Febri Andriansyah alias Mayang Prasetyo telah kembali kepada Sang Khalik. Setelah berminggu-minggu menanti, akhirnya keluarga dapat memakamkan pria 27 tahun itu dengan layak. Untuk sebuah cerita, mungkin kisah Febri berakhir sampai sini. Diawali dengan kelahiran dan diakhiri dengan pemakaman.
Tapi, sesungguhnya cerita tentang Febri masih jauh dari selesai. Ada beberapa hal yang bisa kita ambil pelajaran dari cerita hidup sulung tiga bersaudara ini.
Pertama, Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Febri hanyalah salah satu contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menyeruak ke publik. Ada banyak hal yang membuat orang kerap memperbincangkan kasus ini. Sebut saja orientasi seksualnya, perilakunya yang feminim, kekayaannya, latar belakang pekerjaan, masa lalu yang kelam, dibunuh oleh pasangannya sendiri, dimutilasi, dan sebagainya. Tapi berhamburannya fakta ini justru mengaburkan permasalahan utama dalam kasus ini, kekerasan dalam rumah tangga.
Febri, terlepas apa dan bagaimana kehidupannya mati dibunuh oleh pasangannya di dalam apartemen mereka. Dia tidak dibunuh karena orientasi seksualnya atau pekerjaannya. Jika seseorang dibunuh karena orientasi seksualnya, hey, artis Jupiter Fourtissimo yang pada 2008 pernah mengaku gay masih hidup. Memang sih, namanya tidak terdengar lagi tapi dia masih bisa hidup dengan damai di bumi ini. Pun dengan artis serba bisa Dorce Gamalama. Semua juga tahu bagaimana sejarah hidupnya, tapi dia pernah sukses membawakan acara talkshow di salah satu televisi swasta. Jadi, jika ada yang mengaitkan kasus kematian Febri dengan orientasi seksualnya, saya pikir itu adalah sebuah kesalahan. Titik.
Menurut Pasal 1 UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam RumaH Tangga, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Tidak ada angka pasti berapa kasus kekerasan dalam rumah tangga. Data yang ada diberbagai lembaga hanyalah dari laporan atau kasus yang menyeruak ke publik. Jumlah kasus KDRTselalu bertambah setiap tahunnya. Dalam lima tahun terakhir, jumlah kasus KDRT memang naik turun. Pada 2009, Komnas Perempuan mencatat terdapat 136.849 kasus KDRT. Angka ini turun menjadi 101.128 pada tahun berikutnya. Tapi pada 2011, Komnas Perempuan mencatat adanya kenaikan KDRT menjadi 113.878 kasus. Dan pada 2012, kasus KDRT yang tercatat sebanyak 8.315. Namun setahun berikutnya, angkanya kembali naik menjadi 11.719.
Sepintas memang terjadi penurunan yang luar biasa pada 2012. Namun, data yang masuk di Komnas sejak 2012 hanya berasal dari pengadalayanan dan Komnas Perempuan. Sedangkankan pada 2009 hingga 2011, diperoleh dari laporan mitra pengadalayanan dan pengadilan agama. Jadi sumbernya lebih banyak, sehingga jumlah kasusnya pun lebih besar.
Namun, meski berbilang ribu, angka ini tentu terlalu kecil. Karena tidak semua korban KDRT berani melapor. Ada banyak alasannya, mulai dari malu hingga takut. Belum lagi adanya potensi kriminalisasi korban. Jangan salah, 60% korban KDRT justru mengalami kriminalisasi. Jadi wajar kalau korban KDRT malah takut untuk melapor.
Sayangnya banyak orang yang tak acuh dengan KDRT. Alasannya sih itu kan urusan rumah tangga orang lain. Tidak perlu ikut campur. Padahal pasal 15 UU No.23/2004 menegaskan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya KDRT WAJIB melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Kedua, rehabilitasi korban.
Korban yang dimaksud tidak hanya sebatas orang yang menerima kekerasan dari pelaku. Tapi semua orang yang ada dalam lingkungan rumah tangga itu juga termasuk korban. Jika dalam rumah tersebut ada anak, maka anak itu juga korban. Sang anak harus mendapatkan rehabilitasi untuk menghapus trauma selama KDRT berlangsung. Banyak sekali contohnya, anak yang terbiasa melihat kekerasan akhirnya meniru tindakan itu karena menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Sayangnya, banyak yang menganggap bahwa korban dalam KDRT hanyalah pihak yang secara langsung mendapatkan kekerasan tersebut secara langsung. Padahal siapa pun yang berada dalam lingkungan tersebut akan menjadi korban dari KDRT. Suami, istri, ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakak, adik. Sebut saja maka siapa pun yang berada dalam lingkaran itu adalah korbannya. Jadi rehabilitasi tidak hanya dilakukan untuk menghilangkan trauma dari korban secara langsung. Tapi semua pihak.
Akan memakan biaya yang besar? Ya. Akan memakan waktu yang lama? Pasti. Lantas siapa yang menanggung? Tentu saja pemerintah yang harus menanggungnya. Tapi itu semua memang tanggung jawab pemerintah untuk mengatasi masalah ini secara tuntas.
Tapi untuk kasus Febri karena merupakan pembunuhan tunggal dimana pelakunya juga bunuh diri. Maka kasus dianggap selesai. Saya salut dengan ibunya Febri yang mau dan mampu memaafkan menantunya. Karena saya yakin mimpi terburuk orang tua adalah menguburkan anaknya.
Ketiga, pertimbangkan dengan matang jika ingin menikah dengan ekspatriat.
Terlepas dari masalah jodoh, takdir, garisan nasib, benang merah yang terikat di kelingking, saya pikir perlu pemikiran yang matang ketika memutuskan untuk menikah dengan WNA. Begitu banyak perbedaan. Mulai dari bahasa, budaya, kebiasaan, dan sebagainya. Yang acap terjadi banyak perempuan WNI yang terbuai ketika didekati WNA. Mengagungkan mereka karena menganggap sebagai yang terbaik. Padahal belum tentu.
Tapi ini bukan berarti saya melarang perempuan/lelaki WNI untuk menikah dengan WNA. Hanya saja pertimbangkan dengan matang. Jangan lupa dengan aspek legalitas karena ini menyangkut harta. Saya tidak tahu apakah ketika menikah Febri dan suaminya pernah membeli mobil atau rumah. Kalau iya, bagaimana nasib asetnya itu, milik siapa. Jadi sekali lagi, pertimbangkan dengan matang jika akan menikah. Ya tidak mesti dengan WNA saja sih butuh pertimbangan. Dengan sesama WNI pun butuh pertimbangan. Hanya saja karena dengan WNA membutuhkan proses hukum dan administrasi yang lebih rumit jadi pertimbangannya harus benar-benar matang.
Keempat, transjender belum tentu transeksual.
Ini sih lebih kepada teman-teman saya yang salah mengartikan bahwa transjender itu transeksual. Mereka beda loh. Transjender lebih kepada sikap dan perilakunya yang berbeda. Sedangkan transeksual tidak hanya sifat dan perilaku tapi alat kelaminnya juga sudah berubah. Mengerti kan maksudnya?
Bicara tentang jender itu sendiri, orang juga masih salah kaprah. Ketika kuliah Sosiologi Jender, dosen saya, Ikram, membuka kelas dengan pertanyaan, “Apa beda laki-laki dengan perempuan?”.
Lantas mengalirlah berbagai kalimat dari anak didiknya. “Laki-laki memiliki penis, perempuan memiliki rahim”. “Perempuan memiliki payudara, lelaki tidak,”. “Perempuan haid, lelaki tidak,”. Begitu seterusnya sampai kemudian mulailah kalimat-kalimat, “Perempuan bisa melahirkan, lelaki tidak”. Lantas dosen saya menimpali, “Memangnya semua perempuan bisa melahirkan?”. “Perempuan mengurus keluarga, lelaki mencari nafkah,”. Dosen saya kemudian menambahkan, “Memangnya tidak ada perempuan yang bekerja?”. Begitu seterusnya. Sampai kemudian kami paham apa itu definisi jender.
Ah, sudahlah saya mulai ngelantur. Inti dari tulisan ini adalah kalau kita melihat kerabat, teman, atau siapa pun yang mengalami KDRT jangan diam saja. Do something.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H