada bantuan?”
Lain lagi dengan Sirajuddin yang menyampaikan pengalamannya dikritik anaknya, karena mengetahui bahwa pengeluaran rumah terbesar adalah belanja rokok bapaknya yang mencapai Rp 400 ribu setiap bulannya.
Sumber: http://sekolahdesa.or.id/2015/07/28/menemukan-tingkat-kesejahteraan-lokal-di-desa/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H