Sudah sekian purnama Ibu pulang, tapi rasanya ingatan itu masih sangat tajam. Adonan siomay dengan tambahan bumbu yang dimasukkan begitu saja oleh jari-jarinya. Rasanya hanya Ibu yang bisa memahami makna 'secukupnya' dalam resep itu.
"Kurang asin nggak?" tanya Ibu.
Reflek aku mendongak dan memicingkan mata, tanda protes ditanya rasa makanan yang bahkan masih berbentuk adonan mentah dan lembek. Ih.
"Gimana caranya ngincipinnya Bu?"
"Tempelin aja ke lidah sedikit"
Aku yang masih tidak bisa menerima trik itu, mengangkat jempol tanda semuanya sudah pas, padahal aku hanya enggan disuruh merasakan adonan mentah itu lagi.
Sudah sekian purnama lemari itu tak dibuka. Baju-baju Ibu masih tertata rapi khas bagaimana Ibu melipatnya.
"Kalau numpuk baju itu lipatannya satu sisi biar rapi di lemari"
Ah iya benar, meniru Ibu setidaknya lemariku bukan seperti tumpukan baju di keranjang diskonan.
"Kalau ambil baju itu atasnya diangkat, jangan asal tarik, bikin berantakan"
Ibu nggak tahu aja gimana rasanya buru-buru ke kampus, jangankan mikir cara yang baik dan benar untuk ambil baju, atasan polkadot bawahan leopard pun sudah tak peduli. Asal aman dari cecaran dosen dan ancaman nilai C.