Konser semiopera “Bhumi” yang diadakan pada 29 September 2015 silam diawali dari keprihatinan akan kondisi Indonesia yang sebenarnya kaya akan sumber daya dan keindahan alamnya namun disadari dengan baik oleh masyarakat Indonesia sendiri. Peni Candra Rini sang komponis, termasuk anak bangsa yang malah tidak banyak diketahui gaungnya oleh bangsa Indonesia sendiri namun amat sangat terkenal dan dihormati diluar negri. Kepiawaian dan kemahirannya berasal tak hanya latar belakang pendidikannya sebagai jebolan sekolah seni, tapi juga karena sejak kecil ia sudah akrab dengan dunia pesindenan, pewayangan, dan dunia karawitan. Berasal dari keluarga seni membuat Peni Candra Rini mempunyai kelebihan yang lebih dari kebanyakan seniman-seniman sekarang yang terlihat hanya sekadar mengejar kepraktisan. Contoh, banyak cengkok-cengkok sindenan yang dikuasai oleh Peni Candra Rini namun tidak dimengerti oleh sinden-sinden cetakan baru sekarang ini. Kepiawaian Peni Candra Rini dalam memainkan gamelan dan menari juga memberi nilai tambah dalam penciptaan karyanya.
Banyak komposisi ciptaan Peni Candra Rini yang bersifat gendhing alusan. Alasan kenapa karyanya dapat disebut sebagai gendhing karena alat yang digunakan adalah gamelan, karena pengertian gendhing menurut Soetandyo adalah lagu tetabuhan atau lagu instrumen, terdiri atas susunan nada yang sangat bersahaja dan biasa disajikan dengan menggunakan gamelan (Soetandyo. 2002:33). Gendhing alusan adalah komposisi gendhing dengan suasana gendhing nyamat, nglelet, nglelen, mat-matan, yang halus dan lembut. Kemudian dipoles dengan vokal, menggunakan moda garap yang lebih halus sehingga berkesan anggun karena gendhing alusan merupakan gambaran getaran jiwa yang halus (Endraswara. 2013:3).
Oleh orang Jawa, gendhing dianggap pembangun estetika jiwa dan wilayah estetika hidup.. Ada saatnya gejolak jiwa bergema dan penuh ketenangan. Tapi ada saatnya juga ketika gejolak jiwa penuh dengan angkara murka, penuh dengan emosi yang beriak-riak. Sajian-sajian dalam gendhing mengikuti pola irama jiwa manusia. Jenis emosi dan suasana jiwa manusia tertuang dalam 3 macam pengaturan nada seperti pada wayang kulit yang disebut dengan pathet, ketentuan yang mengatur penggunaan nada dalam titi laras atau tangga nada (Soetandyo. 2002:104). Yang pertama, nada pathet nem dengan nada dasar 2 (loro) atau jangga yang didalam dunia pewayangan diandaikan sebagai awal keadaan jagat raya, keadaan jiwa yang masih tenang dan mulai terbentuk. Yang kedua, nada pathet sanga dengan nada dasar 5 (lima) atau gangsal yang diandaikan sebagai adegan rumit hingga gara-gara jagat raya dan keadaan jiwa yang sudah menemukan masalah. Yang terakhir adalah pathet manyura dengan nada dasar 6 (nem) yang diandaikan sebagai puncak dari sejarah jagat raya dan puncak dari gejolak jiwa. Setiap nada dasar yang berbeda dan cenderung semakin bertambah tinggi tentu memberikan nuansa yang berbeda.
Kebanyakan karya-karya Peni Candra Rini bersifat alusan, lebih mengutamakan keanggunan, kehalusan, dan kewibawaan. Didalam dunia karawitan, gendhing-gendhing karya Peni Candra Rini juga dikenal sebagai gamelan klenengan. Merujuk pada Sastrodarsono (1956), gamelan secara garis besar terbagi menjadi dua golongan. Gamelan nguyu-uyu dan gamelan klenengan. Gamelan nguyu-uyu adalah permainan gendhing-gendhing tanpa gerongan[1] seperti gendhing bonangan[2] dan gendhing-gendhing yang memakai seseg[3]. Sedangkan gamelan klenengan memakai gerongan dan biasanya ditabuh untuk pengiring wayang kulit dan uyon-uyon. Memamng karya-karya Peni Candra Rini bersifat alusan karena kebanyakan karyanya memakai ricikan[4]seperti gender, gambang, siter, rebab, suling, serta vokal yang dipoles mengikuti emosi dari karyanya tersebut.
Dalam pementasan “Bhumi” kemarin Peni Candra Rini dan tim membawakan 10 karya gendhing ciptaan Peni Candra Rini yang mengadopsi pengaturan nada seperti baknya pementasan wayang kulit. Maka, pada pementasan “Bhumi” ini Peni tidak hanya membawakan gendhing alusan saja. Setiap gendhing ciptaannya mengandung emosi dan penghayatan jiwa yang dalam dan berbeda-beda walau tidak semua alat musiknya memakai ricikan gamelan, tapi juga memakai alat musik modern dan bahkan kontemporer buatan Idud, suami Peni. Bahkan Peni juga berkolaborasi dengan musisi-musisi lain untuk memperkuat rasa dan suasana yang ingin dihadirkan dalam gendhing karyanya. Didukung oleh alat-alat gamelan kontemporer sedemikian rupa, Peni berhasil membawakan menghadirkan suasana mistis dan sakral, emosi yang menyayat hati, dan gejolak jiwa yang ditunjukan dari dinamika nada dan lengkingan suara Peni yang tak dapat diduga. Dalam penciptaan karyanya, Peni Candra Rini banyak terinspirasi dari alam, lingkungan sekitar, serta keadaan Indonesia untuk utamanya. Ia melakukan banyak riset yang melibatkan olah rasa dan pemikiran yang dalam, ssehingga karya-karyanya yang walau memiliki tingkat kerumitan tinggi dapat diterima dengan ringan oleh penonton. Terbukti dengan banyaknya penonton yang ikut terbawa dalam nuansa emosi yang disuguhkan. Setiap nomor penampilannya membuktikan kesungguhan hati Peni dalam penggarapan karya-karyanya yang menampilkan emosi dan rasa yang berbeda-beda, menggambarkan kehalusan jiwa dan pengalaman serta proses penciptaan yang panjang karena kerumitan dan kedetailan karyanya sangat terlihat namun tetap terdengar halus dan menyayat hati.
Peni Candra Rini sendiri dengan vokal yang memiliki jangkauan nada yang luas dan warna vokal yang khas menciptakan warna suasana yang berbeda tapi tetap dengan kontrol nada yang amat sangat terjaga. Vokal yang dilantunkannya tak hanya berasal dari buah pemikiran dan penciptaannya saja, namun juga berasal dari penjiwaan dan penghayatannya. Orang Jawa selalu mendambakan keadaan jiwa yang tentram, suasana yang benar-benar menenangkan hati, jiwa dan pikiran. Olah rasa Peni Candra Rini sudah memasuki tingkatan yang tinggi karena ia mampu memasukan dan menyampaikan beragam emosi hanya dengan olah vokalnya. Didukung dengan permainan gamelan kontemporer yang membawakan latar belakang cerita, dari ketenangan menuju ketegangan, dari ketegangan menuju ketentraman.
Hubungan Peni yang ‘akur’ dengan alam pun amat terasa, dimana penonton juga dapat merasakan nuansa magis dan nuansa keindahan alam Indonesia hanya dengan menonton, mendengar, dan merasakan setiap penampilan Peni dan tim. Bila dikaitkan dengan pengaturan nada sesuai dengan pementasan wayang kulit tadi, Peni menggambarkan keadaan alam Indonesia lewat rangkaian gendhing “Giri Bahari, “Kanjeng”, “Keraton”, “Kidung Kinanthi”, dan “Bedhaya Watu”. Lalu penggambaran kerumitan alam yang ditampilkan dengan segar lewat “Butterfly” dan “Mermaid” yang dibawakan secara kontemporer dengan pembacaan puisi berbahasa Jawa dan Inggris dan dukungan instrumen ruan dan gitar gould. Yang terakhir penggambaran puncak dan sejarah jagat raya lewat “Sangkan Paran”, “Tambora”, dan “I Start Live Again”.
Semua dikemas secara apik dan penuh makna penghayatan jiwa dan rasa yang dalam, yang dihasilkan dari proses yang rumit pula. Walaupun karya-karyanya dalam pementasan “BHUMI” bersifat kontemporer, Peni tidak melupakan akar dari budaya dan tradisinya. Karya-karyanya yang terdahulu tetap banyak yang masih berpijak pada tradisi dan sangat terinspirasi dari alam sekitarnya. Seperti misalnya “Manik Jejantung”, “Kembang Kapas”, “Sekar”, “Balung”, “Galah Karahyon”, dan lain-lainnya. Semua dalam proses pembuatannya masih berpijak pada tradisi gamelan Jawa, bersifat alusan dan bertipe klenengan, tapi tak hanya sekadar klenengan biasa, namun klenengan bernuansa modern yang masih memuat rasa klasik tradisional Jawa. Peni Candra Rini tak hanya menghidupi budaya dan tradisi Jawa dengan sepenuh jiwa tapi juga dihidupkan oleh budaya dan tradisi jiwa Jawa.
[1] Tembang yang dibawakan dalam suatu gendhing
[2] Gendhing yang khusus dibuat hanya dengan memainkan bonang saja, tanpa vokal