Mohon tunggu...
tri bawonoaji
tri bawonoaji Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

Saya adalah manusia biasa saja seperti yang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Roman

Ingin Lekas Memelukmu Lagi

22 Oktober 2024   12:58 Diperbarui: 22 Oktober 2024   13:06 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar ilustrasi koleksi pribadi

Namaku Jimmy, dan kalau ada satu kata yang bisa menggambarkan hidupku, itu adalah "ambisi." Dari kecil, papaku selalu mendorongku untuk bermimpi menjadi seseorang yang besar---punya nama, jabatan, dan pengaruh. Itulah yang selalu mendorongku, memberi bahan bakar untuk tetap berjalan meski kadang lelah menghantui.

Dan di sinilah aku sekarang, duduk di depan jendela besar sebuah kantor di Beijing. Gedung-gedung pencakar langit berbaris rapi di luar sana, kota ini selalu sibuk. Orang-orang berlalu-lalang seperti semut yang tak pernah lelah. Mereka semua sibuk mengejar sesuatu, seperti aku dulu. Tapi, semakin lama aku berada di sini, semakin aku merasa kehilangan arah. Seolah ada lubang di dadaku yang semakin hari semakin besar, dan aku tahu persis apa penyebabnya.

Kedasih.

Ya, dia adalah alasan kenapa aku dulu bisa bertahan melewati hari-hari paling sulit. Kami bertemu saat kuliah, di sebuah kampus ternama di Yogyakarta. Dia selalu tahu bagaimana membuatku tertawa, bagaimana caranya bicara tanpa kata-kata. Matanya adalah pelabuhan yang selalu membuatku merasa aman, suaranya seperti lagu yang meredakan gelisah. Meski masih berpacaran, dia sudah berperilaku seolah seorang istri yang tulus melayani suaminya. Bersamanya, aku merasakan hidupku terasa begitu ringan.

Tapi ambisi dalam diriku selalu mengusik ketenangan. Ketika tawaran proyek besar datang dari Beijing, aku melihatnya sebagai sebuah batu loncatan yang sayang untuk disia-siakan. Sebuah pintu menuju kesuksesan yang selalu kuimpikan. Jadi, aku terpaksa meninggalkannya. "Tenanglah nduk, ini hanya sementara," kataku saat itu. "Nduk" adalah panggilan mesraku untuknya, mempertegas darah keturunan asli Jawa yang mengalir di tubuhnya. Sementara dia menyapaku mesra dengan panggilan "Koh", sebagai seseorang yang terlahir sebagai suku minoritas di negeri ini, Tionghoa.

Singkat cerita, kami lalu bersepakat untuk menjalani hubungan jarak jauh, setelah berhari-hari bisa meyakinkan diri bahwa kami mampu mengatasinya. Kenyataannya? Jarak adalah musuh yang kejam. Sinyal yang putus-putus, pesan yang terlewat, panggilan video yang terasa canggung tanpa ada pelukan di akhir obrolan. Semua itu menumpuk menjadi dinding yang menebal di antara kami. Tiap kali pulang ke apartemen setelah bekerja, keheningan seolah menelanku bulat-bulat. Tak ada Kedasih di sana, tak ada tawa atau sentuhan hangatnya. Dan di tengah-tengah semua kesibukan dan prestasi yang kuraih, rasa kosong itu terus menghantui.

Sekuat tenaga aku bertahan, terus berjalan. Mengalihkan fokus pada proyek-proyek yang harus diselesaikan, ada target yang harus kucapai. Itu yang selalu kukatakan pada diriku sendiri setiap kali muncul keraguan. Lagipula, karirku berkembang pesat di sini. Dalam waktu setahun, aku sudah mendapat dua kali promosi jabatan, dengan gaji yang meningkat berkali-kali lipat. Teman-teman Cina sekerja sering menjulukiku sebagai 'bocah hoki', sebutan untuk pria dengan keberuntungan. Tawaran pekerjaan dari perusahaan-perusahaan lain pun terus berdatangan, seolah seluruh dunia ini berada di bawah kakiku.

Tapi... semakin tinggi mendaki, semakin aku merasa kesepian dan sendirian.

Jujur, di negeri komunis ini ada banyak wanita cantik yang bisa kubeli. Bahkan kumiliki sepenuhnya jika aku mau. Tapi tidak! Mereka terlalu murah. Ini bukan soal materi, tapi mereka tak  seperti Kedasih yang satu rupiah pun tak pernah mau kukirim uang. Bahkan ketika ibunya sakit sementara dia masih terjebak cicilan hutang. "Kamu mau membeliku, Koh?" tanyanya dengan nada marah. Kalimat itu jelas tak mampu kuhapus dari memori.

Ada satu malam, ketika aku sedang menyelesaikan laporan proyek yang paling krusial. Lekat sekali di ingatan bagaimana hujan deras mengguyur jendela kantorku, sementara aku masih sibuk berkutat dengan angka-angka dan diagram yang entah kenapa, hari itu terasa begitu kosong. Mataku terpaku pada kaca jendela, tetapi pikiranku melayang jauh ke Yogyakarta. Membayangkan Kedasih duduk di teras kost-nya seperti dulu, menunggu aku datang dengan setia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun