Mohon tunggu...
Sekar Diah Prasistiya
Sekar Diah Prasistiya Mohon Tunggu... -

Jebolan Sastra Jawa, mencintai dan melakoni kesenian tradisional Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gagap Budaya

29 Desember 2017   22:08 Diperbarui: 29 Desember 2017   22:30 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: gambarfashions.me

Minggu (17/12) kemarin saya menghadiri acara resepsi seorang teman kuliah saya. Tidak ada ekspektasi dan tujuan khusus selain untuk ikut menyemarakkan hari bahagia teman saya itu, tidak sampai saya tiba di lokasi. Ketika saya tiba, kedua mempelai diikuti dengan jejeran rombongan keluarga sedang bersiap untuk arak-arakan prosesi masuk ke aula. Semua pihak keluarga dan kerabat mengenakan busana adat Jawa (beskap) dengan gaya Solo. Saya langsung memegang tangan teman njagong saya, bukan untuk berdebat apa kah kami boleh masuk ke dalam aula terlebih dahulu, tapi untuk membisikkan tentang banyaknya orang yang mengalami 'gagap budaya' di sana.

***

Gagap budaya, saya pertama kali mendengar kata-kata itu dari dosen saya. Sebutan itu diberikan untuk orang-orang yang tidak mengerti apa yang harus dilakukan atau bahkan tidak paham ketika berinteraksi dengan suatu budaya atau produk budaya. Pada contoh acara resepsi teman saya itu, kasus gagap budaya ditemukan pada rangkaian acara pernikahan serta busana adat Jawa yang digunakan oleh para keluarga dan kerabat. Kuliah di Sastra Jawa secara menuntut saya untuk memahami alur serta makna upacara daur hidup termasuk upacara pernikahan, dan secara tidak langsung menuntut saya untuk memahami pakem berbusana adat berbagai gaya.

Yang saya temukan, banyak orang yang sangat terlihat tidak nyaman dengan busana seperti beskap serta kain jarik yang mereka kenakan. Membuat saya tertawa kecil, belum lagi ketika melihat arah parang yang terbalik, jarik yang terlalu cingkrang, celana panjang yang susul menyusul dengan jarik yang digunakan, serta pemakaian keris yang salah arahnya dan tidak terpasang dengan baik.

 Tidak bisa disalahkan juga karena memang bukan busana yang sehari-hari dipakai, akan tetapi ada baiknya kalau kita paham dan mengerti busana apa yang sedang kita pakai. Orang Jawa adalah orang yang penuh dengan simbol, termasuk pada busananya.  Ada maksud tersendiri kenapa kain bermotif parang hanya digunakan oleh para mempelai, kenapa jarik tidak boleh terlalu cingkrang, dan sebagainya. Saya rasa amat disayangkan kalau simbol-simbol dan makna-makna tersebut terlewatkan begitu saja.

Hari pernikahan adalah hari di mana kedua mempelai berubah menjadi raja dan ratu selama sehari. Hal itu sudah diterapkan sejak zaman dahulu. Hal itu juga menjelaskan kenapa busana yang digunakan kedua mempelai cenderung 'ribet' namun terlihat agung. Zaman dahulu, hanya pada hari pernikahannya lah mempelai wanita bisa menggunakan paes ageng dan busana basahan. 

Begitu juga mempelai pria. Penggunaan kain motif parang dan selop sebetulnya hanya dibenarkan apabila dipakai oleh raja, itu lah mengapa (sebenarnya) hanya para mempelai yang diperbolehkan untuk memakai kain bermotif parang dan memakai selop.

Pada akhirnya, saya tetap salut dan apresiasi terhadap setiap resepsi perkawinan bisa dianggap sebagai salah satu 'arena' untuk pelestarian budaya. Terlepas dari banyaknya kekurangan di sana-sini serta masih banyaknya gagap budaya yang terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun