Kasus dokumen yang berisi 2.501 tanda tangan warga yang menyatakan penolakannya terhadap pabrik PT Semen Indonesia di Rembang masih terus berlanjut. Dokumen yang diserahkan kepada Mahkamah Agung tersebut terus menuai kontroversi pasca ditemukannya nama-nama yang dianggap tidak lazim seperti Ultraman, Power Rangers, Pencopet bahkan Presiden yang bertempat tinggal di Manchester oleh Polda Jawa Tengah.
Hingga yang terjadi beberapa waktu lalu, Ketua Bidang Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Djarod menemukan ada sekitar 30 nama balita yang tercatat dalam dokumen tersebut dan berprofesi sebagai Petani. Saat ini, Direskrimum Polda Jateng masih terus melakukan pendalaman kasus ini. Polisi juga tengah berupaya mengumpulkan bukti-bukti otentik serta memeriksa sejumlah saksi yang diduga ikut terlibat.
Jika nama-nama balita ini benar adanya maka ini menjadi hal yang sangat tidak wajar. Boleh saja seseorang kontra dan menolak keras adanya pabrik ini dengan alasan karena pabrik dapat merusak lingkungan atau merugikan banyak rakyat kecil. Akan tetapi tidak berarti anak-anak balita juga harus dilibatkan untuk memperkuat penolakannya.
Penolakan atas nama balita ini sejatinya sangat merugikan dan mengancam amsa depan balita-balita itu sendiri. Sebab dengan nama-nama yang dimaksud, para balita ini tentu memiliki catatan tidak baik yan mengancam karirnya di masa yang akan datang. Disamping itu, mestinya kita ketahui bersama bahwa balita sesungguhnya belum memenuhi kriteria “cukup umur” untuk menyuarakan kontra ataupun pro terhadap suatu masalah.
Keterlibatan balita dalam kasus ini menjadi tanda tanya besar bagi kita semua terkait “moral” yang dimiliki oleh pihak kontra. Terkesan memaksakan kehendak itu pasti, sebab demi ambisi penolakannya itu para pihak kontra rela menjual nama anak-anaknya. Padahal, jika pun pabrik semen di Rembang ini ternyata tetap berdiri, kedepannya juga untuk kebaikan anak-cucu mereka.
Diharapkan dengan adanya penemuan ini, pihak Polda Jateng terus melakukan penyeledikan lebih lanjut agar hal-hal yang menyalahi aturan maupun etika bermasyarakat dapat diselesaikan secara tuntas. Jangan sampai, karena “ulah” orang tua hari ini, mengancam kebahagiaakan generasi di masa nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H