Wereng coklat (Nilaparvata lugens) merupakan hama padi yang merugikan pertanian di Indonesia. Hama ini menjadi ancaman serius bagi produktivitas dan keberlanjutan pertanian padi, yang merupakan salah satu komoditas pangan utama di Indonesia. Kehadirannya tidak hanya mengakibatkan kerugian langsung berupa penurunan hasil panen, tetapi juga menyebabkan dampak ekonomi yang signifikan bagi para petani.
Wereng coklat memiliki ciri-ciri berupa ukurannya yang kecil, mampu menggunakan sumber makanan dengan baik sebelum adanya serangga lain sehingga mencegah adanya kompetisi, dapat pindah ke habitat baru dengan cepat terutama jika sumber makanan di habitat yang lama tidak mencukupi, dan dapat beradaptasi dengan cepat karena genetik plastisitasnya tinggi sehingga dapat memunculkan beberapa biotipe baru dan tahan terhadap insektisida. Biotipe merupakan suatu populasi atau individu yang dapat dibedakan dari populasi atau individu lainnya berdasarkan kemampuan adaptasinya, perkembangan pada tanaman inang tertentu, kemampuan untuk makan, dan posisi meletakkan telur. Biotipe wereng coklat ini muncul sebagai hasil adaptasi wereng terhadap varietas padi.
Serangan wereng dalam waktu yang singkat dapat merugikan hingga 2,5 juta hektar. Populasi wereng yang tinggi dapat mengakibatkan serangan yang cepat dan mengakibatkan hopperburn (Rahmah, 2023 dari Tuti dkk., 2014). Hopperburn merupakan gejala kerusakan yang terjadi pada daun padi akibat aktivitas makan wereng. Gejalanya meliputi daun yang menguning, mengering, dan kemudian mati. Hal ini disebabkan oleh penyerapan nutrisi yang berlebihan oleh wereng saat mengisap getah tanaman, serta keracunan yang disebabkan oleh saliva wereng yang mengandung zat toksik bagi tanaman. Tindakan seperti pemberian insektisida dan pestisida baik secara kimiawi maupun biologis telah dilakukan pada beberapa kasus. Diperlukan manajemen hama berkelanjutan.
Penanaman padi varietas unggul tahan wereng (VUTW) merupakan salah satu upaya penanganan hama wereng. Metode marker SSR dapat mengidentifikasi gen-gen yang bertanggung jawab atas resistensi terhadap wereng pada berbagai varietas padi. Ini memungkinkan para petani untuk memilih varietas-varietas yang memiliki gen-gen tersebut secara efisien untuk menghasilkan varietas padi yang lebih tahan terhadap serangan wereng. Potensi biotik wereng yang tinggi, faktor abiotik, dan sistem budi daya menjadi faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya populasi wereng. Faktor pendorong lain seperti iklim mikro yang tercipta dari lingkungan yang mendukung, varietas yang berkualitas baik, tetapi rentan terhadap wereng, penggunaan pupuk N yang berlebihan dan lain sebagainya dapat menyebabkan resistensi dan resurgensi pada populasi hama wereng.
Dalam pengembangan tanaman berbasis genetik, salah satu teknik yang sangat efektif untuk menemukan gen yang mempengaruhi sifat-sifat tertentu pada tanaman adalah genome-wide association studies (GWAS). Dibandingkan dengan metode lama yang menggunakan populasi biparental dimana peneliti hanya mengamati gen dari dua orang tua, GWAS menawarkan hasil yang lebih detail dan akurat. GWAS dapat menggunakan data dari banyak individu dan melihat bagaimana variasi genetik mereka terkait dengan sifat-sifat tertentu, memberikan gambaran yang lebih jelas tentang gen yang berperan. Selain itu, GWAS bisa dengan cepat dan akurat menemukan gen yang mempengaruhi sifat-sifat yang diinginkan, dalam bidang agrikultur, misalnya ialah sifat tahan hama atau hasil panen yang lebih tinggi (Liu et al., 2016; Cui et al., 2017). GWAS menjadi studi yang penting bagi peneliti untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman, dengan menggunakan penanda genetik seperti SSR yang membantu mengidentifikasi variasi genetik tersebut secara signifikan.
Pada dasarnya, marka genetik adalah rangkaian DNA spesifik dengan lokasi yang diketahui pada kromosom dan merupakan alat penting pada studi keterkaitan dan asosiasi. Marka genetik atau penanda genetik itu ada banyak jenisnya tetapi secara singkat marka genetik ini meliputi SNP (Single Nucleotide Polymorphism), microsatellite atau SSR (Simple Sequence Repeat), housekeeping gene seperti 16sRNA atau 18sRNA, dan masih banyak lagi. Pada topik ini marka genetik yang digunakan adalah microsatellite atau SSR. Microsatellite merupakan sekuens pendek dari DNA yang terdiri dari pengulangan unit DNA. Microsatellite ini memiliki sifat yang kodominan dan polimorfisme yang tinggi. Kelebihannya, keberadaan microsatellite ini melimpah, akurat, dan memiliki reproduktivitas dan ketepatan yang tinggi. Namun kekurangannya secara umum pada microsatellite ini bersifat homoplasy (karakter sama tetapi tidak berasal dari nenek moyang yang sama), terdapat alel 0, adanya pita bayangan, dan sampel yang tinggi.
Dalam topik ini, microsatellite atau SSR merupakan metode yang tepat karena telah banyak digunakan pada analisis keragaman dan polimorfisme tanaman padi. Penggunaan PCR pada microsatellite juga mempermudah dalam menjangkau seluruh kromosom sehingga peluang untuk mendapatkan marka terpaut semakin besar. Mikrosatelit pertama kali ditemukan pada tahun 1984 di Universitas Leicester oleh ilmuwan Weller, Jeffreys, dan tim mereka. Mereka menemukan rangkaian pengulangan DNA yang disebut pengulangan GGAT pada gen manusia. Istilah "mikrosatelit" muncul kemudian, pada tahun 1989, diperkenalkan oleh Litt dan Luty (Richard, et al. 2008). Nama "satelit" berasal dari eksperimen awal dimana pemintalan DNA dalam tabung reaksi memisahkan DNA utama dari potongan-potongan kecil yang berulang, yang tampak seperti "satelit" kecil (Kit, 1961).
Awalnya, analisis mikrosatelit dirancang untuk mempelajari manusia, namun segera menjadi alat yang berharga untuk meneliti hewan dan tumbuhan juga. Para ilmuwan mulai menggunakannya untuk hewan pada awal tahun 1990an (Schlötterer, et al. 1991) dan untuk tanaman beberapa tahun kemudian. Saat ini, penanda mikrosatelit umumnya digunakan untuk mempelajari susunan genetik populasi tanaman, termasuk spesies liar dan tanaman pangan. Penanda ini sangat informatif karena dapat menunjukkan variasi DNA dari kedua orang tuanya (inilah yang dimaksud para ilmuwan dengan “sifat ko-dominan”). Kualitas ini membuat mikrosatelit sangat berguna untuk memahami keanekaragaman dan hubungan di dalam dan antar spesies tumbuhan.