Sinar Mentari menyongsong dari arah timur, Sang Surya dengan percaya dirinya seolah menunjukan pada seluruh isi semesta bahwa hari baru telah dimulai. Penuh energi dan semangat baru untuk melangkah penuh harap bahwa hari ini akan lebih baik dari kemarin. Namun nyatanya, tak seluruh insan memiliki energi yang sama untuk memulai hari.
Rumah dengan warna catnya yang telah pudar seolah menjadi saksi ada harapan yang sedikit demi sedikit ikut pudar, ada sosok Ibu dengan daster kusut seperti raut wajahnya yang menyimpan kekhawatiran dan ketakutan, memikirkan hari ini keluarganya akan makan apa, sementara tungku di dapur tak mampu mengepulkan asap.
Di atap yang berbeda, seorang Ayah dengan amarah di hati karena Si Sulung dianggap tak beprestasi di sekolah, malu-maluin orang tua katanya. "Dasar anak bodoh, soal gampang saja nggak bisa!", terus terngiang di batin anak laki-laki berpakaian merah putih layaknya anak SD yang menangis tersedu merasa sudah sangat berjuang.
Ah, lihat remaja itu terlihat sedih memikirkan kekasih yang entah kemana pergi, setiap detik menatap layar berharap ada kabar, lupa ada masa depan yang butuh pencapaian.
Lain halnya dengan cerita dibalik gedung tinggi di seberang sana, tempat ribuan pegawai menggantungkan kehidupan pada gaji bulanan yang mungkin tak seberapa bagi pemilik ijazah apa adanya. Terlihat wajah-wajah lelah menjalankan arahan atasan, gelisah menahan rindu pada kampung halaman, tidak lupa menggerutu mengapa bukan ia yang jadi pemilik perusahaan.
Padahal semestinya mereka semua merasa malu. Ayam berkokok dengan nyaring saat bumi masih gelap, tidak peduli apa ada jagung ataupun beras yang bisa dipatuk nanti pagi. Kicau burung ikut menemani, mengepakkan sayap sambil bernyanyi menyambut cerianya pagi dibawah langit yang cerah. Lihat embun pada dedaunan itu, tidak pernah takut bahwa ia akan hilang saat siang datang, selalu yakin dan bangga bahwa hadirnya membawa cerita tentang dinginnya malam dan sejuknya pagi. Bahkan sungai yang berada di bawah tidak pernah iri pada air terjun di atasnya, sadar bahwa mereka saling melengkapi menciptakan keindahan alam. Rupanya, alam semesta lebih pandai bersyukur kepada Sang Pencipta.
Manusia yang sibuk dibelenggu oleh rasa cemas, takut, amarah, sedih dan gelisah sepanjang hari, tanpa sadar bahwa energi baik pada dirinya telah terkikis oleh perasaan-perasaan negatif yang datang tanpa permisi. Seharusnya semua manusia menyadari bahwa selama oksigen mampu terhirup dan karbon dioksida dapat terhembus, ada Tuhan penentu kehidupan setiap insan di dunia.
Bukanlah atasan penentu pintu rejeki, bukan angka di atas kertas penentu nasib seseorang, bukanlah kekasih saat ini penentu jodoh di hari nanti, dan bukanlah kamu yang berhak menghakimi takdir hari ini dan esok. Ketika manusia mengawali hari dengan pikiran penuh beban permasalahan dan sederet prasangka buruk mengenai hidup, lantas bagaimana bisa energi baik pada semesta masuk pada diri manusia?
Segala sesuatu yang baik harus diawali dengan hal-hal yang baik maka niscaya akan menghasilkan buah yang baik pula. Energi baik dalam kehidupan manusia bersumber dari titik terdalam pada akal pikiran dan perasaan yang baik pula tentunya. Energi baik yang ada pada diri setiap insan akan menjadi kemampuan besar untuk menumbuhkan ribuan langkah baik lainnya dalam menjalani kehidupan. Energi baik yang terpancar dari perangai setiap individu akan menebar segala kebaikan pada orang-orang yang ada di sekitar kita.
Tanpa kita sadari bahwa diri kita sendirilah yang menjadi sumber dari energi-energi negatif dalam menjalani kehidupan. Tiada henti menyalahkan keadaan yang dianggap tidak berpihak bukan solusi atas pemecahan masalah. "kan seharusnya Aku kenapa justru dia?", angkuh dan merasa usahanya yang paling pantas mendapatkan semuanya bukan jalan menjadi seorang pemenang.
Energi negatif yang terus menggorogoti jiwa manusia akan menjadi penyakit kehidupan, berkembang biak dan membunuh perasaan manusia, akal pikiran dan nurani sudah tidak bekerja dengan baik. Kejahatan sebagai upaya mengejar materi, kekerasan dianggap jalan terbaik berbicara pada Sang Buah Hati, bunuh diri sebagai jalan keluar patah hati, hingga dengki ingin menyakiti demi suatu posisi. Itu semua tumbuh karena kita sendiri yang menanam energi negatif, bukan kondisi apalagi orang lain.