Jiwa wirausaha dibentuk dari masa kecil. Seorang yang menjadi wirausahawan sukses biasanya terlahir dari keluarga dengan latar belakang yang bisa dibilang berkesusahan. Lihat saja Bob Sadino yang memulai bisnisnya dari nol. Ia meninggalkan profesi sebelumnya sebagai pelaut, tukang batu dan sopir taksi untuk memulai bisnisya dengan 50 ekor ayam ras dan bertelur 5 kg.
Ada yang bilang bahwa profesi itu diwarisi. Misal ada yang namanya keluarga dokter: kakek, nenek, ibu, bapak anak berprofesi sebagai dokter. Ada juga keluarga artis: bapak penyanyi, anaknya ikut menyanyi. Namun, bagaimana dengan keluarga wirausaha? Adakah yang seperti ini? Ya, tentu saja ada. Namun berbeda dengan profesi lain yang bisa dipelajari di bangku perkuliahan, wirausaha merupakan ilmu lapangan. Oke, bisa jadi kita temui matakuliah "Pengantar Wirausaha". Namun, hal ini tetap menjadi suatu "Pengantar" yang ilmu sesungguhnya harus kita cari sendiri.
Seorang bapak yang memulai usahanya dari nol memiliki "ilmu" wirausaha yang mumpuni karena ia benar-benar tahu rasanya merangkak dari dasar. Bagaimana dengan si anak? Bisa jadi kehidupannya telah membaik atau sangat baik. Otomatis sang anak tidak merasakan apa yang dirasakan sang bapak saat membangun usahanya. Jika sang bapak menginginkan anaknya untuk mengikuti jejaknya sebagai wirausahawan, perlu dilakukan penggemblengan khusus untuk mensejajarkan (atau bahkan meningkatkan) kualitas sang anak agar dapat bersaing dengan bapaknya.
Gawatnya, kecinderungan bapak yang seperti ini (pernah merasakan pahitnya kehidupan miskin) tidak menginginkan anaknya merasakan hal yang sama. Mereka menjadi lebih toleran dan memanjakan anaknya. Ada seorang bapak wirausahawan yang berkata pada anaknya:
"Kamu jika diberi uang jajan ya mbok dijajanin.... Gak usah ditabung sampe makannya sedikit seperti itu. Kalo kamu butuh sesuatu, bilang saja sama Bapak"
Anak yang seperti ini akan mendapatkan zona nyamanya sehingga semakin memudahkan hidup. Ia tidak mengenal istilah menabung karena apa saja yang ia butuhkan bisa ia minta pada bapaknya. Ia tidak kenal kerja keras karena semua kebutuhannya sudah ditanggung. Akhirnya kemandiriannya luntur setelah sebelumnya mengenal kata berhemat dan menabung.
***
Kisah nyata diatas membuat saya semakin sadar pentingnya peran orang tua dalam membangun bangsa. What, membangun bangsa? Gak kejauhan tuh? Well, saya pikir sangat tidak berlebihan jika menyambungkan kedua hal ini karena pembangunan bangsa bersifat luar dan dalam. Luar, ditangani oleh pria-pria yang bekerja di perekonomian, pemerintahan atau pembangunan sarana umum. Dalam, ditangani oleh para wanita cantik yang mengokohkan persendian bangsa dari rumah-rumah mereka dengan partnership dan pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H