“Kami senang ada pabrik semen disini, anak-anak muda yang nganggur sekarang bisa bekerja. Kami sedih kalau ada yang nggugat-nggugat gitu”.
Demikian yang disampaikan Purwarti (39, seorang warga Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Purwarti adalah salah satu petani Rembang yang menyayangkan adanya konflik terkait pendirian pabrik semen yang dibangun oleh PT. Semen Indonesia Tbk.
Sejak PT. Semen Indonesia Tbk mendapatkan izin pembangunan pabrik melalui Surat Keputusan yang diterbitkan oleh Bupati Rembang pada 18 November 2011, PT. Semen Indonesia harus jatuh bangun menerima serangan dari para penggugat/penolak yang mengatasnamakan masyarakat kawasan Pegunungan Kendeng.
Masyarakat yang memposisikan diri sebagai anggota Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) tersebut terus melakukan penolakan terhadap pendirian pabrik semen di Rembang. Diketuai oleh Gunretno, warga asli kabupaten Pati, Jawa Tengah, gerakan ini semakin massif menolak pabrik semen di Rembang.
Tidak hanya atas nama masyarakat Kendeng, masyarakat ini juga selalu mengatakan bergerak demi kepentingan masyarakat Rembang. Padahal, 98% masyarakat Rembang (warga ring satu pabrik) menyatakan diri mendukung keberadaan pabrik yang dianggap dapat memberikan banyak manfaat untuk kehidupan Rembang di masa yang akan datang.
Penolakan tersebut terus terjadi dan semakin meluas sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/10 Tahun 2012 pada tanggal 30 April 2012 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. Di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.
Dengan proses yang berliku-liku, pada tanggal 16 Januari 2017 Gubernur Jawa Tengah harus mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No 660.1/4 Tahun 2017 tertanggal 16 Januari 2017 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 660.1/30 Tahun 2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.
Satu pekan setelah Surat Keputusan Pencabutan Izin Lingkungan dan Kegiatan Penambangan Bahan Baku dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik tersebut dikeluarkan, pada tanggal 23 Februari 2017, Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan lagi izin pembangunan baru, dengan sedikit perubahan wilayah. Izin tersebut berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 660.1/6 Tahun 2017 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang.
Surat Keputusan tersebut tentu menjadi lampu hijau bagi perusahaan milik BUMN itu untuk terus melanjutkan pembangunan dan pengoperasian pabrik semen di Rembang. Namun kenyataannya tidak semudah itu. Penolakan terhadap pabrik semen di Rembang terus disuarakan, bahkan mendapat tambahan dukungan dari berbagai LSM dan mahasiswa. Hingga saat ini, bagaimana kelanjutan nasib pabrik semen di Rembang masih menunggu keputusan dari Kajian Lingkungan Hukum Strategis (KLHS).
Mungkin sebagian dari kita menduga-duga, kenapa kasus pabrik semen di Rembang ini begitu pelik dan menyita banyak perhatian. Kenapa penolakan terhadap pabrik plat merah tersebut sangat eksrim ketimbang perusahaan semen swasta ataupun perusahaan semen asing lainnya yang berada di kawasan Jawa Tengah?
Lantas, jika masyarakat Rembang sendiri mengaku mendukung bahkan membutuhkan adanya pabrik semen di Rembang, lalu siapa yang menaruh kepentingan dibalik penolakan tersebut? Siapa dalangnya? Siapa yang ingin dia bela?