Mohon tunggu...
Sekar Diah Prasistiya
Sekar Diah Prasistiya Mohon Tunggu... -

Jebolan Sastra Jawa, mencintai dan melakoni kesenian tradisional Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semiotika Babarlayar

14 Desember 2017   11:08 Diperbarui: 14 Desember 2017   11:11 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apabila mendengar kata 'gending', tentu secara tidak langsung kita akan teringat pada lagu-lagu tradisional yang biasa kita dengar di tempat-tempat tertentu. Seperti misalnya restoran, resepsi pernikahan, galeri, dan semacamnya. Kata 'gending' yang berasal dari Bahasa Jawa 'gendhing' sendiri sudah merujuk secara spesifik kepada lagu-lagu yang dimainkan oleh alat musik gamelan. Dalam dunia musik Jawa, gending dibagi menjadi banyak sekali jenis, salah satunya adalah gendhing prahargyan atau gending khusus yang dimainkan di rangkaian acara pernikahan. Gending-gending yang dimainkan pada rangkaian acara pernikahan biasanya bersifat agung, anggun, tegas namun membawa roman bahagia. Warna nada yang dipilih oleh para empu karawitan memang dipastikan bisa memunculkan sifat dan karakter-karakter tertentu seperti yang sudah disebut di atas, selain karena permainan semiotika yang juga menjadi pertimbangan dalam penciptaan suatu gending. Selain itu, gending juga dianggap sebagai doa sebagaimana yang terlantun dalam syair-syair di dalamnya.

Dari sekian banyak gendhing prahargyanyang memiliki karakter-karakter seperti di atas, ada satu gending bernuansa minor nan menyayat hati yang terkadang dimainkan pada acara resepsi, yaitu Babarlayar. Tentunya timbul pertanyaan, mengapa justru gending yang terdengar sedih dimainkan di acara yang bernuansa bahagia seperti resepsi pernikahan?

Seperti yang sudah disebut pula, sebuah gending diciptakan tidak secara asal dan tidak mungkin tanpa suatu maksud. Segala detail-detail telah dipikirkan berdasarkan pada pengamatan dan pengalaman para empu dan juga penerusnya, termasuk dengan medan di mana gending tersebut harus ditabuh. Maksud dan pemikiran-pemikiran yang ingin disampaikan dari suatu gending dikupas di dalam kajian semiotika. Lebih tepatnya semiotika gendhing, sebuah kajian yang lebih berkembang secara lisan dibanding tulisan.

Sebelumnya, mari kita kaji gending Babarlayar mulai dari konteks judulnya. Babarlayar atau membeber layar perahu adalah sebuah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh para perantau (dan nelayan pula) di zaman dahulu. Keluarga dan orang-orang terdekat pastinya akan mengantarkan si perantau ke pantai untuk melepas kepergiannya. Mengantarkan di sini tidak hanya sekadar menunggu perahu hingga lepas sauh saja lalu pulang ke rumah masing-masing, tapi hingga ujung dari layar perahu hilang masuk ke cakrawala. Para pengantar tetap berada di pantai sambil menangis atau bersedih karena itu lah kesempatan terakhir mereka melihat si perantau. Pada kala itu, kebanyakan orang yang pergi merantau dengan cara melaut jarang ada yang kembali lagi. Sambil menyelipkan doa, para pengantar tetap setia 'mengantarkan' si perantau hingga ujung layarnya ditelan cakrawala.

Apabila dikaitkan dengan konteks pernikahan, gending Babar layar merupakan wujud dari kesedihan orang tua para mempelai karena harus mengantarkan anaknya yang akan 'pergi'. Di puncak resepsi pernikahan, secara simbolis orang tua mengantarkan anaknya untuk 'naik ke perahu' bersama pasangan hidupnya, mengarungi hidup baru tanpa orang tua. Nada-nada miring bernuansa sendu dari syair gending Babarlayar juga mewujudkan doa orang tua agar anaknya selamat dalam mengarungi samudra kehidupan. Proses dari perahu yang dirakit, jadi, disandarkan di pantai, dibentang layarnya, dan kemudian lepas sauh berlayar hingga tak terlihat lagi juga merupakan simbol dari proses orang tua dalam membesarkan dan mendidik anaknya untuk menjadi 'manusia'.

Pesan yang ingin disampaikan oleh GendhingBabarlayar ini, jika sekarang giliran Anda untuk pergi 'berlayar', seberapa jauhnya Anda pergi tetap lah ingat bahwa ada doa dan jerih payah orang tua di 'perahu' yang Anda jalani sekarang ini.

Akhir kata, tulisan ini dibuat berdasarkan pembelajaran, pengamatan serta pengalaman, dan pengetahuan penulis yang masih banyak kekurangan. Semoga semesta selalu memberkahi dan menyelimuti seisinya dengan kasih dan kekuatan. Rahayu, Berkah Dalem.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun