Desa merupakan entitas pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan angin segar bagi pembangunan desa yang diharapkan langsung menyentuh pada kebutuhan masyarakat.
Sayangnya, belum semua warga desa sadar, bahwa undang-undang tersebut memberikan ruang bagi setiap warga untuk berperan dalam pembangunan di desanya. Seperti halnya warga Desa Gentansari, Kecamatan Pagedongan.
Bagi mereka, sebagai pembangunan dianggap sebagai sesuatu yang terberi, bukan berangkat dari kebutuhan mereka sendiri. Namun, kenyataan itu sudah berlalu. Kehadiran Sekolah Perempuan Tampomas di desa tersebut setahun silam yang membuka cara pandang warga terhadap pembangunan. Namun, jangan samakan metode di sekolah perempuan ini dengan sekolah konvensional.
Di sekolah perempuan, tidak ada guru yang mengendalikan proses belajar. Semua yang hadir memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat. Penggiat Sekolah Perempuan Tampomas, Sri Utami menuturkan, selama ini akses perempuan sangat terbatas dalam perencanaan pembangunan desa. Hanya beberapa saja yang terlibat, itu pun karena kapasitasnya sebagai perangkat desa.
‘’Kalau ibu rumah tangga seperti saya, jarang sekali terlibat rapat-rapat di desa,’’ujarnya. Menurutnya, keberadaan Sekolah Perempuan Tampomas seolah-olah membuka tabir suram itu. Perempuan desa biasa seperti dirinya juga bisa berperan dalam pembangunan desa.
Setelah mengikuti beberapa pertemuan secara klasikal membedah tentang kesetaraan gender, UU tentang Desa dan berbagai permasalahan desa, mereka bersepakat untuk melakukan aksi nyata. ‘’Tahap awal, kami melakukan pendataan untuk memetakan potensi, aset serta permasalahan yang ada di desa kami,’’terang wanita yang bekerja sebagai buruh migran itu. 20 orang anggota Sekolah Perempuan Tampomas langsung terjun ke lingkungan dan melakukan survei pemetaan aset dan potensi desanya.
Data yang terkumpul kemudian dituangkan dalam peta desa dengan cara menempelkan kertas berwarna yang dibentuk menyerupai aset dan potensi desa, antara lain bangunan, rumah ibadah, rumah, sawah, hutan desa, sungai, mata air, dan sebagainya. Mereka menarasikan hasil survei dalam sebuah dokumen. ‘’Rekapitulasi data dan narasinya cukup lama, karena sebagian besar tidak bisa mengoperasikan komputer,’’ujar Sri Utami.
Merangkul Warga
Semua rangkaian kegiatan tersebut mereka lakukan dengan merangkul perangkat pemerintahan desa serta warga yang selama ini tidak menjadi peserta Sekolah Perempuan. Data tersebut lalu disandingkan dengan data milik pemerintah desa. Hasilnya, sangat jauh berbeda karena data yang dimiliki desa jarang diperbarui.
‘’Sedangkan data kami merupakan data terbaru dan hasil wawancara langsung dengan warga,’’paparnya. Peta potensi desa tersebut, lanjut Sri Utami, telah membuka matanya bahwa ternyata masih banyak yang perlu dibenahi. Seperti halnya fasilitas pendidikan anak usia dini yang masih menumpang di kantor desa, potensi desa yang terabaikan, serta permasalahan kelompok masyarakat marjinal.