Pernah mendengar grup musik Sambasunda? Kalau belum, silahkan ketik Sambasunda di mbah Google atau di aplikasi musik seperti Joox dan Spotify. Saya pribadi sangat merekomendasikan grup musik Sunda kontemporer tersebut untuk menjadi salah satu referensi Anda. Pada tulisan kali ini saya bukan mau membahas soal Sambasunda, tapi saya ingin membagi pengalaman saya saat berjumpa dengan kang Zinner, pengendang Sambasunda.
Kebetulan saat itu saya sedang berada di Yogyakarta sementara kang Zinner dan tim BBM 2016 sedang di perjalanan menuju Yogyakarta pula. Saat tim BBM 2016 selesai latihan di gedung PKKH UGM, saya diajak kang Zinner yang bernama asli Dadang Samsudin Sutarno ini untuk makan di angkringan tak jauh dari situ. Kang Zinner sangat ramah dan sangat santai, khas seniman-seniman kebanyakan. Obrolan kami tidak jauh-jauh dari dunia perkendangan karena dari situ lah saya bisa kenal dengan kang Zinner.
Kang Zinner yang kadang saya panggil kang Z ini sempat membuat saya bingung karena langsung berkata: "kamu tehkadal ya?". Ini, saya dikira kadal? Oh bukan, maksudnya kadal adalah posisi memukul kendang dengan bagian kemprang atau tak dipukul oleh tangan kiri. Kang Z sendiri memukul kendang dengan arah sebaliknya yang disebut dengan kidal. Akhirnya saya bertanya, dalam dunia kendang Sunda yang pakem itu kadal atau kidal?
"Yang mana aja bisa, yang penting nyaman!" jawab Kang Zinner diakhiri dengan tawa renyah.
Kemudian kang Z bercerita soal kendang kesayangannya yang diberinya nama si Cantik. Selain cantik karena berwarna ungu, si Cantik juga pantas menyandang nama demikian karena suaranya yang kalau kata teman saya, kane pisun! (enak sekali!). Kang Z menuturkan ukuran kendang Sunda yang nyaman bagi kang Z adalah: kemprang berukuran 8", kulanter berukuran 6", gedut berukuran 11", dan ketipung juga berukuran 8". Selain itu, pemasangan kulit juga harus pas dan tidak boleh miring. Tebal tipis kulit juga harus diperhatikan karena akan sangat mempengaruhi kualitas suara. Untuk bahan kulitnya, kang Z lebih menyarankan kulit lembu betina. Tapi semua nanti bergantung pada perawatan kendang itu juga.
Kang Z menertawai saya yang langsung teringat dengan kendang saya yang terbuat dari kayu nangka. "hayo beneran nangka gak?" kang Z kembali menertawai saya sebelum menegaskan kalau yang mempengaruhi kualitas suara tetap lah kulitnya. Kang Z kembali menceritakan perjalanannya menemukan kayu kendang Jawa sabet tak berkulit di sebuah toko barang antik yang kemudian disulapnya menjadi kendang Sunda bersuara ciamik karena kulitnya dipasang dengan baik dan benar.
Sambil menikmati nasi kucing, saya bertanya soal pola tepak kendang. Tapi kang Z mendasari kalau pola tepak kendang sesederhana apapun akan terdengar enak kalau teknik pukulan sudah tepat. Teknik pukulan akan lebih baik kalau posisi badan saat memukul kendang juga sudah betul. Posisi badan yang baik saat memukul kendang adalah sejajar dengan garis lingkar gedut kendang. Dengan membiasakan posisi badan yang baik, secara otomatis pembiasaan teknik pukulan juga akan baik.
Sayangnya obrolan kami siang itu harus terhenti karena kang Zinner harus kembali ke hotelnya dan saya juga harus mengikuti kegiatan lain. Tapi sebelum pamit pergi kang Zinner menambahkan satu hal lagi yang membuat saya dan semua pemain kendang merasa mongkog(bangga) tanpa menyinggung pihak tertentu, "Orang bisa ngedrum tehbelum tentu bisa ngendang, tapi orang bisa ngendang pasti bisa main perkusi lainnya!".
Tulisan ini juga dikirimkan di website mei.or.id